Waspada Ancaman PHK di Balik Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos di Indonesia
Fabianus menyatakan bahwa PP 28/2024 maupun RPMK memiliki potensi besar untuk mempengaruhi keberlangsungan industri media luar griya.
Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) berharap pemerintah untuk melakukan revisi atas Peraturan pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Asosiasi berharap pemerintah bisa mengakomodir kepentingan industri serta tenaga kerja yang terdampak negatif oleh regulasi baru tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi, menolak wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur pada RPMK, aturan turunan PP 28/2024. Padahal, tidak ada mandat untuk ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek pada PP 28/2024. Menurutnya, kemasan rokok tanpa identitas tersebut akan mempermudah masuknya rokok ilegal ke pasar.
- Wacana Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Begini Sikap HKTI Beri Harapan pada Prabowo
- Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos Berpotensi Tambah Rentetan PHK, Anggota DPR Minta Ini ke Pemerintah
- Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos, Pengusaha Ritel Khawatir Masyarakat Sulit Membedakan Produk
- Wacana Kemasan Rokok Polos, Bisa Bikin Gelombang Lanjutan PHK
"Produsen rokok tidak mungkin akan memasang reklame di media luar griya tanpa mencantumkan identitas perusahaan atau merek, yang berdampak negatif pada efektivitas promosi mereka," ujarnya dikutip dari laman Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (14/9).
Di samping itu, Fabianus menyatakan bahwa PP 28/2024 maupun RPMK memiliki potensi besar untuk mempengaruhi keberlangsungan industri media luar griya dan industri kreatif secara umum. Terkhusus, pelarangan zonasi iklan dalam PP 28/2024 yang telah menyebabkan penurunan pemasangan reklame hingga 5-10%.
“Aturan ini tidak hanya merugikan industri media luar griya tetapi juga berpotensi menurunkan pendapatan pajak reklame di daerah,” kata Fabianus
Salah satu kritik utama AMLI terhadap PP 28/2024 adalah pembatasan tayangan iklan produk tembakau melalui videotron. Fabianus menilai bahwa peraturan ini tidak aplikatif, karena iklan di videotron pada jam-jam tertentu di luar kota sudah dimatikan, sehingga aturan ini dianggap tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Pembatasan lain yang dinilai bias adalah larangan iklan dalam radius 500 meter di sekitar pusat pendidikan dan tempat bermain anak. Bagi dia, kebijakan tersebut terlalu kaku dan sulit diterapkan secara praktis.
Berdampak ke PHK
Dalam survei yang dilakukan AMLI pada Desember 2023 dengan melibatkan 57 perusahaan di 37 kota, ditemukan bahwa 79 persen perusahaan merasakan dampak negatif dari peraturan ini. Pendapatan mereka diperkirakan akan menurun, dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 59 persen.
Padahal, saat ini Indonesia tengah mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor industri yang diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai lebih dari 70.000 pekerja pada akhir 2024. Dengan adanya usulan Kemenkes untuk menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek, dampaknya akan semakin besar bagi PHK tenaga kerja lintas sektor.
Tak pelak, Fabianus meminta agar PP 28/2024 direvisi dan dibuatkan peraturan baru terkait reklame untuk iklan rokok, dengan fokus pada literasi masyarakat mengenai dampak produk GGS (garam, gula, dan susu) dan tembakau.
Hingga saat in, Fabianus mengakui pihaknya belum memiliki diskusi lanjutan atau undangan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait dampak aturan ini pada industri kreatif, khususnya media luar griya.
Surat yang disampaikan oleh AMLI kepada Presiden terkait sikap mereka juga belum mendapatkan respons. Yang mengecewakan, PP 28/2024 justru diterbitkan tanpa adanya pelibatan stakeholder terdampak.
"Kami menekankan perlunya dialog lebih lanjut untuk menemukan solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak,” bebernya.
Terakhir, Fabianus menegaskan bahwa AMLI tetap berkomitmen untuk mendukung perubahan yang konstruktif dan memperjuangkan kepentingan industri serta tenaga kerja yang terdampak akibat dari regulasi ini.
"Kami berharap, ke depannya akan ada penyesuaian yang lebih baik yang dapat mendukung keberlanjutan usaha dan menciptakan iklim industri yang lebih sehat," tutup dia.