Larangan Membawa Tanah dari Makkah atau Madinah ke Kampung Halaman, Ini Dia Hukum dan Konsekuensinya
Hukum membawa pulang tanah dari Makkah dan Madinah ke kampung halaman.
Hukum dan konsekuensi membawa tanah dari tanah suci ke kampung halaman.
Larangan Membawa Tanah dari Makkah atau Madinah ke Kampung Halaman, Ini Dia Hukum dan Konsekuensinya
Makkah dan Madinah, dua kota suci yang terkenal, menjadi tujuan utama bagi umat Muslim yang ingin menunaikan ibadah di tempat kelahiran Nabi. Sering kali disebut sebagai Haramain, atau dua tanah suci, keduanya memiliki batas wilayah tertentu.
Tanah Haram mengacu pada wilayah kota Makkah dan Madinah yang memiliki keistimewaan khusus. Sebagai tempat asal Islam dan tempat yang dimuliakan yang dihuni oleh tokoh-tokoh agung dalam keyakinan Islam, kedua kota ini menjadi sangat dihormati. Karena kedua kota ini dianggap suci, tidak mengherankan jika banyak jamaah haji atau wisatawan yang berharap membawa pulang sedikit tanah suci sebagai kenang-kenangan.
Namun, apakah boleh membawa pulang tanah suci dari Makkah dan Madinah? Dan apa konsekuensinya jika seseorang nekat melakukannya? Berikut adalah penjelasannya.
Hukum Membawa Pulang Tanah dari Makkah dan Madinah yang Suci
Ustadz Muhammad Hanif Rahman dari Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo di NU Online mengungkapkan perbedaan pendapat ulama tentang membawa Tanah Suci pulang ke Tanah Air, baik untuk tabaruk atau sebagai produk perabotan.
-
Siapa yang dilarang masuk ke Mekkah untuk haji? Kementerian Agama menegaskan hanya jemaah pemilik visa haji yang dapat mengikuti rangkaian puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna).
-
Apa pengertian dari hukum makruh? Makruh adalah salah satu hukum dalam Islam, yaitu anjuran pada beberapa perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
-
Kenapa jemaah haji nonprosedural dilarang masuk Mekkah? Mereka diduga menjadi korban karena niat berhaji menggunakan visa ziarah yang dilarang masuk ke Mekkah oleh pemerintah Arab Saudi.
-
Kenapa rukun umrah tidak boleh ditinggalkan? Pelaksanaan ibadah umrah memiliki rukun atau bagian-bagian yang wajib untuk dilakukan tanpa kecuali. Apabila salah satu tidak dilaksanakan, maka ibadah umrahnya tidak sah. Rukun umrah tersebut tidak bisa ditinggalkan walaupun sebagian bisa digantikan dengan dam.
-
Kenapa Masjidil Haram disebut haram? Haram yang dimaksud di sini bukan berarti seperti haramnya khamr dan babi jika dikonsumsi umat Islam. Akan tetapi disebut Masjidil Haram karena area ini haram dimasuki orang-orang kafir.
-
Bagaimana cara menjalankan hukum makruh? Jika dipraktikkan dalam keseharian, maka ini akan menjadi kebiasaan baik yang mendatangkan berkah serta rahmat dari Allah SWT.
صَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِحُرْمَةِ نَقْل تُرَابِ الْحَرَمِ وَأَحْجَارِهِ وَمَا عُمِل مِنْ طِينِهِ - كَالأَْبَارِيقِ وَغَيْرِهَا - إِِلَى الْحِل، فَيَجِبُ رَدُّهُ إِِلَى الْحَرَمِ، وَنُقِل عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ كَرَاهَتُهُ
Artinya: "Madzhab Syafi'iyah menjelaskan tentang keharaman memindahkan tanah atau debu dan bebatuan Tanah Haram dan apapun yang dibuat dengan tanah liat Tanah Haram seperti kendi dan selainnya ke tanah halal, dan wajib mengembalikannya ke Tanah Haram. Dikutip dari sebagian ulama Madzhab Syafi'iyah tentang kemakruhannya."
وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَ بَأْسَ بِإِِخْرَاجِ أَحْجَارِ الْحَرَمِ وَتُرَابِهِ، نَقَلَهُ الشَّافِعِيُّ فِي الأُْمِّ، وَهُوَ الْمَنْقُول عَنْ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ، لَكِنَّهُمَا
Artinya: "Menurut Madzhab Abu Hanifah tidak masalah mengeluarkan bebatuan dan tanah atau debunya Tanah Haram. Pendapat ini dinukil Imam Syafi'i dalam kitab Al-Um, pendapat ini juga adalah pendapat yang dinukil dari sahabat Umar dan Ibnu Abbas akan tetapi keduanya menilai makruh hal tersebut."
Akibat dari Membawa Bahan dari Tanah Suci ke Kampung Halaman
Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, mayoritas ulama dari Madzhab Syafi'i berpandangan bahwa membawa tanah, debu, batu, atau barang dari Tanah Suci adalah makruh.
Namun, menurut Imam An-Nawawi, tindakan tersebut dianggap haram dan harus dikembalikan ke tempat asalnya.Dalam Madzhab Syafi'i, ketika sesuatu yang diharamkan dibawa pulang, seringkali orang yang mengambilnya diwajibkan untuk mengembalikannya ke tempat semula.
Jika tidak, tidak ada ganti rugi. Ini bisa dibandingkan dengan memotong rumput kering di Tanah Suci. Untuk penjelasan lebih lanjut, dapat ditemukan dalam Hawasyi asy-Syarwani, sebuah komentar atas Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar. قَوْلُهُ: فَيَلْزَمُهُ رَدُّهُ إلَخْ أَيْ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَا ضَمَانَ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِنَامٍ فَأَشْبَهَ الْكَلَأَ الْيَابِسَ نِهَايَةٌ قَالَ ع ش قَوْلُهُ: م ر فَأَشْبَهَ الْكَلَأَ إلَخْ أَيْ فِي مُجَرَّدِ عَدَمِ الضَّمَانِ
Artinya, "Perkataan mushanif: "Maka ia harus mengembalikannya". Yakni, maka apabila tidak melakukannya tidak ada dhoman (tanggungan pertanggungjawaban) karena hal tersebut (tanah, debu dan batu) bukanlah perkara yang bertumbuh kembang. Maka dalam hal ini menyerupai rumput kering. Ini adalah ungkapan Imam Ali As-Syibromalisi. Ungkapan Imam Ramli:
"Menyerupai rumput" yakni, dalam tidak adanya dhoman belaka." (Abdul Hamid Asy Syarwani dan Ahmad bin qosim, Hawasyi asy Syarwani Syarah Tuhfatul Muhtaj, [Bairut, Darul Ihya' Thurots: th.t], juz IV halaman 194).
Secara keseluruhan, masih terdapat perdebatan di antara para ulama mengenai hukum membawa pulang tanah, debu, batu, atau olahan tanah liat dari Tanah Haram. Menurut Imam Nawawi, tindakan tersebut dianggap haram, dan jika seseorang sudah membawanya pulang, maka harus mengembalikannya ke tempat asalnya, meskipun tanpa adanya pengetahuan bahwa tidak melakukannya akan menimbulkan dosa. Sementara menurut Mu’tamad dalam Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi, dan Madzhab Hambali, mengambil tanah dari Tanah Haram adalah dianggap makruh. Hanya Allah yang mengetahui yang sebenarnya.