Tentara Israel Akui Lakukan Taktik Keji 'Protokol Antinyamuk' di Gaza, Gunakan Warga Palestina sebagai Tameng Hidup
Selama perang genosida di Gaza, Israel telah membunuh lebih dari 50.000 warga Palestina.

Kejahatan dan kebrutalan Israel selama perang genosida di Jalur Gaza, Palestina, dibongkar sendiri oleh tentaranya. Baru-baru ini, tentara Israel mengungkap kebrutalan mereka di Gaza dalam wawancara dengan CBS News. Seorang tentara dengan nama samaran, Tommy, mengungkap taktik militer kejam mereka selama perang genosida di Gaza.
“Kami telah membakar gedung-gedung tanpa alasan, yang tentu saja melanggar hukum internasional. Dan kami menggunakan perisai manusia sebagai perlindungan” ungkap Tommy, dikutip dari CBS News, Jumat (28/3).
Ia mengatakan komandannya memerintahkan unitnya untuk menggunakan warga sipil Gaza untuk mencari bahan peledak di gedung-gedung, bukan dengan anjing pelacak.
“Mereka orang Palestina,” ujarnya. “Kami mengirim mereka masuk terlebih dahulu untuk melihat apakah gedung itu aman dan memeriksa apakah ada jebakan bom di dalamnya. Warga Palestina itu ketakutan hingga gemetar.”
“Kami berbicara dengan komandan kami, dan kami memintanya untuk berhenti melakukannya,” kata Tommy, tetapi mereka diperintahkan untuk melanjutkan, menurutnya itu adalah sebuah kebijakan.
Taktik itu disebut “protokol antinyamuk”, menurut Breaking the Silence, organisasi veteran Israel yang mengungkap pelanggaran militer. Kelompok itu mengatakan beberapa whistleblower (pengungkap fakta) tentara Israel mengonfirmasi bahwa taktik itu digunakan secara meluas di Gaza. Breaking the Silence bertindak sebagai badan pengawas atas militer Israel selama lebih dari 20 tahun dan organisasi ini memperkuat pernyataan Tommy dan tentara Israel lainnya.
Tommy mengaku mengalami trauma setelah melakukan tindakan keji tersebut.
“Saya terluka secara moral,” kata dia. “Sungguh kacau, anda tahu, menggunakan warga Palestina sebagai tameng hidup seperti anjing.”
Taktik yang Sama di Tepi Barat

Israel juga menggunakan taktik yang sama di Tepi Barat yang diduduki. Tempat tersebut menjadi sasaran atas serangan besar-besaran di mana pasukan Israel meledakkan rumah-rumah dan mengusir lebih dari 40.000 orang selama lebih dari dua bulan.
Di Tepi barat, tim media berita tersebut bertemu dengan Omri Salem, seorang anak berusia 14 tahun yang rajin belajar dan bercita-cita menjadi insinyur. Keluarganya telah tinggal di daerah itu selama beberapa generasi. Dia mengatakan, bersama sepupunya yang berusia sembilan tahun, mereka diperintahkan oleh tentara Israel untuk menggeledah gedung apartemen empat lantai, padahal dia tidak ingin melakukannya.
“Saya sangat takut,” katanya.
“Kemudian mereka mulai memukuli kami.”
Omri masih terluka secara emosional oleh para tentara Israel yang memaksanya dengan todongan senjata untuk menjadi tameng hidup mereka.
Reporter magang: Devina Faliza Rey