Bystander Effect, Jadi 'Penonton' Tanpa Menolong
Bystander effect atau efek pengamat merupakan fenomena sosial yang jamak terjadi di sekitar.
Kamu mungkin pernah melihat atau bahkan mengalami, ketika ada seseorang mengalami kecelakaan atau pelecehan seksual dan orang lain hanya melihat, nggak membantu.
Kebanyakan dari mereka hanya membuka smartphone, merekam,, atau berlalu begitu saja. Bahkan nggak jarang, saat ada insiden tersebut terjadi, mereka cuma diam, nggak membantu atau mencegah. Situasi dan kondisi inilah yang disebut bystander effect.
Laman Psychology Today menjelaskan, bystander effect atau efek pengamat merupakan fenomena sosial yang jamak terjadi di sekitar, ketika seorang individu enggan bertindak di situasi darurat.
Situasi darurat termasuk saat terjadi pelecehan seksual, bullying, atau serangan kejahatan lain.
-
Apa itu Bystander Effect? Bystander effect merujuk pada fenomena di mana individu cenderung tidak memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan ketika ada orang lain di sekitarnya.
-
Mengapa Bystander Effect terjadi? Fenomena ini dapat dijelaskan oleh adanya difusi tanggung jawab, di mana setiap individu cenderung merasa bahwa tanggung jawab untuk memberikan bantuan tersebar di antara orang lain yang hadir dalam situasi tersebut.
-
Bagaimana Bystander Effect berpengaruh? Bystander effect memiliki dampak yang signifikan dalam situasi darurat, karena keberadaan banyak orang yang melihat kejadian tersebut dapat membuat individu merasa kurang bertanggung jawab atau merasa bahwa bantuan tidak diperlukan dari diri mereka sendiri.
-
Siapa yang pertama kali meneliti Bystander Effect? Istilah bystander effect pertama kali dikenal setelah penelitian psikologis yang dilakukan oleh John Darley dan Bibb Latané pada tahun 1964.
-
Siapa yang dianggap bertanggung jawab ketika seorang saksi perundungan bersikap pasif? Ada anggapan bahwa tidak ikut campur dalam situasi perundungan dianggap aman atau tidak menambah masalah, bahkan beberapa orang merasa bahwa bukan tugas mereka untuk bertindak atau membantu.
-
Kenapa kesehatan mental mudah diabaikan? Kesehatan mental sering kali hilang dari perdebatan kesehatan masyarakat, meski itu penting untuk kesejahteraan.
Pada 13 Maret 1964, Kitty Genovese (28) ditikam dan diperkosa di New York City. Saat kejadian, menurut cerita yang dikutip laman All That Interesting, diduga ada 37 saksi yang melihat dan mengetahui insiden itu, dan nggak melakukan apa-apa sampai akhirnya Genovese meninggal dunia.
Kematiannya pun memicu teori psikologis (bystander effect) yang paling banyak dibicarakan sepanjang masa, bahkan sampai disiarkan dalam surat kabar The New York Times dengan headline 37 Who Saw Murder Didn't Call the Police.
Dalam surat kabar itu, dikisahkan bahwa para saksi nggak langsung menghubungi polisi selama penyerangan dilakukan. Dari berita kematian Genovese, lahirlah gagasan tentang bystander effect yang diciptakan Psikolog Bibb Latane dan John Darley. Mereka menyebutnya dengan sindrom Kitty Genovese. Masih dikutip di laman yang sama, diketahui bahwa ada tetangga (Robert Mozer) yang berupaya menakut-nakuti penyerang bernama Winston Moseley.
Saat itu, Genovese nggak terlihat lagi dari pandangan Mozer, namun masih terdengar teriakan dan tetangga lain gagal melakukan intervensi tepat waktu.
Banyak dari mereka mengira, insiden itu karena perselisihan rumah tangga. Hal itulah yang membuat mereka enggan melakukan intervensi. Meski The New York Time dinilai membesar-besarkan banyaknya saksi yang melihat langsung insiden itu, namun pemberitaan itu justru mengubah dunia. Salah satunya sebagai awal mula penciptaan nomor darurat (911).
Setelah kasus Genovese, Bibb Latane dan John Darley adalah psikolog sosial yang mempopulerkan konsep bystander effect. Menurut mereka, ada dua faktor yang membuat orang lain enggan memberi pertolongan.
Pertama adalah difusi tanggung jawab yang artinya, semakin banyak orang yang melihat sebuah kejadian, semakin sedikit tanggung jawab yang dirasakan tiap orang untuk ambil tindakan. Sederhananya: orang enggan menolong karena yakin akan ada orang lain yang menolong.
Kedua adalah pengaruh sosial, dimana ketika terjadi sebuah peristiwa, pengamat akan melihat dulu kondisi di sekitarnya sebelum bertindak. Mereka cenderung nggak ikut campur, ketika situasinya dinilai ambigu.
Mengenai fenomena sosial ini, faktanya banyak terjadi di ruang publik, terutama di transportasi umum, seperti komuter.
Data dari Kementerian Perhubungan mencatat, jumlah penumpang wanita mendominasi perjalanan KRL Jabodetabek sebesar 53%.
Bayangkan dari banyaknya wanita yang menggunakan transportasi umum, ternyata pernah mengalami pelecehan seksual. Saat insiden itu terjadi, nggak menutup kemungkinan terjadi bystander effect.
"Survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) Tahun 2022 pun mencatat dari 3.539 responden perempuan dari 4.236 mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik dan 23% terjadi di transportasi umum termasuk sarana dan prasarana."
-Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)-
Selain itu, data IPSOS juga mengungkapkan sebanyak 91% orang pernah menyaksikan pelecehan seksual di ruang publik dan nggak tahu harus berbuat apa. Sementara 71% mengatakan situasi akan membaik, jika ada seseorang yang membantu.
Fenomena bystander effect ini menjadikan para saksi terpaku menyaksikan korban meminta tolong dengan berharap ada orang lain akan membantunya.
Pelecehan seksual di ruang publik diidentifikasi sebagai isu terpenting yang dihadapi perempuan di seluruh dunia, dimana 8 dari 10 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik
-IPSOS (2021)-
Beberapa waktu lalu, JakLingko Indonesia bekerja sama dengan Loreal Indonesia, PT KAI (Persero), PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), PT LRT Jakarta, PT MRT Jakarta, dan PT Transjakarta, yang didukung Kementerian Perhubungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pemprov DKI Jakarta dan jajarannya mendukung kampanye StandUP.
StandUP adalah gerakan untuk melawan pelecehan seksual yang dapat mengganggu self-worth, melalui upaya nyata yang memobilisasi semua pemangku kepentingan dan membekali masyarakat yang sekiranya mengalami fenomena bystander effect dalam menyaksikan peristiwa pelecehan seksual di ruang publik.
Mengenai fenomena bystander effect, publik figur, Cinta Laura pun sempat menyapa para pengguna komuter. Dia ingin memahami mengapa sebagian dari para komuter yang menyaksikan pelecehan, mungkin ada yang enggan melakukan intervensi pada saat kejadian.
"Dengan mendengar langsung dari mereka, saya mendapatkan perspektif lebih luas akan pentingnya pemahaman masyarakat akan teknis Metode Intervensi 5D agar para saksi dapat melakukan intervensi secara efektif untuk melawan kejadian pelecehan seksual di ruang publik."
-Cinta Laura Kiehl-
Berangkat dari fenomena bystander effect, 5D digunakan sebagai metode yang diakui sejumlah ahli sebagai pilihan yang aman, mudah diaplikasikan, praktis, dan efektif untuk digunakan baik bagi saksi maupun korban pelecehan seksual sebagai solusi yang dapat membantu saksi untuk berani mengambil tindakan.