Pakar Ini Beda Pandangan Soal BPA Padahal Sudah Dilarang di Negara Maju, Bagaimana Faktanya?
Banyaknya pandangan yang berbeda, membuat regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait BPA baru bisa diresmikan tahun ini.
Regulasi untuk mengendalikan paparan senyawa Bisfenol A (BPA) semakin diperketat di banyak negara di dunia. Indonesia pun akhirnya mulai mewajibkan peringatan label bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat. Namun, sejak diberlakukan tahun ini, pemerintah masih memberikan masa tenggang hingga 4 tahun kepada produsen air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan BPA untuk mematuhi regulasi tersebut.
Banyaknya pandangan yang berbeda, membuat regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait BPA baru bisa diresmikan tahun ini. Misalnya saja, Prof. Akhmad Zainal Abidin, seorang pakar polimer dari ITB menyebutkan jika label harus lebih spesifik, karena bahaya pada botol PET sebenarnya bukan hanya BPA tetapi juga bahan kimia lain, seperti etilen glikol.
-
Siapa yang menolak pelabelan BPA? Namun, terjadi penolakan yang diwakili oleh salah satu asosiasi korporasi multinasional.
-
Siapa yang mengimbau untuk menghindari BPA? ANSES mendesak agar perempuan hamil menghindari kemasan makanan kaleng atau meminum air dari kemasan plastik keras polikarbonat karena merupakan sumber BPA.
-
Kenapa BPA berbahaya? Banyak bahan kimia yang disebutkan dan berkaitan dengan risiko kesehatan, di antaranya adalah BPA.'Walhasil, hal ini menjadi masalah bukan hanya masalah nasional, tapi juga regional, bahkan jadi masalah global. BPA bisa masuk dalam chemical of concern itu banyak hal. Pertama, yang menjadi hal penting adalah kaitan dengan kesehatan. Kalau kaitan dengan kesehatan itu nomor satu,' kata Prof Chalid.
-
Bagaimana BPA bisa berbahaya? Riset di berbagai negara menunjukkan BPA pada plastik polikarbonat rawan luruh dan berisiko pada kesehatan, termasuk bisa memicu kemandulan dan kanker bila terminum melebihi ambang batas.
-
Apa itu BPA? BPA merupakan bahan baku pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi yang memiliki ketahanan kimia, panas, dan korosi yang sangat baik.
“Pelabelan ‘BPA Free’ pada botol PET bisa menyesatkan,” kata Prof. Akhmad Zainal Abidin, dalam diskusi “Fomo Apa-Apa BPA Free” di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, (21/08). Meski demikian, ia mengakui adanya potensi bahaya jika kandungan zat berbahaya seperti BPA melebihi ambang batas.
Mengenai pernyataan Akhmad yang agak mengecilkan bahaya BPA kalau dalam jumlah kecil, realitasnya justru menunjukkan sebaliknya.
Dalam lima tahun terakhir, negara-negara Eropa bahkan sudah bertindak lebih jauh ketimbang Indonesia, dalam memperketat penggunaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang bisa dikonsumsi manusia setiap hari.
Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) pun sudah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA. Semula pada 2015, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu, sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah.
Asupan Harian BPA yang Bisa Ditoleransi Lebih Ketat
Sekadar mengingatkan, BPOM sudah cukup transparan dengan memutuskan untuk mengeluarkan regulasi terkait pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat, setelah sebelumnya mendapatkan data tiga kali hasil pemeriksaan pada fasilitas produksi dalam kurun waktu 2021-2022, di mana didapati kadar BPA yang bermigrasi pada air minum dengan jumlah melebihi ambang batas aman 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 3,13%, 3,45%, dan 4,58%.
Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Anisyah mengungkapkan bahwa asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi kenapa BPOM juga melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada. Ia mencontohkan pengetatan regulasi di Uni Eropa (UE) pada 2011 menetapkan batas migrasi BPA sebesar 0,6 PPM, tetapi pada 2018 justru direvisi dan diperketat jadi semakin rendah di level 0,05 PPM.
Itu artinya, risiko kontaminasi BPA dari kemasan pangan atau minuman ke produk yang diwadahi, sudah dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari. Menurut EFSA, BPA yang menjadi campuran plastik kemasan atau wadah dapat bermigrasi ke makanan dan minuman, yang meskipun dalam jumlah kecil tapi dapat membahayakan kesehatan konsumen. Dibandingkan Indonesia yang masih sangat lunak, Uni Eropa bahkan bertindak lebih keras lagi dari sekadar melabeli AMDK galon berbahan BPA.
Sebanyak 27 negara maju yang bergabung dalam UE tegas menyatakan, BPA sudah tidak boleh lagi digunakan mulai akhir tahun 2024. EFSA menjelaskan setelah periode phase-out, bahan kimia (BPA) tersebut tidak akan lagi diizinkan digunakan dalam produk-produk (kemasan makanan dan minuman) di Uni Eropa. Hal ini mencakup bahan yang digunakan di dalam makanan kaleng, botol air minum, gelas plastik, dan baki, tetapi dianggap berbahaya untuk sistem kekebalan tubuh oleh EFSA.
(*)