Niat Puasa Arafah sekaligus Qadha Ramadhan, Bolehkah Digabung?
Puasa Arafah yang hukumnya sunnah, tidak bisa digabungkan niatnya dengan qadha puasa. Jadi, cukup berniat dengan qadha puasa sambil berharap pahala yang sunah.
Membaca niat adalah bagian penting dalam sebuah ibadah. Begitu juga ketika hendak menunaikan Qadha puasa yang bertepatan dengan puasa Arafah.
Niat Puasa Arafah sekaligus Qadha Ramadhan, Bolehkah Digabung?
Dalam menjalankan ibadah puasa, niat merupakan salah satu unsur yang sangat penting. Niat tidak hanya menentukan keabsahan puasa, tetapi juga menentukan pahala yang akan diperoleh. Di antara berbagai jenis puasa yang dianjurkan dalam Islam, terdapat puasa Arafah yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah, serta puasa Qadha Ramadhan yang merupakan pengganti puasa Ramadhan yang terlewat.
Bagi sebagian orang, mereka biasa menunaikan puasa Qadha bertepatan dengan waktu puasa sunah agar mendapat dua puasa sekaligus. Namun, apakah boleh menggabungkan dua puasa dalam satu waktu?
-
Bagaimana bacaan niat puasa Arafah? Niat Puasa Arafah Niat puasa yang dibaca malam hari: Nawaitu shauma arafata sunnatan lillahi taala. Artinya: “Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah taala.“ Niat puasa yang dibaca sesudah subuh: Nawaitu shauma hadzal yaumi an adai arafata sunnatan lillahi taala. Artinya: “Saya niat puasa sunnah Arafah hari ini karena Allah taala.“
-
Bagaimana niat puasa Arafah? Bacaan niatnya adalah: نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى Artinya: Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah Ta'ala.
-
Bagaimana cara berniat puasa Arafah? Karena merupakan ibadah sunah, niat puasa Zulhijah bisa diucapkan pada siang hari jika terlupa untuk melakukannya pada pagi hari.Dilansir dari laman NU Online, berikut adalah niat puasa Arafah:نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَىNawaitu shauma arafata sunnatan lillahi ta'alaArtinya: 'Saya niat berpuasa sunah Arafah karena Allah ta'ala.'
-
Bagaimana cara berniat qadha puasa Ramadhan? Niat qadha puasa Ramadhan mulai dilafalkan malam hari sejak terbenamnya matahari sampai terbit fajar. Berikut lafal niatnya.Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.Artinya: 'Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT'. Niat qadha puasa Ramdahan dilakukan pada malam hari sampai sebelum waktu fajar tiba.
-
Apa saja bacaan niat puasa qadha? Berikut adalah bacaan niat puasa mengganti puasa ramadhan atau puasa qadha dalam bahasa Arab, latin, dan artinya:نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ لِلَّهِ تَعَالَىNawaitu shauma ghodin 'an qadha'i fardhi ramadhana lillahi ta'alaArtinya:Saya niat berpuasa esok hari untuk mengganti puasa Ramadhan karena Allah Ta'ala.
-
Bagaimana cara berniat puasa qadha? Niat puasa mengganti puasa Ramadhan tidak perlu diucapkan secara lisan; cukup di dalam hati. Yang terpenting adalah ada tekad yang jelas untuk berpuasa karena Allah.
Dalam artikel berikut ini, kami akan sampaikan bagaimana bacaan niat puasa Arafah sekaligus Qadha Ramadhan serta penjelasannya.
Niat Puasa Arafah sekaligus Qadha Ramadhan
Untuk Puasa Qadha Ramadhan:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin 'an qadhā'I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta'âlâ.
Artinya: "Aku berniat puasa esok hari untuk mengqadha puasa wajib bulan Ramadhan karena Allah Ta’ala."
نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِّلِه تَعَالَى
Nawaitu shouma arafata sunnatan lillahi Ta'aalaa.
Artinya: "Saya niat puasa sunah Arafah karena Allah Ta’ala."
Ketika menggabungkan kedua niat tersebut, seseorang dapat berniat di malam hari sebelum tidur atau saat sahur dengan menyebutkan niat untuk melakukan puasa Qadha Ramadhan dan juga menambahkan niat untuk puasa Arafah.
Namun, perlu diingat bahwa membayar utang puasa Ramadhan adalah wajib dan sebaiknya didahulukan. Jika seseorang baru teringat atau baru bisa mengqadha puasa Ramadhan bertepatan dengan hari Arafah, maka disarankan untuk segera melakukannya pada hari tersebut.
merdeka.com
Apakah Boleh Menggabungkan Dua Niat?
Berkaitan dengan hal ini, para ulama memberikan penjelasan menarik,
“Barangsiapa melakukan amalan sunah, maka itu tidak bisa mencukupi yang wajib.”
Misalnya, seseorang berniat puasa Arafah, maka itu tidak bisa mencukupi qodho’ puasa. Namun jika seseorang melaksanakan qodho’ puasa bertepatan dengan hari puasa Arafah, maka qodho’ puasanya tetap sah. Kemudian sebagian ulama mengatakan untuk pahala puasa Arafah dengan ‘semoga ia juga mendapatkan pahala puasa Arafah sekaligus.
“Seandainya seseorang berpuasa di bulan Syawal dengan niatan qodho’ puasa, puasa nazar atau puasa lainnya, apakah ia pun akan mendapati pahala puasa sunah atau tidak. Saya belum menemukan ada yang berpendapat seperti ini. Namun pendapat terkuat, ia akan mendapati pahala puasa sunah tersebut.”
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa yang dianjurkan adalah mengqodho’ puasanya terlebih dahulu dan berharap agar kita juga mendapat pahala puasa sunah. Jangan sampai salah dengan menggabungkan niat qodho’ puasa dengan puasa sunah sekaligus.
Niat yang dibaca tetap qodho’ puasa yang hukumnya wajib dan berharap bisa mendapatkan pahala puasa sunah. Jadi tidak tepat jika Anda menggabungkan dua niat puasa, yaitu puasa wajib dan puasa sunah sekaligus.
Bolehkah Mendahulukan Puasa Sunah daripada Puasa Qodho?
Melansir dari rumaysho.com, para ulama Hanafiyah membolehkan untuk puasa sunah sebelum qadha’ puasa Ramadhan. Mereka tidak mengatakannya makruh dengan alasan bahwa qadha’ puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.
Ibnu ‘Abdin mengatakan,
“Seandainya wajib qadha’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunah dari qadha’ puasa Ramadhan. Qadha’ puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya.”
Kemudian untuk pendapat dari ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, mereka menjelaskan bahwa diperbolehkan namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunah dari qadha’ puasa. Karena jika dilakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunah).
“Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nazar, qadha’ puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Zulhjjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”
Kelapangan dalam Menunaikan Qadha
Dalam mengqadha’ puasa Ramadhan, sebenarnya kita memiliki waktu yang amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Ta’ala sendiri tidak memerintahkan kita untuk sesegera mungkin menunaikannya sebagaimana dalam firman-Nya,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqadha’nya kecuali di bulan Sya’ban.”. (HR. Bukhari dan Muslim.)
Dari penjelasan hadis di atas, ‘Aisyah baru mengqadha’ puasanya saat di bulan Sya’ban. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qadha’ puasa lewat dari Ramadhan berikutnya.” (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, 4: 191)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunahkan menyegerakan mengqadha’ puasa Ramadhan. Jika ditunda, maka tetaplah sah menurut para ulama muhaqqiqin, fuqaha dan ulama ahli ushul. Mereka menyatakan bahwa yang penting punya azam (tekad) untuk melunasi qadha’ tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 23).
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunah sebelum qadha’ puasa selama waktunya masih lapang). Jika seseorang melakukan puasa sunah sebelum qadha’ puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
(Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 6: 448).