Kekurangan Guru hingga Hubungan Keluarga Jadi Alasan Kepala Sekolah Angkat Honorer Tak Sesuai Aturan
Disdik Jakarta telah mengingatkan sejak 2017, agar tak mengangkat guru honorer.
Ramai guru honorer di DKI Jakarta mengeluh usai mengalami pemecatan di awal tahun ajaran baru. Merespons hal ini, Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta menyebut, mereka yang diberhentikan diangkat kepala sekolah tak sesuai aturan.
"(Diangkat) tanpa ada rekomendasi dari Dinas Pendidikan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Disdik DKI Jakarta Budi Awaluddin dalam konferensi pers di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (17/7).
Menurut Budi, ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi kepala sekolah di DKI Jakarta memilih untuk mengangkat guru honorer. Meskipun, telah diperingatkan Disdik Jakarta sejak 2017 agar tak mengangkat guru honorer.
Budi menyatakan, kekurangan guru di sekolahnya itu menjadi salah satu alasan guru honorer diangkat para kepala sekolah.
"Alasan mau melakukan itu (angkat guru honorer) kenapa? Ya mungkin bisa jadi karena kekurangan guru. Ya kan seperti itu. Banyak sih, banyak alasan mereka," ungkap Budi.
Padahal, kata Budi pengangkatan guru memiliki aturan resmi, semisal lewat Kontrak Kerja Individu (KKI) yang proses seleksinya diawasi ketat oleh Dinas Pendidikan.
"Diseleksi oleh Dinas Pendidikan melalui peraturan seleksi yang ketat dan ada uji kompetensinya. Dan sesuai ketentuan, gajinya juga sesuai ketentuan. Lalu juga ada PPPK, ada ASN, yang semuanya, seluruh kebutuhan kekurangan guru, kita penuhi lewat formasi itu," terang Budi.
Selain itu, alasan lain yang ditemukan Disdik DKI Jakarta terkait pengangkatan guru honorer oleh kepala sekolah juga lekat dengan adanya hubungan kelurga yang dimiliki oleh beberapa kepala sekolah dengan guru honorer.
"Untuk mengangkat PPPK dan ASN kan ada aturannya, masa kita mengangkat mereka berdasarkan mereka diangkat oleh kepala sekolah karena ada hubungan, misalkan hubungan keluarga, kolega dengan kepala sekolah, atau yang tidak sesuai aturan," ucapnya.
Meski begitu, Budi mengaku pihaknya belum memperoleh data jumlah kepala sekolah yang terlibat pengangkatan guru honorer tak sesuai aturan tersebut. Tapi, dia memastikan kepala sekolah bakal dipanggil untuk dilakukan pembinaan.
"Kita akan melakukan pembinaan kepada mereka. Nanti akan kita panggil mereka semua, kita lakukan pembinaan, dan kita akan evaluasi juga nanti ke depan. Nanti kita cek ada berapa banyak itu," ujar Budi.
Sebelumnya, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengatakan ratusan guru honerer di DKI Jakarta diputus kontraknya secara sepihak dengan dalih adanya cleansing guru honorer. Per Selasa 16 Juli 2024 total ada 107 guru honorer yang dipecat.
"Sudah kami terima sudah masuk 107. Seluruh Jakarta dari tingkat SD, SMP, SMA," kata Iman dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (16/7).
Menurut Iman, pemberitahuan cleansing guru honorer itu dibagikan dalam bentuk formulir pada 5 Juli 2024. Adapun kala itu merupakan minggu pertama masuk sekolah negeri tahun ajaran 2024/2025 di Jakarta.
"Para guru honorer mendapatkan pesan honor, yaitu bahwa mereka sejak hari pertama masuk menjadi hari terakhir berada di sekolah. Selain itu, kepala sekolah mengirimkan formulir cleansing guru Honorer kepada para guru honorer agar mereka isi," ungkap Iman.
Akibat hal ini, Iman bilang para guru honorer di DKI Jakarta merasa terpukul dengan pemberitahuan mendadak soal pemberhentian mereka.
"Mereka shock, ada yang sudah mengajar 6 tahun atau lebih. Mereka sebenarnya sedang menunggu seleksi PPPK 2024, namun jika diberhentikan seperti ini kesempatan mereka untuk ikut PPPK juga hilang," ujar Iman.
Iman menyatakan, sampai 15 Juli 2024, tercatat ada 77 laporan guru honorer yang terdampak kebijakan cleansing di DKI Jakarta. Jumlah mereka yang terdampak cleansing diprediksi cukup banyak.
Padahal, lanjut Iman, praktik kebijakan cleansing guru honorer tidak sesuai amanat Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005. Penyelenggaraan kebijakan ASN, harusnya berlandaskan asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, hingga keterbukaan.
"Pemberdayaan guru harus dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)," kata dia.