Mengenal Tari Montro, Kesenian dari Bantul Sebagai Sarana Dakwah
Ribuan pelajar menarikan Tari Montro di Pantai Parangkusumo, Bantul memecahkan rekor MURI.

Ribuan pelajar menarikan Tari Montro di Pantai Parangkusumo, Bantul memecahkan rekor MURI.

Mengenal Tari Montro, Kesenian dari Bantul Sebagai Sarana Dakwah

Pada Sabtu (26/8), ribuan pelajar menarikan Tari Montro di Pantai Parangkusumo, Bantul. Dengan jumlah mencapai 10.000 penari, acara itu memecah rekor MURI Tari Montro dengan jumlah penari terbanyak.
Tari Montro sendiri merupakan kesenian yang berasal dari Dusun Kauman, Pleret, Bantul. Kesenian itu awalnya digunakan sebagai sarana dakwah dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tarian itu muncul pada 11 April 1939. Saat itu, Kanjeng Pangeran Yudanegara, menantu HB VII memberikan sentuhan-sentuhan lagu pada sholawatan.


Pada lagu iringan tampak pengaruh dari wayang orang Kraton Yogyakarta.
Semenjak itulah seni Montro banyak diminati dan dilakukan oleh masyarakat Kauman, Pleret, Bantul.

Dilansir dari Wikipedia, kesenian ini pada mulanya hanya berkembang di lingkungan Kraton untuk memperingati maulid nabi.
Namun seiring waktu, kesenian ini berkembang menjadi kesenian rakyat.

Kata “montro” sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang artinya bunga mentimun. Perbedaan antara sholawatan maulid dan sholawatan montro terletak pada gerak tarinya.
Sholawatan maulid hanya duduk bersila, sedangkan sholawatan montro ada gerak tarinya.

Dilansir dari Kemdikbud.go.id, perlengkapan instrumen pengiringnya antara lain: 4 buah rebana, 1 kendang batangan, 1 kendang ketipung, kempul, gong, dan 6 orang pelantun lagu dan seorang maca kandha. Dan kelompok penari yang juga ikut melantunkan syair lagu.

Sampai saat ini, kesenian montro masih berkembang di daerah Kauman, Pleret, Bantul. Ada dua generasi penari, yaitu generasi tua dan generasi muda. Kesenian inipun sering ditampilkan pada acara kebudayaan Yogyakarta sebagai ikon Kabupaten Bantul. Salah seorang maestro kesenian ini adalah H. Suratijan.