Tegas dan Keras, Zaman Kerajaan Majapahit Terapkan Hukuman Mati bagi Orang Selingkuh
Hukuman tersebut diterapkan tanpa pandang golongan dan strata sosial
Hukuman tersebut diterapkan tanpa pandang golongan dan strata sosial
Tegas dan Keras, Zaman Kerajaan Majapahit Terapkan Hukuman Mati Bagi Orang Selingkuh
Pada era Kerajaan Majapahit, tatanan hukum diterapkan secara tegas, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Radjasanagara. Saat itu, Majapahit punya kitab undang-undang hukum pidana bernama Astadusta.
-
Siapa yang memimpin kerajaan Majapahit? “Dewi Suhita is the 6th King of the Majapahit Kingdom, who has the title Ratu Ayu Kencono Wungu, He led the Majapahit kingdom from 1429 AD - 1447 AD, The beauty and beauty of DEWI SUHITA made everyone admire and fall in love with him“ - Millen
-
Kapan Kerajaan Majapahit berdiri? Situs ini diperkirakan peninggalan kerajaan Majapahit yang eksis pada abad XIII – XV (Poeponegoro, 1992).
-
Siapa istri pertama dari Raja pertama Kerajaan Majapahit? Gayatri adalah salah satu istri dari Raja pertama kerajaan Majapahit, Raden Wijaya.
-
Kenapa Raja Majapahit marah? Mendengar banyak warga lokal masuk Islam, Raja Majapahit marah besar khawatir kekuasaannya hancur.
-
Siapa Ratu terakhir Majapahit? Dewi Suhita adalah ratu terakhir Majapahit yang naik takhta saat kondisi kerajaan itu tidak baik-baik saja.
-
Siapa yang punya darah keturunan Majapahit? Pria tua ini bukanlah orang sembarangan. Dia masih memiliki darah keturunan Kerajaan Majapahit. Pesan leluhurnya juga masih dipegang teguh. Bahkan kakek ini juga masih menjunjung tradisi ageman Jawa Kuno.
Dikutip dari kanal YouTube Embara Lensa, hukum dan undang-undang itu diterapkan secara tegas tanpa memandang golongan maupun strata sosial. Siapapun yang bersalah dan melanggar hukum, dia akan dihukum sesuai dengan ketentuannya. Pada waktu itu belum ada yang namanya hukuman penjara.
Dikutip dari Indonesiancultures.com, Astadusta merupakan pasal yang mengatur hukuman bagi seorang pembunuh pada kitab undang-undang hukum pidana Majapahit. Kitab hukum pidana Astadusta memiliki 19 bagian yang mengatur berbagai aspek terkait dengan hukum. Selain pembunuhan Astadusta juga digunakan untuk mengatur jual beli, utang-piutang, pegadaian, hingga tata cara pegadaian. Penerapan hukuman dilakukan tanpa pandang bulu. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 6 kitab tersebut yang berbunyi: "Hamba raja mesti ia menteri sekalipun jika ia menjalankan dusta, corah, dan tatayi, akan dikenakan hukuman mati."
Dilansir dari Indonesiancultures.com, penerapan tegas dari hukuman ini dibuktikan dengan vonis hukuman mati pada seorang menteri Majapahit bernama Demung Sora yang kedapatan membunuh Mahisa Anabrang. Pada waktu itu, tak ada pengaruh pada jabatan ataupun kedudukan serta hubungan darah pada saat hukum itu diterapkan. Itu artinya semua orang sama di mata hukum. Astadusta juga akan menjatuhkan hukuman pada para cendekiawan, rohaniawan, hingga lansia.Ada enam pelanggaran atau kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati. Kejahatan tersebut di antaranya membakar rumah orang, meracuni manusia, mengamuk, menggunakan sihir, mencelakai orang lain dengan ilmu hitam, menebar fitnah kepada raja, selingkuh dengan perempuan yang telah bersuami, maupun merusak kehormatan wanita. Dalam kitab pidana ini juga terdapat empat jenis hukum pidana pokok yakni hukuman mati, potong bagian tubuh anggota kejahatan, serta denda uang ganti rugi terhadap korban.
Selain itu, masyarakat Majapahit juga dilarang menebang pohon yang bukan miliknya. Menebang pohon pada malam hari sama diartikan sebagai tindakan mencuri. Sementara menebang pohon saat siang hari sang pencuri wajib mengganti pohon tersebut sebanyak dua kali lipat.
Ada juga peraturan yang menyatakan bahwa warga yang menelantarkan sawah dan ternaknya akan dikenakan denda atau diperlakukan sebagai pencuri atau hukuman mati. Penerapan hukuman ini bertujuan agar warga bisa menggarap sawah dan ternak dengan baik agar perekonomian kerajaan bisa tumbuh.