Tegas dan Keras, Zaman Kerajaan Majapahit Terapkan Hukuman Mati bagi Orang Selingkuh
Hukuman tersebut diterapkan tanpa pandang golongan dan strata sosial

Hukuman tersebut diterapkan tanpa pandang golongan dan strata sosial

Tegas dan Keras, Zaman Kerajaan Majapahit Terapkan Hukuman Mati Bagi Orang Selingkuh

Pada era Kerajaan Majapahit, tatanan hukum diterapkan secara tegas, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Radjasanagara. Saat itu, Majapahit punya kitab undang-undang hukum pidana bernama Astadusta.

Dikutip dari kanal YouTube Embara Lensa, hukum dan undang-undang itu diterapkan secara tegas tanpa memandang golongan maupun strata sosial. Siapapun yang bersalah dan melanggar hukum, dia akan dihukum sesuai dengan ketentuannya. Pada waktu itu belum ada yang namanya hukuman penjara.
Dikutip dari Indonesiancultures.com, Astadusta merupakan pasal yang mengatur hukuman bagi seorang pembunuh pada kitab undang-undang hukum pidana Majapahit. Kitab hukum pidana Astadusta memiliki 19 bagian yang mengatur berbagai aspek terkait dengan hukum. Selain pembunuhan Astadusta juga digunakan untuk mengatur jual beli, utang-piutang, pegadaian, hingga tata cara pegadaian. Penerapan hukuman dilakukan tanpa pandang bulu. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 6 kitab tersebut yang berbunyi: "Hamba raja mesti ia menteri sekalipun jika ia menjalankan dusta, corah, dan tatayi, akan dikenakan hukuman mati."
Dilansir dari Indonesiancultures.com, penerapan tegas dari hukuman ini dibuktikan dengan vonis hukuman mati pada seorang menteri Majapahit bernama Demung Sora yang kedapatan membunuh Mahisa Anabrang. Pada waktu itu, tak ada pengaruh pada jabatan ataupun kedudukan serta hubungan darah pada saat hukum itu diterapkan. Itu artinya semua orang sama di mata hukum. Astadusta juga akan menjatuhkan hukuman pada para cendekiawan, rohaniawan, hingga lansia.Ada enam pelanggaran atau kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati. Kejahatan tersebut di antaranya membakar rumah orang, meracuni manusia, mengamuk, menggunakan sihir, mencelakai orang lain dengan ilmu hitam, menebar fitnah kepada raja, selingkuh dengan perempuan yang telah bersuami, maupun merusak kehormatan wanita. Dalam kitab pidana ini juga terdapat empat jenis hukum pidana pokok yakni hukuman mati, potong bagian tubuh anggota kejahatan, serta denda uang ganti rugi terhadap korban.

Selain itu, masyarakat Majapahit juga dilarang menebang pohon yang bukan miliknya. Menebang pohon pada malam hari sama diartikan sebagai tindakan mencuri. Sementara menebang pohon saat siang hari sang pencuri wajib mengganti pohon tersebut sebanyak dua kali lipat.

Ada juga peraturan yang menyatakan bahwa warga yang menelantarkan sawah dan ternaknya akan dikenakan denda atau diperlakukan sebagai pencuri atau hukuman mati. Penerapan hukuman ini bertujuan agar warga bisa menggarap sawah dan ternak dengan baik agar perekonomian kerajaan bisa tumbuh.