Toxic Masculinity Adalah Tekanan Budaya Perilaku Pria, Ketahui Dampaknya
Merdeka.com - Dalam budaya Indonesia, tentu Anda sudah pernah mendengar berbagai aturan yang biasanya ditujukan pada pria. Misalnya seorang pria atau anak laki-laki harus kuat atau tidak boleh menangis sekalipun mengalami hal sedih. Bukan hanya itu, laki-laki sering kali dianggap harus bisa menyelesaikan masalah seorang diri tanpa menerima bantuan.
Tampaknya, anggapan semacam ini masih berlaku di masyarakat, termasuk Indonesia. Bahwa laki-laki harus berperilaku sesuai dengan anggapan tersebut agar diterima dan dianggap normal di masyarakat. Namun sebagian orang menganggap konsep ini kurang tepat dan justru akan menimbulkan banyak dampak bagi kesehatan mental laki-laki.Orang yang mengkritisi anggapan ini biasa menyebutnya dengan istilah toxic masculinity.
Toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dengan cara tertentu. Toxic masculinity ini dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada dalam diri seorang pria. Di mana pria harus kuat, tidak boleh lemah, harus bisa menjaga, harus memiliki kuasa, dan tidak boleh menunjukkan perasaan tertentu seperti menangis.
-
Siapa yang bisa menerapkan toxic masculinity dalam pengasuhan? Banyak orang tua yang tanpa sadar menerapkan toxic masculinity dalam mendidik anak laki-laki mereka, dengan harapan agar mereka tumbuh menjadi pria yang kuat, mandiri, dan berani.
-
Apa dampak toxic masculinity terhadap kesehatan fisik anak? Anak laki-laki yang diasuh dengan toxic masculinity biasanya tidak mau meminta bantuan atau perawatan medis, karena merasa malu atau takut dianggap tidak mampu. Mereka juga cenderung mengabaikan kesehatan tubuh mereka, dengan tidak menjaga pola makan, olahraga, atau istirahat yang sehat. Hal ini bisa mengganggu kesehatan fisik anak, yang bisa menyebabkan berbagai penyakit, seperti obesitas, diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung.
-
Kenapa toxic masculinity bisa membuat anak lelaki depresi? Anak laki-laki yang diasuh dengan toxic masculinity cenderung memendam emosi dan perasaan mereka, karena takut dianggap lemah atau cengeng. Mereka juga sering mendapat tekanan untuk menunjukkan prestasi, kompetensi, dan tanggung jawab yang tinggi, tanpa mendapat dukungan atau penghargaan yang memadai. Hal ini bisa menyebabkan stres dan depresi pada anak, yang bisa berujung pada perilaku buruk, seperti merokok, minum alkohol, atau bahkan bunuh diri.
-
Bagaimana toxic masculinity mempengaruhi kecerdasan emosional anak? Anak laki-laki yang diasuh dengan toxic masculinity kurang mengembangkan kecerdasan emosional mereka, yaitu kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat. Mereka juga kurang mengembangkan empati, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain.
-
Bagaimana merokok dikaitkan dengan toxic masculinity? Menurut pandangan sosial, seorang pria yang tidak merokok sering kali dianggap kurang mampu menyesuaikan diri dengan norma yang ada dalam pergaulan pria. Hal ini semakin diperparah dengan tekanan sosial yang menganggap merokok sebagai bagian dari identitas seorang pria.
-
Bagaimana pria mengatasi tekanan untuk tampak kuat? Banyak pria juga merasa malu dan ragu-ragu untuk berbicara tentang masalah pribadi mereka, terutama ketika berkaitan dengan kesehatan mental. Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, data dari Centers for Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa pria lebih sedikit mencari bantuan kesehatan mental daripada wanita. Hanya sekitar 8 pria yang menerima konseling atau terapi menurut statistik tahun 2020 dari CDC.
Jika hal ini terus diterapkan dalam kehidupan masyarakat, maka kaum laki-laki tidak bisa hidup dengan apa adanya. Terdapat beban sosial dan budaya yang harus diperankan, meskipun dalam kondisi tertentu seorang laki-laki tidak bisa melakukan hal tersebut. Dengan begitu, masyarakat perlu memahami apa yang dimaksud dengan toxic masculinity.
Melansir dari situs Verywell Mind, kami merangkum beberapa informasi mengenai toxic masculinity adalah sebagai berikut.
Mengenal Toxic Masculinity
©2019 Merdeka.com/Pixabay
Untuk mengetahui konsep toxic masculinity yang pertama bisa dipahami melalui pengertiannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa toxic masculinity adalah sebuah tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dengan cara tertentu. Dalam hal ini, muncul standar bahwa pria perlu bertindak tegas dan tidak boleh menunjukkan semua emosi yang bisa dirasakannya.
Bukan hanya itu, budaya toxic masculinity yang ada di masyarakat juga dikaitkan dengan nilai-nilai tertentu yang dianggap harus ada pada diri seorang laki-laki. Berikut beberapa nilai yang dianggap mencerminkan sikap pria yang maskulin:
Beberapa nilai dasar tersebut berkembang di masyarakat sehingga terbangun standar budaya dan sosial yang harus diperankan oleh seorang laki-laki. Dalam hal ini, banyak kritik yang menyatakan bahwa laki-laki tidak harus memunuhi dan melakukan semua nilai-nilai tersebut.
Jika hal ini terus berlaku di masyarakat, tentu dapat mengurangi kesempatan yang sama bagi pria untuk berperilaku apa adanya. Sebab, dalam berbagai macam keadaan mungkin pria tidak bisa berperilaku seperti yang diharapkan masyarakat, dan itu merupakan suatu hal yang wajar sebagai manusia.
Sebuah Kebiasaan yang Tidak Sehat
Dikatakan, toxic masculinity adalah suatu kebiasaan yang tidak sehat. Dalam hal ini, seorang laki-laki yang dianggap maskulin harus mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan tidak lemah. Akibatnya, hal ini akan memberikan tekanan tersediri bagi laki-laki untuk memenuhi nilai tersebut. Bahkan laki-laki juga memiliki kecenderungan untuk memaksakan diri secara fisik agar menjadi kuat.
Tidak heran, jika sebagian pria kemudian enggan pergi ke dokter ketika tubuh atau fisiknya sedang sakit. Sebab, mengunjungi dokter untuk pemeriksaan fisik tahunan, misalnya, bertentangan dengan keyakinan beberapa pria tentang ketangguhan. Selain menghindari pengobatan, toxic masculinity juga mendorong terjadinya perilaku tidak sehat.
Sebuah studi tahun 2007 menemukan bahwa semakin banyak pria menyesuaikan diri dengan norma maskulin, semakin besar kemungkinan mereka untuk terlibat dalam perilaku berisiko, seperti minum minuman keras , menggunakan tembakau, dan menghindari sayuran.
Stigma Kesehatan Mental
©Shutterstock/Yuri Arcurs
Selain suatu kebiasaan yang tidak sehat, toxic masculinity adalah suatu budaya yang dapat memberikan stigma kesehatan mental bagi pria. Dalam hal ini, toxic masculinity juga membuat pria enggan mendapatkan perawatan kesehatan mental seperti gangguan depresi, masalah kecemasan, dan yang lainnya. Sebab, hal ini dianggap sebagai suatu kelemahan yang bertentangan dengan nilai-nilai maskulinitas yang dibangun di masyarakat.
Bukan hanya itu, toksik maskulinitas mungkin juga menekankan bahwa pria tidak pantas membicarakan perasaan mereka. Menghindari percakapan tentang masalah atau emosi dapat meningkatkan perasaan terisolasi dan kesepian. Bukan hanya meningkatkan perasaan kesepian, hal ini juga mengurangi kesempatan pria untuk mendapatkan bantuan saat mengalami masalah kesehatan mental.
Perilaku Membantu
Selain memberikan dampak pada kesehatan mental, toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya yang dapat membatasi perilaku pria dalam hal tolong menolong. Pria yang menganggap dirinya lebih maskulin cenderung tidak terlibat perilaku menolong. Itu berarti pria tidak akan campur tangan ketika mereka menyaksikan penindasan atau melihat seseorang diserang.
Sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa maskulinitas beracun dapat mencegah pria menghibur korban, meminta bantuan, dan membela pelaku. Pria yang mendukung keyakinan bahwa pria harus kuat dan agresif lebih cenderung melihat konsekuensi sosial negatif yang terkait dengan campur tangan sebagai pengamat aktif. Bukan hanya itu, dalam kasus kekerasan seksual, pria yang paling mengidentifikasi perilaku maskulin cenderung tidak menghentikan serangan tersebut. (mdk/ayi)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ketika orangtua memiliki pandangan toxic masculinity, hal ini bisa berdampak buruk pada perkembangan anak.
Baca SelengkapnyaBanyak pria yang takut dengan wanita kuat dan tangguh. Hal ini ternyata bisa dijelaskan oleh sejumlah alasan berikut:
Baca SelengkapnyaBanyak anak laki-laki terobesesi dengan otot dan masulinitas. Mengapa hal ini terjadi?
Baca SelengkapnyaTerdapat berbagai fakta pria menangis yang penting untuk dipahami
Baca SelengkapnyaMasih banyak pria enggan mengakui bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental dan membutuhkan bantuan, mengapa?
Baca SelengkapnyaDalam konteks Islam, penampilan dan kepribadian seseorang tidak dipandang dari segi fisik, tetapi dari segi spiritual dan moral.
Baca SelengkapnyaSimak fakta cowok beralis tebal berikut ini yang wajib diketahui.
Baca SelengkapnyaPenting untuk mengajarkan pesan kehidupan kepada anak.
Baca SelengkapnyaToxic adalah istilah yang merujuk pada sifat beracun. Orang yang memiliki sifat toxic, biasanya akan memberikan dampak buruk bagi orang di sekitarnya.
Baca SelengkapnyaCiri-ciri pria toksik yang hanya memberikanmu cinta palsu dan hanya memanfaatkanmu saja.
Baca SelengkapnyaSebuah studi menunjukkan bahwa pria yang kerap memamerkan otot di media sosial berpotensi mengalami obsesi terhadap penampilan tubuh mereka.
Baca SelengkapnyaInferiority complex merupakan kondisi yang ditandai rasa percaya diri yang rendah pada seseorang.
Baca Selengkapnya