Wahyudin sumringah jika mengingat lagi penghargaan yang dia terima langsung dari Jenderal Polisi Dai Bachtiar. Kalender menunjuk akhir 2003, Bachtiar masih menjabat sebagai Kapolri.
Pada saat itu Wahyudin menjadi bagian dari tim yang berhasil mengungkap kasus pemboman Gedung Wisma Bhayangkari, di Komplek Markas Besar Kepolisian RI, Trunojoyo, Jakarta.
Wahyudin, kini berpangkat aipda, adalah spesialis pencari sidik jari tim INAFIS Polda Metro Jaya. Saat peledakan bom pipa itu terjadi pada 3 Januari 2003, dia baru empat tahun bekerja sebagai polisi. Insiden pemboman ini sempat diduga aksi terorisme. Wahyudin dan belasan polisi lain disebar ke TKP untuk melacak jejak pelaku beberapa jam setelah kejadian.
"Saya lalu menemukan lakban hitam dan ternyata di lakban tersebut ada sidik jari. Lakban itu melilit rangkaian bom," ujarnya saat ditemui merdeka.com pekan lalu di ruang kerjanya.
Pelaku berdasar temuan tim olah TKP, ternyata seorang polisi yakni Ajun Komisaris Polisi Anang Sumpena. Motifnya meledakkan bom dilatari sakit hati, karena Anang dipecat setelah terlibat penyalahgunaan narkoba.
Pemboman itu hanya satu dari kasus-kasus yang tak terhitung lagi sudah ditangani oleh Wahyudin selama 16 tahun berkarir di kepolisian. Namun dia selalu mengingatnya khusus, karena adanya penghargaan dari kapolri.
Sebagai anggota INAFIS, Wahyudin menerima takdir harus selalu bekerja di balik layar. Kerja kerasnya mencari keadilan bagi korban pembunuhan jarang sekali dosorot publik.
"Tapi saya yang penting bekerja sesuai tugas yang seharusnya," ujarnya.
Peralatan wajib tim olah TKP Polri (c) 2016 Merdeka.com/Polda Metro Jaya
Banyak ragam kasus pidana di Tanah Air yang berhasil dituntaskan berkat kejelian tim olah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Tim ini biasanya terdiri dari INAFIS, Laboratorium Forensik, serta Identifikasi Mayat dan Korban Bencana (DVI).
Komisaris Polisi Suyamta, sekarang menjabat sebagai Kasie Identifikasi INAFIS di Polda Metro Jaya, punya kenangan lain soal kasus pidana yang menurutnya menantang. Dia selalu teringat pembunuhan cangkul yang menimpa Eno Farihah, pekerja pabrik di Tangerang pada Mei lalu.
Pembunuhan sadis itu menurutnya berhasil terungkap sepenuhnya berkat metode penyidikan ilmiah.
"Kita lihat pelaku dari darah yang menempel di tembok kamar korban, kita identifikasi, cari tahu dan dapat si A, B, C, dijadikan terduga pelaku, setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata mereka memang pelaku sebenarnya," kata Suyamta.
Selain kasus Eno, kasus lain yang segera diingat Yamata adalah penemuan dua mayat di sebuah rumah kawasan Cakung, Jakarta Timur Oktober tahun lalu. Polisi yakin Dayu Priambarita (45) dan anaknya Yuel (5) dibunuh, tapi petunjuk mengenai pelaku sulit didapatkan polisi dari TKP.
Aparat sampai empat kali memeriksa lokasi kejadian, mewawancarai belasan orang, termasuk suami korban. Sketsa pelaku juga terus diperbarui. Polisi pun kemudian berkoordinasi dengan tim anjing pelacak.
Beruntung, metode ilmiah bisa diandalkan. Titik terang akhirnya didapat setelah Labfor berhasil mendapat informasi dari jenazah, jika ibu dan anak itu tewas empat jam selepas sarapan. Informasi berharga ini akhirnya oleh tim Suyamta dikonfirmasi dengan keterangan saksi yang melihat pria masuk ke rumah korban di jam-jam tersebut.
"Tersangka dalam pembunuhan ini berinisial HK, dengan motif pencurian,"ujarnya.
Garis Polisi wajib ada di setiap TKP (c) 2016 merdeka.com/mappesona
Cerita lain datang dari Komisaris Polisi Asep Gunardi. Sebagai Kepala Urusan Identifikasi mayat dan korban bencana (DVI), perjumpaannya dengan jenazah tak perlu diragukan lagi.
Namun dari semua pengalaman itu, dua peristiwa paling membekas bagi Asep. Pertama adalah proses identifikasi jenazah kecelakaan Sukhoi Superjet 100 pada 9 Mei 2012. Mengidentifikasi jenazah kecelakaan atau bencana alam adalah tantangan setiap anggota DVI di belahan bumi manapun.
"(Kondisi jenazah) engga semuanya utuh dan sulit dikenal. Kasus ini identifikasinya kan kalau secara visual kan engga ketemu si A si B. Kadang kami bolak-balik mencari informasi dari keluarga," urainya.
Peristiwa lainnya yang berkesan bagi Asep adalah diburu waktu memetakan identitas korban tewas bom teroris di Sarinah awal tahun ini. Petunjuk dari DVI dibutuhkan tim antiteror untuk mengetahui jaringan mana yang berperan dalam aksi peledakan dan penembakan di jantung ibu kota tersebut.
"Bom di Sarinah, Thamrin ini kan menyeramkan lebih mencekam. Banyak korban yang mesti kami identifikasi, pelakunya juga."
Selain kasus-kasus pembunuhan, penyidikan ilmiah berguna pula menuntaskan skandal penipuan. Suyamta menyatakan timnya cukup sering mendapat limpahan kasus dari Penyidik Bidang Harta Benda Ditreskrim untuk melakukan uji forensik pemalsuan dokumen.
"Tahun ini kita sudah menangani delapan kasus seputar pemalsuan surat akte jual-beli dan sebagainya," ungkapnya.
Suyamta kini sudah berusia 52. Seperempat abad dia habiskan menekuni ilmu olah TKP. Walau bekerja di balik layar, dia meyakini profesinya sebagai kerja otak yang menantang.
"Kasus atau suatu peristiwa dapat dirunutkan hingga menemukan titik terang siapa terduga pelaku, dengan barang bukti yang disebut benda mati berbicara," ujarnya.
Kasus baru selalu mampir di meja para polisi khusus ini. Rutinitas itu berulang: mayat baru di lokasi tak terduga, cara membunuh sadis, ketiadaan motif, kurangnya barang bukti, dan bermacam hambatan lainnya.
Hanya satu yang tak akan berubah: merekalah yang selalu bekerja dalam diam, memperjuangkan keadilan bagi si mayat.
Baca juga:
Foto dengan bos sawit jadi viral, perwira Polri dipanggil propam
Kapolri minta anak buahnya rajin turun ke lapangan & perangi calo
Hasil otopsi perlihatkan sadisnya pembunuh wartawati Nur Baety
Polri buat solusi atasi molornya penyidikan forensik
Basis data DNA dan sidik jari Indonesia kalah dari Malaysia
Tim DVI Polda Jateng ambil sampel darah keluarga Sumarti Ningsih
Polisi akhirnya tangkap pembunuh wanita hamil di Kali Ciliwung