Hidup dari Uang Recehan di Putaran Jalan
Keberadaan Pak Ogah dan banyaknya kendaraan yang berputar balik, dinilai menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan ibu kota.
Keberadaan Pak Ogah dan banyaknya kendaraan yang berputar balik, dinilai menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan ibu kota.
Hidup dari Uang Recehan di Putaran Jalan
Mengais Uang Recehan di Jalan
Tubuhnya tinggi, berbalut pakaian tertutup. Tangannya setia mengatur kendaraan yang hendak memutar arah di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Bagi pengguna jalan, mereka kerap disebut dengan istilah ‘Pak Ogah’. Sosok senior di putaran jalan itu adalah John. Lebih terkenal dengan sapaan Bang John. Usianya tak lagi muda. Sudah 60 tahun. Hampir separuh usianya dihabiskan di jalanan. Sudah 20 tahun dia menggantungkan hidup dari uang receh yang tercecer di putaran.
John sempat bekerja sebagai kurir. Namun tersingkir karena tingginya tensi persaingan. Usia juga membuatnya tak lagi gesit. Memaksa John mencari penghidupan di putaran jalanan. Setidaknya agar dapur rumah tetap ‘mengebul’. Kepadatan kendaraan di Jakarta menjadi berkah buatnya. Ketika hari beranjak sore, penanda bagi mereka untuk bekerja lebih ekstra. Sebab, kendaraan tumpah ke jalan dan menimbulkan kemacetan. Bagi pengendara yang diburu waktu, putaran balik adalah ‘jalan keluar’ untuk mencari alternatif menghindari kemacetan.
Seperti sore itu, Jumat (9/6), sekitar pukul 16.00 WIB. Dari pengamatan merdeka.com, dalam waktu 5 menit saja, 10 kendaraan memilih memutar balik. Tujuh diantaranya memutar balik dengan memberikan rezeki untuk ‘Pak Ogah’. Besarannya bervariasi. Uang lima ribu rupiah menjadi nilai terbesar.
“Dapat Rp60.000 sehari saja sudah paling top,” ujar John saat berbincang dengan merdeka.com.
John, pengatur lalu lintas di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Lima belas menit berselang, John terlihat menepi ke sisi trotoar jalan. Giliran rekannya mendapat jatah waktu mencari rezeki. Waktunya sama, yakni 15 menit. Begitu seterusnya dari satu orang ke orang lain. Uang yang diperoleh dalam 15 menit, masuk kantong pribadi. Tidak ada istilah setoran. Ini adalah kesepakatan bersama. Mengingat di putaran itu ada delapan orang yang menggantungkan hidup. Biasanya, jam kerja mereka dimulai pukul 10 pagi hingga 5 sore. Terkadang bisa melewati malam. Soal penghasilan, tergantung kebaikan penguna kendaraan. Bukan hanya John yang menggantungkan rezeki dari mengumpulkan uang receh di jalanan. Ada pula Agis (27). Saat ditemui, dia sedang bersantai di pinggir jalan sembari menunggu giliran menjadi ‘Pak Ogah’. Sudah hampir 5 tahun Agis mengais rezeki dari putaran balik di daerah Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Kondisi putaran balik di Pasar Rumput memang tidak sepadat di Pasar Minggu. Tapi tantangannya lebih besar. Mengingat putaran balik yang dijaga Agis dilalui Bus TransJakarta.Keberadaan Agis dan teman-temannya di putaran jalan itu justru atas inisiasi warga sekitar. Aksi tawuran yang kerap dilakukan warga Manggarai, Pasar Rumput, dan Menteng Dalam, membuat pekerjaan menjaga putaran balik menjadi sebuah solusi.
Dulu, Agis dan teman-temannya saling bermusuhan. Setelah diberi solusi pekerjaan, dua tahun terakhir mereka tak pernah terlibat tawuran lagi.
Dari cerita Agis, untuk bekerja di jalan tidak perlu syarat apapun atau harus berasal dari wilayah tertentu. Siapapun yang ingin bergabung akan diterima dan disambut dengan baik.
“Hari gini sudah enggak jaman lagi tawuran, silakan saja gabung. Ini lahan bukan punya kita, ini lahan bersama,” kata Agis.
@merdeka.com
Agis dan beberapa rekannya di sana memiliki penghasilan yang tidak jauh berbeda dengan John. Setiap harinya Agis pulang dengan membawa uang rata-rata Rp50.000. Penghasilan mereka meningkat jika mendekati hari raya. Biasanya, pengendara memberikan rezeki lebih besar dari biasanya. “Di sini beragam ya ngasihnya. Mulai dari koin Rp200, Rp500, Rp2 ribu, sampai Rp20 ribu. Itu juga jarang,” ungkap Agis. Jika menghitung penghasilan ‘Pak Ogah’ berdasarkan penuturan John dan Agis yang rata-rata membawa pulang Rp 50.000-60.000, maka setiap bulannya mereka hanya mendapat sekitar Rp1,5 juta hingga Rp1,8 juta. Meskipun jumlahnya kecil, ternyata mampu mencukupi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari.
Asal Muasal Istilah ‘Pak Ogah’
Istilah ‘Pak Ogah’ tidak serta-merta muncul dan melekat pada mereka yang biasa mengatur jalanan. Istilah itu pertama kali muncul diadopsi dari film ‘Si Unyil’. Film seri anak yang diciptakan Drs. Suyadi. Setiap karakter yang dihadirkan di film ini memiliki keunikannya masing-masing. Termasuk karakter Pak Ogah yang dikenal sebagai seseorang yang kerap meminta uang dengan dialog andalannya “Bagi cepek dulu dong”.
Ahli Linguistik Universitas Padjadjaran, Nani Darmayanti menjelaskan, istilah ‘Pak Ogah’ yang melekat pada diri pengatur jalan memang berkaitan dengan karakter Pak Ogah di film Si Unyil.
“Asal-usulnya berawal dari fenomena Pak Ogah di film Si Unyil yang sangat populer di tahun 80-an,"
Ahli Linguistik Universitas Padjadjaran, Nani Darmayanti
“Ada tokoh yang dikenal sebagai tokoh yang pemalas, berkepala botak, dan kerjanya hanya diam sambil meminta uang dari orang yang lewat. Sejak itu orang yang suka meminta uang disebut Pak Ogah, termasuk pengatur jalan di persimpangan,” tambahnya.
@merdeka.com
Karakter fiktif Pak Ogah di film Si Unyil, direpresentasikan dalam diri sosok orang pengatur jalan baik di dunia nyata. John dan Agis tak sependapat. Aktivitas mereka mengais rezeki dianggap mirip Pak Ogah yang hanya meminta uang.
“Kita dikasih (uang) syukur, enggak dikasih juga syukur. Malah kalau sudah dikasih tangan sama yang bawa mobil saja kita sudah seneng,” ucap Agis.
Tak mau dicap seperti Pak Ogah yang hanya menyodorkan telapak tangan dan meminta uang, John mengingatkan rekannya agar menghormati setiap pengendara. Termasuk pengguna jalan yang tidak memberi rezeki atas jasa mereka.
“Mereka yang lewat itu enggak ada kewajiban untuk ngasih. Bahasa kasarnya kan kita tim sukarelawan. Saya bilang tidak usah macem-macem kalau tidak dikasih,” kata John.
VIdeo Cek L:okasi merdeka.com membahas tentang strategi menutup sejumlah putaran balik jalan di ibu lota DKI Jakarta.
Nasib Pak Ogah
Keberadaan Pak Ogah dan banyaknya kendaraan yang berputar balik, dinilai menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan ibu kota. Kondisi ini menginspirasi Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta menutup putaran balik atau U-Turn. Ada 32 titik putaran balik yang dianggap sebagai titik dengan antrean kendaraan yang cukup tinggi. Penutupan U-Turn meliputi beberapa ruas jalan di Jakarta. Termasuk Jalan Raya Pasar Minggu, tempat di mana John dan rekan-rekannya biasa bekerja.
Menurut John, penyebab utama kemacetan bukan keberadaan putaran balik, melainkan volume kendaraan yang tidak berimbang dengan jalan yang terlalu sempit. John dan teman-temannya hanya menawarkan jasa membantu kendaraan yang ingin berputar balik dan mencari jalur alternatif agar tidak terjebak kemacetan. “Ada positif negatifnya ya. Ada yang bilang memperlancar atau membantu juga banyak, tergantung manusianya ngeliatnya gimana. Kalau pagi juga sampai jam 9 putaran ini juga ditutup. Dibukanya agak depan sama orang Dishub,” cerita John.
Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail melihat, penutupan putaran balik akan berimbas pada aktivitas Pak Ogah. “Iya termasuk itu. Itu kan satu kesatuan untuk rekayasa lalu lintas di antaranya yang diusulkan kemarin beberapa U-Turn dan termasuk penertiban Pak Ogah,” jelas Ismail kepada merdeka.com. Penutupan U-Turn berpengaruh terhadap mata pencaharian mereka yang bekerja mengatur putaran balik. Tidak bisa dihindari jika nantinya akan ada protes dari Pak Ogah. Namun, solusi permasalahan kemacetan tetap harus menjadi yang utama.
“Ya pastilah karena itu kan mata pencaharian mereka. Tapi kan kita harus dudukan sesuatu pada tempatnya, jangan sampai kemudian misalkan sisi kemanusiaan kita boleh tapi ternyata menimbulkan kemacetan dan sebagainya tidak benar juga nantinya,”
Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail.
John dan Agis meyakini, lahan rezeki mereka bukan penyebab kemacetan. Mereka juga selalu berusaha untuk tidak membuat masalah dengan warga sekitar. Menurut mereka, selama bekerja menjaga putaran balik, warga justru memberikan respons positif.
“Memang kita saling membantu,” tutup John.
Reporter magang: Rafi Indra Jaya Putra dan Alya Fathinah