Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kabur lantaran kuah kangkung bak comberan

Kabur lantaran kuah kangkung bak comberan Belantara hutan Nusakambangan. ©AFP PHOTO/Azka

Merdeka.com - Kisah Timong dan rekan-rekannya kabur dari Lapas Nusakambangan memang pernah difilm-kan dengan pemeran utama Johni Indo. Jhoni merupakan eks pemimpin geng motor Pasukan China Kota (Pachinko) yang dipenjara di Nusakambangan karena kasus perampokan.

"Jhoni segera kamu ganti baju, kita akan kabur hari ini. Kalau sudah waktunya tiba, nanti kita langsung bergerak," begitu Nanggo Kromang alias Bernard Timong mengajak Jhoni Indo untuk melarikan diri dari Lapas Permisan, Penjara Nusa Kambangan, Cilacap Jawa Tengah, 33 tahun lalu.

Sesuai hitungan Slamet, hari kenaikan Isa Almasih merupakan hari baik untuk melarikan diri. Primbon Jawa mengatakan para narapidana hanya memiliki waktu baik selama enam jam untuk lari dari Nusakambangan. Hitungan itu sudah dikalkulasi Timong dengan cermat. Waktu enam jam diprediksi sudah sampai di daratan Cilacap. "Dari Lapas Permisan ke Kampung Laut itu hanya perlu waktu tiga jam," ujar Timong.

Ke-34 narapidana itu lari menuju hutan menuju bukit di atas Lapas Permisan, Pulau Nusakambangan. Jhoni ditugaskan memegang pistol. Riwayatnya sebagai perampok diyakini mampu menembak tepat sasaran. Apalagi Jhoni memang dikenal saat melakukan perampokan bersama Pasukan China Kota (Pachinko) pernah merebut pistol saat beraksi.

Enam buah pistol dibawa sebagai modal para narapidana dalam pelarian. Timong membawa Klewang dan sebuah pisau yang dia buat saat berada dalam lapas. "Pisau itu sudah saya buat sebelum saya kabur," tutur Timong.

Mereka menelusuri hutan. Untuk memutuskan komunikasi antar lapas berada di Penjara Pulau Nusakambangan, para narapidana memutuskan kawat penyambung telepon. Tujuannya, agar informasi kaburnya para Narapidana tidak segera bisa dilaporkan. Ke-34 napi itu berjalan bergerombol menyusuri hutan menuju pinggiran pantai selatan.

Tujuan utamanya ialah Kampung Laut. Di sana biasanya ada perahu nelayan yang bisa mengantarkan mereka untuk sampai ke daratan Kabupaten Cilacap. Namun nasib berkata lain. Rombongan 34 napi ini harus menghadapi beratnya membelah hutan di Pulau Nusakambangan. Hal paling berat ialah mengisi perut mereka ditambah binatang buas penghuni Pulau Nusakambangan.

Bagi Timong, itu bukan perkara sulit. Dia bisa memakan apa saja asal tidak beracun. Untuk kebutuhan air, para narapidana itu mengisap air rotan. "Yang terpenting bagi kami adalah selamat dan berhasil kabur dari Pulau Nusakambangan," katanya.

Di balik pelarian itu, Timong berujar, tekadnya untuk lari dari Nusakambangan sebetulnya sudah diniatkan ketika dia menjalani masa karantina sebelum dimasukkan ke dalam blok di Lapas Permisan. Niat itu semakin menjadi tak kala menu makanan di Penjara Nusa Kambangan kurang layak untuk dikonsumsi. Apapun di Penjara Nusakambangan mendorong para narapidana untuk melarikan diri.

Saban hari para narapidana hanya diberi sayur kangkung dan nasi. Namun menu itu tak seindah dibayangkan. Sayur kangkung dimasak dalam lapas berkuah seperti comberan. Begitu juga dengan nasi, saban hari mereka diberi makanan tak layak untuk dikonsumsi.

Pernah Timong dan narapidana lain melakukan protes, namun pemberian makanan itu tak berubah. Malah jatah makan para narapidana di timbang dan dikurangi dengan cara diberikan pemberat. "Sayurnya sama seperti air kali di Jakarta, warnanya hitam," kata Timong. "Siapapun akan lari dari Nusakambangan."

Delapan bulan di penjara, niat Timong semakin bulat. Apalagi dia tak mau mati kelaparan di Penjara Nusakambangan. Bahkan tekad itu dibulatkan untuk mengatur cara lari dan mengumpulkan sesama napi yang ingin kabur. Dia pun mengatur strategi. Termasuk menjaga komunikasi sesama napi yang tergabung untuk melarikan diri. Maklum, hidup di dalam Nusakambangan, membuat Timong mengenal banyak karakter.

Dia tidak memungkiri, jika ada narapidana memata-matai sesama napi. Apalagi sipir penjara Nusakambangan memang dikenal memiliki tataran keras. Siapapun. "Siapa yang mau mati menjadi pupuk alang-alang," katanya mengibaratkan.

Apalagi, sebagai perantauan Timong tak mau sampai mati di Nusakambangan. Paling tidak, ketika dia tutup usia, orang tuanya bisa melihat dan menziarahi pusaranya. "Saya inikan jauh di Flores sana, enggak mungkin orang tua saya datang nengokin kuburan saya," ujar Timong.

(mdk/mtf)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Kisah Kampung Mati di Gunungkidul, Kini Hanya Tersisa Dua Rumah di Puncak Bukit
Kisah Kampung Mati di Gunungkidul, Kini Hanya Tersisa Dua Rumah di Puncak Bukit

Ada seorang warga kampung yang hilang dan keberadaannya belum diketahui hingga kini.

Baca Selengkapnya
Kisah Keluarga Pemberani yang Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Cilacap, Hidup Berdampingan dengan Babi Hutan
Kisah Keluarga Pemberani yang Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Cilacap, Hidup Berdampingan dengan Babi Hutan

Saat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras

Baca Selengkapnya
Potret Kampung Puncak Manik Sumedang yang Dulu Dibakar DI/TII, Kini Tersisa 10 Bangunan
Potret Kampung Puncak Manik Sumedang yang Dulu Dibakar DI/TII, Kini Tersisa 10 Bangunan

Di balik keasriannya, ada cerita kelam ketika puluhan rumah dibakar paksa oleh pemberontak. Dari 80 rumah yang ditinggali warga, kini tersisa hanya 10 bangunan.

Baca Selengkapnya
Melihat Kehidupan Warga di Kampung Tengah Pegunungan Kapur Wonogiri, Sepi karena Banyak yang Merantau
Melihat Kehidupan Warga di Kampung Tengah Pegunungan Kapur Wonogiri, Sepi karena Banyak yang Merantau

Saat musim tanam tiba, para perantau itu pulang sebentar untuk menanam jagung dan selanjutnya pergi merantau lagi

Baca Selengkapnya