Mengandalkan langganan dan pembaca tua
Merdeka.com - Media cetak seperti koran, tabloid, hingga majalah makin tergusur oleh kehadiran media online. Penjualannya terus menurun, bahkan beberapa perusahaan media terpaksa tutup karena merugi dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Meski begitu, masih ada pembaca setia koran walau jumlahnya terus berkurang.
Supardi (47), salah satu loper koran mengaku hanya mengandalkan penjualan korannya dari para langganan. Mereka, kata dia, rata-rata berasal dari kalangan usia tua dan pekerja kantoran yang masih betah membaca berita dari media cetak. Sementara untuk menjual kepada umum, Supardi mengaku sudah jarang yang membeli koran.
Setiap hari, dari tiap agen, Supardi mengambil koran yang akan dijual dalam jumlah terbatas. Dia membeli koran Bisnis Indonesia 15 eksemplar, Kompas 35, Koran Tempo 5, Rakyat Merdeka 2, dan Pos Kota 5 eksemplar.
-
Bagaimana cara loper koran menjual koran di Bandung? Dengan memakai sepeda motor yang dipasangi tas khusus di jok belakang, garda depan informasi ini bersiap keliling sepagi mungkin.
-
Dimana pusat distribusi koran di Bandung? Mengutip bandung.go.id, sejak pukul 04:00 WIB pagi, loper koran sudah berjajar. Mereka mulai mengambil koran-koran dari rumah percetakan dan menjajakannya di jalan sekitar hingga menyebar ke kawasan lainnya di Kota Bandung.
-
Kenapa warga Bandung antre beli koran? Di masa sebelum tahun 2000-an, warga bahkan sudah ada yang antre menanti koran terbit. Biasanya kondisi ini bertepatan dengan masa Sipenmaru atau penerimaan mahasiswa baru di universitas kenamaan, penerimaan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), hingga seputar lowongan kerja.
-
Apa saja surat kabar yang pernah beredar di Bandung? Berbagai koran terbit di Kota Kembang, seperti AID de Preanger Bode yang jadi salah satu koran tertua, ada juga Harian Banten, Harian Karja, Indonesia Express, hingga Pikiran Rakjat yang melegenda.
-
Siapa pendiri Kompas Gramedia? Namanya tersohor karena menjadi salah satu pendiri dari Kelompok Kompas Gramedia.
-
Kapan masa keemasan koran di Bandung? Cikapundung jadi daerah yang tersisa dari masa keemasan koran dan kini masih tetap bertahan di tengah senja kala yang mengancam keberadaannya.
"Ada juga (pembaca) yang usia muda tapi mereka langganan sejak lama dengan saya," jelasnya.
Dari agen, Supardi hanya mendapat keuntungan dua ratus hingga seribu rupiah untuk tiap koran. Jumlah itu dia kumpulkan sedikit demi sedikit. Dari koran yang dijualnya, bayaran yang termahal didapatnya dari koran Kompas (grup PT Gramedia) sebesar Rp 95 ribu per bulan.
"Kalau dihitung semuanya ya cukup lah. Saya bisa kumpulkan dua juta sebulan," katanya.
Loper koran ©2017 Merdeka.com/Marselinus Gual
Keresahan akan nasib mereka yang bergantung hidup pada media cetak dialami juga oleh Sawara (62). Agen sebuah koran ternama di Indonesia ini mengaku mengalami penurunan omzet setelah berkembangnya media online. Penurunan itu dicermatinya sejak sejak lima tahun belakangan.
"Coba Anda bayangkan saja, sebelum reformasi, koran ini mencetak 250 ribu eksemplar tiap hari. Sekarang tinggal berapa, cuma 20 ribu eksemplar! Jadi mengalami penurunan drastis," kata Sawara kepada merdeka.com.
Sawara mengaku jauh sebelum media online berkembang pesat, dia bisa meraup keuntungan Rp 1 juta tiap harinya. Namun, kata dia, keadaan berubah setelah perkembangan media online tidak lagi bisa dibendung.
"Kehadiran media kalian (menatap merdeka.com) tidak bisa tidak, melesukan media cetak," ucapnya dengan nada sedikit keras.
Di sisi lain, Ketua AJI Jakarta Nurhasim berpendapat, menurunnya pembaca media cetak tak serta merta meningkatkan pamor media online. Sebab, kata dia, kualitas suatu informasi yang dihasilkan media, dinilai oleh pembaca masing-masing.
"Kualitas bukan soal medium sebenarnya. Orang juga bisa suka online dan bisa juga suka cetak," kata Nurhasim kepada merdeka.com.
Nurhasim mengatakan, letak kualitas suatu media terdapat pada kemauan pemilik dan pengelola media. Sebab, lanjut dia, menulis berita-berita dan informasi sensasional untuk memperbanyak pembaca juga kerap dilakukan oleh media cetak dan online.
Namun ruang untuk berkembang dengan baik di masa depan, kata Nurhasim sangat potensial dimiliki oleh media daring. Dibanding media cetak yang mempunyai kendala jumlah halaman dan oplah, media online mempunyai kesempatan yang lebih luas dari segi waktu dan tampilan kepada pembaca. (mdk/bal)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Cikapundung jadi daerah yang tersisa dari masa keemasan koran dan kini masih tetap bertahan di tengah senja kala yang mengancam
Baca SelengkapnyaToko buku lawas di gang Jalan Dewi Sartika ini masih terus eksis hingga kini.
Baca SelengkapnyaSuparno, warga Tulungagung Jawa Timur ini tak menyerah saat bisnisnya gagal. Ia beralih jualan empon-empon. Hasilnya, baru setahun ia bisa beli mobil cash.
Baca SelengkapnyaIa kebanjiran pesanan berbagai alat peraga kampanye untuk Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaMenjelang dimulainya tahun ajaran 2023/2024, berbagai perlengkapan sekolah banyak diburu warga.
Baca SelengkapnyaMeski sepi pembeli dan harus panas-panasan saat menjual pulpen tersebut, Ahmad mengaku tak ingin menyerah.
Baca SelengkapnyaAwalnya, Suparno memulai usaha berjualan singkong dan jagung, tetapi pada akhirnya bangkrut.
Baca SelengkapnyaPj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono memastikan bahwa harga beras stabil.
Baca Selengkapnya