Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tidak relevan kalau Golkar masih dikaitkan dengan Orba

Tidak relevan kalau Golkar masih dikaitkan dengan Orba Akbar Tandjung Politisi Partai Golkar. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com - Meski usianya kini tak lagi muda, Akbar Tandjung, 71 tahun, masih aktif berkecimpung dalam dunia politik. Sudah 51 tahun, lelaki kelahiran Tapanuli Tengah, Sumatera Utara ini duduk dan bergabung dengan Partai Golongan Karya. Karir politiknya dimulai ketika dia banyak aktif di kegiatan organisasi mahasiswa dan kepemudaan.

Lepas menjadi ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia, Akbar mulai terjun ke Politik. Dari partai yang ada saat itu, dia memilih Golkar. Alasannya, Akbar meyakini jika hingga saat ini Golkar masih memiliki visi dan misi yang sama seperti tujuannya terjun ke dunia politik. Pasang surut Golkar mulai dari era Orde Baru hingga saat ini telah dialami Akbar Tandjung.

Bahkan dia telah mencapai puncaknya karirnya di Partai Golkar sebagai Ketua Umum. Melalui Golkar, Akbar juga pernah duduk sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat hingga beberapa posisi menteri ketika Orde Baru berkuasa. Banyak yang dikatakan oleh Akbar dalam perbincangan hampir satu jam setengah di kantornya.

Berikut petikan wawancara Akbar Tanjung kepada Marselinus Gual, Laurel Benny Saron Silalahi dan Arbi Sumandoyo dari merdeka.com.

Di usia yang tak lagi muda, Anda masih konsisten berada di Partai, bisa dijelaskan alasannya?

Saya masih ada di Partai Golkar karena partai itu sarana memperjuangkan cita-cita, butuh ide dan gagasan dalam rangka memberikan kesejahteraan, kemaslahatan kepada masyarakat dan pada akhirnya masuk partai politik adalah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Dan saya sudah mengambil pilihan di Partai Golkar dan tentu saya akan berupaya akan berada dalam partai ini sejauh menurut pikiran saya tetap setia dengan cita-cita awalnya, setia dengan platform tujuannya dan tetap setia dengan gagasan awal kenapa partai ini didirikan. Atau tetap setia dengan alasan sejauh memberikan kontribusi kepada masalah yang dihadapi bangsa termasuk masalah politik karena saya dibesarkan dalam suatu organisasi yang banyak bersentuhan dengan masalah-masalah kemasyarakatan dengan masalah-masalah sosial politik sejak saya masih muda.

Sejak saya masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di situ saya sudah mengambil satu pilihan untuk berkiprah dalam suatu organisasi yang tentu mempunyai satu cita-cita, mempunyai suatu tujuan. Dan untuk untuk itulah saya masuk organisasi dan pada waktu itu HMI memiliki suatu militansi yang tinggi terutama dalam menghadapi berbagai tekanan-tekanan yang dilakukan terhadap organiasi ini oleh kekuatan kiri, kekuatan-kekuatan komunis yang ingin membubarkan HMI.

Saya tertarik dengan organisasi karena kebetulan saya datang dari keluarga berlatar belakang Islam, jadi saya tertarik dengan organisasi ini. Sejak 1964 saya sudah masuk HMI dan pada waktu itu sudah terjadi peristiwa-peristiwa nasional seperti G 30 S/PKI. Mahasiswa-mahasiswa kemudian melakukan gerakan melawan G 30 S/PKI dan berhimpun dalam satu organisasi yaitu Kesatuan Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dan saya waktu itu aktif sekali dan berhimpun di KAMI yang berbasis di UI. Dan pada suatu waktu kami dibubarkan oleh Bung Karno, kami kemudian mahasiswa-mahasiswa dalam KAMI itu membentuk suatu institusi baru yaitu institusi untuk perjuangan sama Laskar Ampera Abdurahman Hakim, yaitu mahasiswa yang menentang aksi-aksi G 30 S/PKI yang kemudian tertembak di Monas.

Saya juga aktif di Laskar Ampera Abdurahman Hakim. Laskar itu terbagi dalam beberapa yon-yon: Yon Ahmad yani, Tendean, Yon Panjaitan, Suprapto, dan bahkan saya aktif di salah satu yon yang berbasis di kampus UKI. Bahkan setelah dikeluarkan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu bubarkan PKI, turunkan harga dan kabinet 100 menteri yang diprakarsai oleh kesatuan aksi mahasiswa, saya selalu ikut aksi-aksi mahasiswa sejak dikeluarkannya TRITURA itu. 10 Januari-12 Maret 1966 boleh dikatakan terjadi aksi mahasiswa untuk membubarkan PKI, saya aktif di situ.

Itulah awal saya berkiprah dalam organisasi kemahasiswaan yang bersentuhan dengan masalah kemasyarakatan dan bahkan juga dengan masalah politik sampai hari ini. Dengan kurun waktu 1965 (G 30 S/PKI) sampai sekarang berarti sudah 51 tahun. Saya juga selain ikut aksi mahasiswa saya juga jadi ketua HMI, ketua cabang HMI, ketua PB dan ikut membentuk organisasi Cipayung yang menghimpun organisasi eks calon dokter dengan lima pilar yaitu HMI, GMNI, GMKI,PMI dan PMKRI. Saya termasuk pelopornya, pendiri yang masih ada sampai sekarang adalah Suryadi. Setelah itu saya masuk politik, masuk Golkar pada tahun 1974. Setelah saya selesai dari PBHMI (Ketum 1971-1974).

Di situ saya masuk dunia politik dan 1977 saya menjadi DPR sampai 1988, dan jabatan menteri dari Pak Harto dan Pak Habibie, kemudian melalui Munas Luar biasa Juli 1998 dan oktober 1999 saya menjadi ketum. Demikian saya masuk dalam dunia politik karena masuk dunia politik itu suatu panggilan untuk kebaikan bagi masyarakat, kesejahteraan masyarakat melalui dunia politik. oleh karena saya sudah masuk dunia politik tentu saya konsisten dengan sikap saya dan tentu akan setia pada organisasi ini sejauh organisasi ini berpegang pada prinsip-prinsip dasar dari pada organisasi ini didirikan, platform dan komitmen pada bangsa ini, entah saya masuk dalam struktur atau tidak, itu soal lain tapi saya akan tetap ada di sini.

Alasan mendasar anda memilih Golkar dibanding dengan partai yang ada pada saat itu?

Alasan dasar masuk dunia politik adalah berkiprah dan ikut serta dalam memberikan bagi bangsa dan negara bagi masyarakat terutama dalam rangka memberikan kontribusi bagi masyarakat. Kemudian ada pilihan ada tiga, PDIP, PPP dan Golkar. Kalau dilihat dari segi latar belakang saya sebagai tokoh mahasiswa HMI dan kalau lihat background itu tentu orang berpendapat ke PPP tapi saya juga banyak menyerap pendapat dan pikiran dari Nurcholis Majid waktu dia menjadi Ketum PB HMI periode kedua. Kemudian di tengah jalan ada jabatan kosong saya ditarik untuk kemudian mengikuti pikiran Nurcholis Majid tentang masalah-masalah keislaman dan pentingnya pembaruan pemikiran keislaman. Termasuk pembaruan itu adalah berkaitan dengan politik terutama nilai Islam rahmatan lil alamin itu kan berlaku kapan dan di mana saja dan melalui apa saja bisa dilakukan.

Atas dasar itu saya berpendapat bahwa saya tidak perlu masuk paprol berlatar belakang Islam, saya juga bisa masuk parpol yang berbasis kebangsaan dan nasional. Apalagi saya sudah mengenal Golkar ketika aktif organisasi PB HMI saya bergaul dengan tokoh kepemudaan yang dari latar belakang Partai Golkar sehingga saya merasa juga dekat dengan mereka itu sehingga saya menyatakan masuk saja dengan mereka itu.

Artinya secara ideologi Anda lebih dekat dengan Golkar?

Ya secara ideologi dan pada waktu itu Golkar didirikan dalam rangka membela, mengamankan dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Dan itu lah yang membuat saya merasa cocok dengan Golkar, karena saya sebagai pemuda yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat maupun latar belakang saya dari kemahasiswaan Islam, tapi saya merasa harus punya kontribusi dengan masyarakat.

Sepanjang berada di Golkar, bagaimana Anda melihat Golkar sekarang?

Kalau kita melihat Golkar pada hari ini tentu menjadi referensi utama dalam melihat Golkar tidak lain adalah Golkar dalam rangka era reformasi. Saya melalui Golkar dalam era Orde Baru (1974) itu pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan bahkan 1997 dalam era Orba. Bahkan dalam era reformasi pun saya turut ikut yaitu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dengan demikian, dengan melihat pemilu di Indonesia saya sudah mengikuti 9 kali Pemilu.

Saya kira masih sangat sedikitlah yang masih aktif dalam politik ikut Pemilu sembilan kali. Mungkin satu dua orang saja dan saya salah satunya. Kemudian Orba dan sekarang tentu beda. Golkar pada Orba memang diposisikan sebagai kekuatan politik yang mempunyai tugas utama memberikan dukungan atas suksesnya daripada misi Orba. Pilar pendukung utama ya Golkar selain partai-partai lain. Tetapi yang memiliki kedekatan baik secara visi misi, perjuangannya dan baik secara program pembangunannya ya Golkar.

Jadi Golkar selalu mendapatkan kemenangan di pemilu-pemilu karena memang dia mempunyai pilar yang didukung dan bahkan pemerintah Orba mengandalkan Golkar sebagai kekuatan pendukung. Pemerintah Orba tentu berkepentingan dan Golkar mendapat posisi-posisi mayoritas sehingga pernah disebutkan sebagai mayoritas tunggal untuk menjamin agar kehidupan politik stabil sehingga pembangunan nasional tetap berjalan. Dan itu terbukti berhasil dengan adanya stabilitas politik dan kemudian juga menjamin pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen yang membuat kita disebut sebagai calon macan Asia.

Golkar di era reformasi dengan faktor adanya krisis moneter dan kita mampu tapi tetap mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan pemimpin. Dicoba dengan berbagai upaya tapi tidak berhasil yang mengakibatkan lengsernya Soeharto dan muncu lah kepemimpinan baru Pak Habibie. Setelah Pak Habibie menjadi presiden timbul lah tuntutan-tuntutan baru. Tuntutan-tuntutan baru itu karena iklim politiknya tidak kondusif maka dengan adanya reformasi muncul lah aspirasi-aspirasi baru terutama aspirasi untuk menetapkan kepemimpinan nasional yang baru, yang legitimate dan dianggap Pak Habibie adalah pemerintahan Orba dan dianggap legitimasinya tidak kuat maka dibutuhkan lah kepemimpinan nasional yang baru yang legitimate. Ini tuntutan pertama maka kemudian muncul lah tuntutan baru yaitu semangat demokratisasi yang kemudian muncul lah tuntutan berikutnya yaitu berdirinya parpol.

Melihat aspirasi yang kuat dengan meminta adanya perubahan kemudian menuntut segera adanya Pemilu dalam rangka memilih pemimpin nasional yang baru maka sepakat lah Presiden dipilih MPR/DPR dalam sidang umum MPR 1998 antara lain untuk melakukan perubahan dalam agenda konstitusional. Dengan semangat yang sama dengan munculnya parpol sampai 150-an dan akhirnya diseleksi KPU jadi 48 parpol.

Itulah awal demokrasi dan Golkar ada dalam proses itu dan pada saat yang sama Golkar mendapat tekanan-tekanan karena dianggap sebagai bagian dari Orba. Karena menjadi pilar Orba maka dituduh paling bertanggungjawab atas kemerosotan oleh rezim Orba. Tekanan-tekanan itu terus ada pada Golkar dan waktu saya jadi ketua umum merasa betapa beratnya mengemban tugas sampai kita dikejar-kejar dan kantor kita dirusak. Kalau ada pertemuan kita diganggu karena Golkar dianggap paling bertanggungjawab atas semua kemerosotan dan tuntutan-tuntutan itu muaranya adalah agar Golkar dibubarkan. Walaupun kami ditekan, tapi punya niat untuk membangun bangsa akhirnya kami lolos dari tekanan itu dan menjadi nomor dua setelah PDIP. Masih ada tekanan dan kami hadapi sekaligus ambil langkah inovatif dengan agenda reformasi bahwa Gokar mampu adaptasi seperti adanya konvensi pemilihan calon presiden, yang akhirnya pada 2004 Golkar sebagai pemenang.

Apakah faktor dekat dengan Orde Baru masih mempengaruhi Golkar hingga saat ini?

Menurut saya tidak lagi relevan kalau Golkar dikaitkan dengan Orba. Kalau masih relevan ya pada awal reformasi tapi kami toh bisa survive. Berarti Golkar yang tadinya menjadi kekuatan Orba dan masyarakat melihat mampu beradaptasi maka masyarakat menilai patut untuk memberikan dukungan. Bahkan ada yang simpatik kepada Golkar karena dikejar dan diteror. Padahal Golkar secara institusional bukan pengambil kebijakan di era Orba, Golkar itu kekuatan politik memang dan lebih pada kekuatan pendukung misi Orba. Yang menentukan kebijakan orba adalah tentu tokoh militer.

Menurut Anda, tidak adanya sosok kader yang mencolok apakah juga membuat perolehan suara terus menurun?

2004 kan kami menang. Kami juga memopulerkan sistem pemilihan demokratis presiden dengan konvensi. Kami kenalkan ke publik, ada 19 calon diseleksi melalui mekanisme demokratis secara bottom up lalu terpilih lima orang yaitu saya sendiri, Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Lalu diadakan pemilihan final untuk menetapkan calon, putaran pertama saya menang dan nomor dua Wiranto. Tapi karena sistem kita mengharuskan dua hari untuk mencapai dukungan di atas 50 persen, maka pada putaran kedua pemenangnya adalah Wiranto. Maka jadilah calon presiden itu Wiranto.

Artinya konvensi itu betul-betul dilakukan secara terbuka dan demokratisasi. Tapi kemudian calon itu tidak terpilih jadi presiden itu soal lain. Karena pada waktu itu muncul satu fenomena lain yaitu munculnya SBY yang mendapat simpati luar biasa di masyarakat dengan kemampuannya merespon publik, santun dan tertata dengan baik paling tidak dia membuat rakyat simpatik. Kalau dari latar belakang keduanya sama dan Wiranto justru pernah menjadi panglima dan menteri, tapi kan publik punya selera sendiri. Akhirnya pilihan kepada Pak SBY. Jadi dalam konteks itu tidak bisa kita kaitkan dengan lebih banyaknya figur atau tokohnya. Kalau dari segi rekrutmen Golkar sudah betul.

Kalau dikaitkan dengan Golkar secara institusi harus dilihat dengan hasil pemilu dan posisi di kementerian. Pemilu 1999 kami mendapat suara 21 jutaan, kursi 120, pada 2004 jadi pemenang ada 24 juta suara, kursi 128 di DPR. Tapi setelah pergantian kepemimpinan dalam segi kepemimpinan tidak kurang, karena ada pak JK. Tapi faktanya kita kalah 2009. Kemudian 2014 di era ARB turun lagi jadi 91 kursi dan suara 15 juta. Kalau kita lihat dengan adanya konflik internal kita di mata publik semakin turun. Opini publik terhadap Golkar jadi turun, sehingga satu sampai dua bulan kemarin ada yang coba survei kalau 2014, 15 persen sekarang 7-8 persen, kuris 45. Akibat adanya konflik sangat mempengaruhi persepsi publik sehingga Golkar tidak mampu menjadi sarana pembawa aspirasi publik karena Golkar tidak mampu konsolidasi, tidak mampu menjamin keutuhan partai, mempengaruhi elektabilitas Golkar.

Banyak yang mengatakan Golkar bersebrangan dengan pemerintah, padahal partai ini sejak awal didirikan memiliki misi selalu berada di belakang pemerintahan, bagaimana tanggapan Anda?

Saya koreksi pendapat saudara, Golkar didirikan dalam rangka mengamankan Pancasila dan jadi partai pelopor pembangunan. Dengan dinamika yang ada di era reformasi, kita, pada waktu saya jadi ketum Golkar, saya katakan selalu siap tidak harus ada di pemerintah. Kalau dipanggil kita respon dengan baik dan saya lakukan pada waktu itu. Tapi tidak dalam pemikiran bahwa kita harus di dalam, tidak. Kita harus siap di luar, di luar juga tidak kalah hormatnya. Tapi karena diminta kita harus respon dan kita syukuri jadi mereka apresiasi kerja kita. Dan bahkan dalan konteks sekarang kan ARB (Aburizal Bakrie) sudah dukung pemerintah. Apakah konsekuensi dapat jabatan menteri itu hak prerogatif presiden. Kalau tidak ya tidak apa-apa. Karena kita tidak selalu di dalam pemerintah.

Kalau dulu kan pemerintah identik dengan Golkar dan orang dalam pemerintah seratus persen orang Golkar, tapi dengan adanya reformasi kita tidak bisa menganggap kita ada di dalam karena pemerintah tergantung presiden. Kalau presiden terpilih dari Golkar tentu ada banyak orang Golkar ada di dalam, kalau tidak ya tidak mungkin kita klaim harus banyak di dalam. Kalau masuk ya tentu ada ukuran seperti kapabilitas, elektabilitas dan sejauh mana penerimaan publik dan tentu kita akan memberikan yang terbaik sehingga publik akan kembali percaya dan pada waktunya tokoh Golkar akan menduduki tokoh puncak di dalam kepemimpinan nasional. (mdk/arb)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
JK: Golkar Sangat Tergantung Penguasa Cari Koalisi, Bahaya Kalau Begini Terus
JK: Golkar Sangat Tergantung Penguasa Cari Koalisi, Bahaya Kalau Begini Terus

JK sebut Golkar telat dalam menentukan arah koalisi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Baca Selengkapnya
Gerindra dan Golkar, Solid di Pilpres Berhadapan di Banten
Gerindra dan Golkar, Solid di Pilpres Berhadapan di Banten

Golkar mulanya berharap Prabowo Subianto merestui Airin Rachmi Diany sebagai calon Gubernur Banten.

Baca Selengkapnya
Bahlil Sebut Ketum Golkar Terdahulu Selalu Dekat dengan Presiden: Kalau Saya Kok Salah?
Bahlil Sebut Ketum Golkar Terdahulu Selalu Dekat dengan Presiden: Kalau Saya Kok Salah?

Bahlil tidak ingin disalahkan terkait adanya anggapan bahwa dirinya bisa menjadi Ketum Golkar

Baca Selengkapnya
Golkar Tegaskan Tak Ada Dorongan untuk Koalisi dengan Gerindra
Golkar Tegaskan Tak Ada Dorongan untuk Koalisi dengan Gerindra

Seluruh kader Partai Golkar sudah menyerahkan keputusan di Pilpres 2024 kepada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Baca Selengkapnya
Golkar Dinilai Punya Peran Strategis di Pemerintahan Prabowo-Gibran
Golkar Dinilai Punya Peran Strategis di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Apalagi suara Golkar naik signifikan pada Pemilu 2024

Baca Selengkapnya
PDIP Sebut Prabowo-Gibran Neo Orde Baru, Airlangga: Sekarang Zaman Reformasi
PDIP Sebut Prabowo-Gibran Neo Orde Baru, Airlangga: Sekarang Zaman Reformasi

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto buka suara terkait pasangan Prabowo-Gibran disebut sebagai 'neo orde baru'.

Baca Selengkapnya
Munaslub Golkar, Upaya Ganggu Soliditas di Tikungan Terakhir
Munaslub Golkar, Upaya Ganggu Soliditas di Tikungan Terakhir

Munaslub Golkar dilakukan oleh Faksi Kecil yang bermain di tikungan terakhir jelang Pemilu 2024

Baca Selengkapnya
Isu Gibran Jadi Ketum Golkar, MKGR Ingatkan Syarat Jadi Kader Minimal 5 Tahun
Isu Gibran Jadi Ketum Golkar, MKGR Ingatkan Syarat Jadi Kader Minimal 5 Tahun

MKGR menegaskan, bahwa di Partai Golkar terdapat aturan main yang harus dipatuhi oleh seluruh kader termasuk Gibran yakni aturan dasar aturan rumah tangga.

Baca Selengkapnya
PDIP Tidak Baper Ditinggal Golkar-PAN: Semakin Ramping dan Efisien
PDIP Tidak Baper Ditinggal Golkar-PAN: Semakin Ramping dan Efisien

PDIP menilai masyarakat akan menguji gagasan bukan seberapa banyak partai gabung koalisi

Baca Selengkapnya
Tak Ada Celah Untuk Munaslub Golkar
Tak Ada Celah Untuk Munaslub Golkar

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus menegaskan, tidak ada dorongan Munaslub oleh Dewan Pakar Golkar.

Baca Selengkapnya
Jusuf Kalla Tolak Munaslub Golkar Melengserkan Airlangga: Partai Diganggu Lagi, Makin Kacau Negeri Ini
Jusuf Kalla Tolak Munaslub Golkar Melengserkan Airlangga: Partai Diganggu Lagi, Makin Kacau Negeri Ini

JK mengatakan, apabila Golkar pecah, tidak akan bisa menang pada Pemilu 2024 mendatang.

Baca Selengkapnya
Jusuf Kalla: Jangan Harap Jadi Ketua Golkar Kalau Tidak Punya Modal Rp600 Miliar
Jusuf Kalla: Jangan Harap Jadi Ketua Golkar Kalau Tidak Punya Modal Rp600 Miliar

JK menegaskan untuk dapat menjadi Ketua Umum Partai Golkar perlu modal yang cukup banyak.

Baca Selengkapnya