Ucok si 'Pak Ogah' di Jalan Daan Mogot
Merdeka.com - Ucok (26) berharap rezekinya bertambah dua kali lipat. Pagi-pagi benar dia mengajak serta dua karibnya, Iman (27) dan Mamat (19). Setiba di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, ketiganya hanya melihat lalu lalang kendaraan roda dua. Jalan ramai tapi Ucok, Iman dan Mamat menelan ludah.
"Sudah jam satu, hanya ramai dengan motor. Kami belum dapat neh," kata Mamat kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Ketiga sahabat karib ini merupakan 'pengawal' jalan raya. Saban hari, mereka lazim disebut Pak Ogah atau 'Polisi Cepek'. Sebutan itu merujuk pada profesi mereka sebagai pengatur lalu lintas dengan modal nekat dengan komando tangan dan teriakan.
-
Mobil Ketek itu seperti apa? Secara umum, Mobil Ketek sendiri bentuknya seperti mobil berbodi jip, kemudian dengan tambahan aksen kayu.
-
Dimana Mobil Ketek mangkal? Kemudian, setelah jembatan Ampera selesai dibangun, bagian bawahnya kerap dijadikan tempat mangkal para oplet dengan berbagai rute.
-
Kenapa polisi meminta uang kepada pemobil? 'Seratus ya, pak, nggak ada, pak,' ucap pemobil. Namun sang polisi tetap kukuh meminta Rp150 ribu. Dia bahkan mengatakan jika memang si pemobil tak mau memberi sesuai yang dia minta maka SIM nya bakal ditahan dan ditilang.
-
Bagaimana polisi mengancam pemobil tersebut? Dia bahkan mengatakan jika memang si pemobil tak mau memberi sesuai yang dia minta maka SIM nya bakal ditahan dan ditilang.
-
Apa yang diminta oleh polisi kepada pemobil tersebut? Dalam video yang direkam dari arah kursi penumpang belakang itu, nampak dan terdengar pak polisi meminta Rp150 ribu kepada pemobil.
-
Apa tebakan lucu tentang mobil? Mobil apa yang bikin galau? Jawab: Mobilang sayang, tapi takut ditolak.
ucok polisi cepe ©2016 merdeka.com/marselinus
Lintasan yang ramai dengan kendaraan yang tak pernah berhenti menjadi tumpuan harapan ketiganya. Di atas badan jalan, dengan peluh yang terus mengucur, mereka mengadu nasib oleh kerasnya hidup di Ibu kota. Ucok, Mamat dan Iman hidup bergantung pada belas kasihan pengendara yang lewat melalui recehan yang kadang sampai di tangan dan kadang pula dipungut dari aspal.
Siang itu Ucok berdiri di median jalan. Suaranya tertelan oleh bising deru kendaraan. Hanya tangannya yang melambai-lambai membuat pengendara tahu ada sosok Ucok.
"Maju. Pelan. Sabar. Ayo," begitulah aba-aba yang dikeluarkan Ucok dengan tangannya yang melambai-lambai.
Mamat dan Imam mempercayakan Ucok menerima recehan yang diberikan pengendara mobil. Adakalanya recehan itu tak sampai di tangan Ucok. Mobil terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya yang mungil. Nampak senyum geli sang dermawan di balik kaca mobil melihat Ucok berjinjit dan mengejar koin demi koin yang terjatuh di aspal yang panas.
Kerja itu tak normal
Mereka punya riwayat kerja yang cukup layak. Ucok pernah jadi kuli angkut beras. Mamat dan Imam bekas pekerja pabrik. Tapi Jakarta memang tak pernah ramah bagi ketiganya. Ucok tak cukup kuat mengangkut beras, sedangkan Iman dan Mamat tak diperpanjang kontrak oleh perusahaan.
Menjadi Pak Ogah bukan pekerjaan gampang tapi juga bukan pekerjaan yang diidam-idamkan. Ucok sadar, fisiknya tak mendukung untuk menjalani pekerjaan normal umumnya. Ucok bahkan berkali-kali dicibir ataupun dipandang sinis oleh pengendara yang lewat.
"Meski bukan pekerjaan yang layak, ini masih lebih baik dari pada mencuri," ujar Ucok yang diamini Iman dan Mamat.
Di jalan itulah mereka kini bertaruh nasib. Mata mereka juga selalu awas, siapa tahu petugas Satpol PP lewat. Ucok tak mau 'gagal' lagi. Sudah dua kali dia terjaring razia petugas. Itu terjadi tahun 2015 lalu dan bulan Maret 2016 ketika Ucok menjajal kemampuannya sebagai polisi cepek di kawasan Grogol, Jakarta Barat.
ucok polisi cepe ©2016 merdeka.com/marselinus
"Saya tinggal di sana selama tiga bulan tapi keluar karena ada keluarga yang pergi ambil," ujar perantau asal Medan, Sumatera Utara ini.
Biasanya, kata Ucok, mereka baru mulai bekerja secara leluasa setelah lewat pukul 11.00 WIB setelah petugas sudah tidak kelihatan. "Jam enam sampai jam sebelas petugas lalu-lalang di sini," lanjutnya.
Ucok, Mamat dan Iman tidak sendirian sebagai polisi cepek. Menurut Mamat, di lokasi tempat mereka mangkal tiap harinya terdapat 20 orang yang juga mengadu nasib sebagai pengatur lalu lintas. Adu nasib pun terjadi selama satu jam dalam pembagian shift di antara mereka. Beruntung, jalur sepanjang Daan Mogot menuju Jakarta-Tangerang tak pernah sepi kendaraan tiap harinya.
"Setiap satu jam ganti orang sampai semua kebagian," kata Ucok.
Bertahan hidup dengan cara itu tak membuat Mamat dan Iman merasa tak berguna sebagai laki-laki. Awalnya mereka enggan tapi setelah menikah dan punya tanggungan keduanya mau tak mau bekerja. Dibanding Ucok, Mamat dan Iman punya tanggung jawab lebih. Keduanya harus menyisihkan recehnya untuk makan dan biaya sewa kos sebesar Rp 600 ribu per bulan.
"Saya sudah punya anak satu begitu juga Bang Iman. Ucok sih lebih baik karena dia sewa kos dengan dua orang temannya," jelas Iman.
Perkara malu urusan belakangan
Sekira dua kali lemparan batu dari tempat yang dijaga Ucok dkk, terdapat sebuah putaran balik yang dijaga Dicky (39) dan seorang temannya, Iwok (23). Sore itu ketiganya sibuk menghitung recehan demi recehan yang mereka peroleh.
"Semuanya ada enam puluh ribu bang," kata Iwok kepada Dicky.
Keduanya membagi rata uang recehan yang berjumlah Rp 60 ribu itu. Separuh untuk Dikcy dan separuhnya lagi untuk Iwok. Setelah selesai, Iwok hendak balik ke tempatnya. Bunyi recehan koin itu terdengar dari balik kantung celananya.
Dicky bertubuh tinggi dan agak kurusan. Padahal, jika melihat fisiknya, dia masih sangat kuat untuk melakoni pekerjaan lainnya. Tapi rupanya nasib Dicky sama sepeti Mamat dan Iman. Ayah tiga orang anak ini di PHK tahun 2013 lalu. Berkali-kali dia melamar pekerjan dari satu pabrik ke pabrik tapi tidak satupun yang mau menampungnya.
ucok polisi cepe ©2016 merdeka.com/marselinus
"Dulu saya operator mesin. Sulit sekali mendapat pekerjaan yang sama. Saya coba lamar di mana saja tapi tidak diterima juga," keluh Dicky.
Tiga tahun Dicky sudah menjadi polisi cepek. Sambil menunggu lamaran yang dibawanya ke pabrik-pabrik, Dicky mencari nafkah untuk keluarganya di atas jalan itu. Dia mengaku pekerjaannya selalu dianggap remeh oleh orang-orang.
"Banyaklah bang komentar-komentar yang kita dengar. Tapi kan saya punya anak istri. Mereka mau makan apa jika saya tidak bekerja!" kata Dicky.
Penghasilan yang dikumpulkan Dicky tak menentu tiap harinya. Rezekinya tergantung besar kecilnya recehan yang diberikan pengendara mobil. Tapi yang membuat hatinya menelan ludah pahit adalah kelakuan pengendara yang melempar koin di aspal.
"Tak ada yang menyuruh kita ya. Sukarela saja karena kami mau hidup. Tapi kami juga membantu mereka kan! Hanya kadang kita diam saja kalau ada yang melempar ke aspal," ujar Dikcy sendu.
Dicky berharap suatu saat dia dapat pekerjaan yang lebih baik. Dia mengaku ketiga anaknya sudah bersekolah. Yang tertua sudah duduk di bangku SMA dan paling banyak membutuhkan biaya. Sementara dua lainnya duduk di bangku Sekolah Dasar. Dia dan istrinya kadang kerepotan ketika kebutuhan sekolah dari tiga anak mereka tiba-tiba ditagih.
"Kalau saya dan istri sudah kumpulkan uang untuk sewa kos misalnya, anak-anak pasti butuh ini itu," kata Dicky sambil melihat ke arah lain.
(mdk/hhw)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dalam getaran megapolitan, keyakinan tersebar bahwa uang bukan barang langka, begitulah bukti adanya para polisi cepek di Ibu Kota. Simak selengkapnya disini!
Baca SelengkapnyaUcok Baba membuat banyak orang ngeri saat memutuskan untuk menyetir truk tronton sendirian.
Baca SelengkapnyaUcok Baba sampai akan menelepon polisi. Endingnya malah tak disangka-sangka.
Baca Selengkapnya