Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Memaknai Pencabutan Status Darurat Kesehatan Masyarakat Covid-19

Memaknai Pencabutan Status Darurat Kesehatan Masyarakat Covid-19 Tim medis di RS Persahabatan. ©REUTERS/Willy Kurniawan

Merdeka.com - Pada tanggal 5 Mei 2023, mengikuti panduan dari Komite Darurat IHR (International Health Regulation) di mana penulis dan Dr I Nyoman Kandun MPH juga menjadi kontributor rutin per tiga bulan ke komite darurat WHO, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan berdasarkan Pasal 12 Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) tahun 2005 bahwa pandemi Covid-19 tidak lagi merupakan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional ( PHEIC atau Public Health Emergency International Concern).

Untuk diingat bahwa status darurat (PHEIC) Covid-19 dimulai pada 30 Januari 2020, dan meskipun telah berlangsung tiga tahun, ini bukanlah PHEIC yang bertahan paling lama sejak penerapan IHR (2005).

PHEIC yang masih berlangsung akibat risiko kemunculan kembali dan potensi penyebarannya adalah penyakit polio akibat virus polio liar yang pertama kali dideklarasikan pada 5 Mei 2014, dan kini memasuki tahun kesembilan.

Berakhirnya status PHEIC bukan berarti Covid-19 tidak lagi menjadi isu yang signifikan.. Direktur Jenderal WHO telah menyoroti pentingnya mengadopsi strategi kesehatan masyarakat jangka panjang yang berkelanjutan. Mengingat disparitas dalam tingkat vaksinasi di berbagai negara terus menimbulkan risiko infeksi parah. Selain itu, masih ada ketidakpastian yang signifikan terkait dampak long-Covid terhadap beban penyakit global di tahun-tahun mendatang.

Penentuan Akhir PHEIC

Alasan utama Komite Darurat merekomendasikan Covid-19 tidak lagi memenuhi syarat sebagai PHEIC adalah karena tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai "peristiwa yang tidak biasa atau tidak terduga,". Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 IHR (2005).

Argumen ini mungkin tampak meyakinkan setelah tiga tahun bergulat dengan pandemi dan penelitian ekstensif tentang berbagai konsekuensi infeksi dengan semua varian Covid-19 yang diketahui. Namun, tidak ada ambang batas kuantitatif untuk menentukan kapan suatu peristiwa tidak lagi "tidak biasa atau tidak terduga". Sebagaimana juga pada kasus PHEIC polio.

Seperti disebutkan sebelumnya, penyebaran virus polio liar tetap menjadi PHEIC meskipun durasinya sembilan tahun, terutama karena "risiko penyebaran internasional" penyakit yang sedang berlangsung. Akibatnya, keputusan untuk menentukan kapan kriteria ini terpenuhi pada akhirnya berada di tangan anggota Komite Darurat dan Direktur Jenderal WHO. Saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli terkait ambang batas matematis yang menggambarkan suatu kejadian wabah adalah luar biasa atau sudah tidak luar biasa lagi.

Merefleksikan Dampak Covid-19 yang Berkelanjutan

Saat fase darurat pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir, penting untuk diingat bahwa ada sekitar tujuh juta nyawa hilang di dunia akibat Covid-19 sejak tahun 2020. Bagi sebagian orang, terutama yang rentan secara klinis, krisis ini masih terus berlanjut dan mungkin tidak akan pernah benar-benar berakhir.

Sehingga meski tidak lagi diklasifikasikan sebagai PHEIC, WHO menegaskan bahwa Covid-19 masih menyebabkan jutaan infeksi dan ribuan kematian setiap minggu secara global. Selain itu, Long-Covid sebagai dampak ikutan setelah seseorang terinfeksi berulangkali atau pada kondisi lebih parah telah menyebabkan ratusan juta orang membutuhkan perawatan yang lebih lama.

Ke depan, fokus harus bergeser dari ketahanan individu ke ketahanan kelembagaan. Langkah-langkah pribadi, seperti mencuci tangan dan vaksinasi, tetap penting, tetapi mencegah keadaan darurat kesehatan masyarakat tidak boleh semata-mata menjadi tanggung jawab masyarakat.

Pemerintah, pengusaha, dan otoritas kesehatan dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi dari keadaan darurat di masa depan. Strateginya termasuk memerangi misinformasi, meningkatkan literasi kesehatan, meningkatkan ventilasi dan sirkulasi udara di dalam ruangan pada fasilitas umum dan regulasi yang responsif. Sekaligus memitigasi potensi wabah. Upaya ini dapat membantu membangun masyarakat yang lebih tangguh dalam mengantisipasi pandemi di masa mendatang, yang diharapkan tidak akan pernah kita saksikan seumur hidup kita.

Akhir suatu pandemi

Sebagai peneliti pandemi dan ketahanan keamanan kesehatan global, penulis ingin menegaskan bahwa pandemi tidak selalu hilang sepenuhnya. Tetapi biasanya berkembang dan mencapai titik di mana pandemi menjadi lebih mudah dikelola. Cara pandemi berakhir atau transisi bergantung pada berbagai faktor, termasuk karakteristik virus, efektivitas tindakan kesehatan masyarakat, dan pengembangan perawatan medis dan vaksin.

Ada beberapa cara pandemi dapat berakhir atau berkembang:

Diberantasnya (eliminasi) virus: Dalam kasus yang sangat jarang terjadi, virus penyebab pandemi dapat dihilangkan melalui langkah-langkah kesehatan masyarakat yang agresif, seperti vaksinasi yang meluas, strategi isolasi karantina bahkan lockdown, dan pengobatan yang efektif. Contohnya adalah pemberantasan cacar pada tahun 1980.

Transisi ke endemisitas: Seiring waktu, virus pandemi dapat menjadi endemik, artinya terus beredar di dalam populasi pada tingkat yang relatif stabil. Virus ini masih dapat menyebabkan penyakit, tetapi tingkat infeksi dan tingkat keparahannya cenderung menurun karena faktor-faktor seperti kekebalan dari infeksi sebelumnya, vaksinasi, dan strategi kesehatan masyarakat yang berkembang. Contohnya adalah influenza musiman, yang disebabkan oleh virus H1N1 yang dulu bertanggung jawab atas pandemi tahun 1918-1920.

Evolusi ke bentuk yang kurang ganas: Terkadang, virus dapat berevolusi dan menjadi kurang ganas atau berbahaya, yang menyebabkan penurunan tingkat penyakit parah dan kematian. Ini dapat terjadi karena seleksi alam, dan umumnya butuh waktu cukup lama, di mana strain yang kurang ganas lebih mungkin ditularkan karena mereka tidak melumpuhkan inangnya secara parah. Seiring waktu, ini dapat menyebabkan penurunan dampak keseluruhan virus pada populasi.

Penutup

Berakhirnya status PHEIC Covid-19 bukanlah juga secara otomatis berarti berakhirnya pandemi Covid-19, sehingga hal ini tidak boleh membuat kita abai dan berpuas diri. Keletihan pandemi telah terjadi di berbagai negara, namun kembali ke keadaan normal sebelum Covid tidak akan segera terjadi.

Gelombang infeksi berulang dan potensi munculnya varian berbahaya baru tetap menjadi perhatian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir Mei 2023 telah meningkatkan subvarian XBB.1.16 Omicron menjadi varian of interest (VOI) dari sebelumnya varian dalam pemantauan (VUM), berdasarkan penilaian terbaru dari kelompok penasihat teknis WHO tentang evolusi virus.

Dalam laporan pembaruan Covid mingguannya, WHO mengatakan XBB.1.16 sekarang menjadi VOI kedua, di samping XBB.1.5. Sejak pertama kali dilaporkan pada bulan Januari m2023, XBB.1.16 kini telah terdeteksi di 31 negara. Kecepatan pertumbuhannya dan kemampuannya lolos dari kekebalan tubuh menjadi faktor yang membuat XBB.1.16 dapat menyebar secara global dan memicu peningkatan infeksi dan reinfeksi, tetapi sejauh ini, tidak ada bukti bahwa itu menyebabkan penyakit yang lebih parah. Jika penyebaran Covid-19 yang sedang berlangsung menghasilkan "perkembangan yang tidak biasa dan tidak terduga", deklarasi PHEIC baru mungkin saja diperlukan dan layak secara hukum internasional (IHR 2005).

Penyebaran virus yang terus-menerus akan terus membebani pemulihan sistem perawatan kesehatan. Selain itu, hasil negosiasi konvensi pandemi baru (CA+) dan amandemen IHR (2005) masih belum pasti.

Dengan hilangnya jutaan nyawa dan beban penyakit akibat Covid-19 yang berkelanjutan, hukum internasional tentang pandemi menghadapi tantangan yang signifikan. Menyediakan alat untuk memahami dan mengatasi ancaman kesehatan di masa depan akan menjadi langkah maju yang kecil namun penting.

Salam dari Brisbane (mdk/noe)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Klaim Pandemi Covid-19 Rekayasa Muncul Lagi, Begini Kata Kemenkes
Klaim Pandemi Covid-19 Rekayasa Muncul Lagi, Begini Kata Kemenkes

Bahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.

Baca Selengkapnya
Waspada Covid Lagi, Begini Imbauan dari Kemenkes dan Ahli
Waspada Covid Lagi, Begini Imbauan dari Kemenkes dan Ahli

Masyarakat diminta lakukan pola hidup bersih dan sehat

Baca Selengkapnya
Teken Perpres, Jokowi Akhiri Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia
Teken Perpres, Jokowi Akhiri Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia

Presiden Jokowi meneken Perpres ini 4 Agustus 2023.

Baca Selengkapnya
Jokowi ke Menkes soal Kasus Covid-19: Amati Betul Secara Detail Perkembangannya Seperti Apa
Jokowi ke Menkes soal Kasus Covid-19: Amati Betul Secara Detail Perkembangannya Seperti Apa

Informasi Jokowi terima dari Menkes, kasus Covid-19 masih dalam kondisi yang baik meski memang ada kenaikan.

Baca Selengkapnya
Waspadai Potensi Peningkatan Covid-19 di Indonesia
Waspadai Potensi Peningkatan Covid-19 di Indonesia

Masyarakat juga diminta segera melengkapi vaksinasi Covid-19, khususnya pada kelompok berisiko.

Baca Selengkapnya
Varian Covid Eris Masuk Indonesia: Gejala Pilek, Sakit Tenggorokan hingga Kelelahan
Varian Covid Eris Masuk Indonesia: Gejala Pilek, Sakit Tenggorokan hingga Kelelahan

Mohammad Syahril, melanjutkan, varian Covid Eris termasuk ke dalam kelompok varian XBB, yang merupakan 'anakan' atau turunannya varian Omicron.

Baca Selengkapnya
Kasus Covid-19 Naik Usai Libur Nataru, Kemenkes: Masih Level Aman
Kasus Covid-19 Naik Usai Libur Nataru, Kemenkes: Masih Level Aman

Peningkatan kasus Covid-19 terlihat di Depok, Jawa Barat, dan sejumlah wilayah lainnya.

Baca Selengkapnya
Penumpang KRL Akhirnya Bisa 'Bernapas'
Penumpang KRL Akhirnya Bisa 'Bernapas'

Pemerintah resmi mencabut aturan menggunakan masker

Baca Selengkapnya
Masuk Endemi Covid-19, BPJS Kesehatan Jamin untuk Peserta JKN
Masuk Endemi Covid-19, BPJS Kesehatan Jamin untuk Peserta JKN

Pemerintah telah mengumumkan perubahan dalam mekanisme penjaminan pelayanankesehatan terkait Covid-19

Baca Selengkapnya
Kemenkes: Penyintas Covid-19 yang Kena DBD Tak Muncul Bintik Merah, Tapi Demam Tak Reda hingga 10 Hari
Kemenkes: Penyintas Covid-19 yang Kena DBD Tak Muncul Bintik Merah, Tapi Demam Tak Reda hingga 10 Hari

Kemenkes memperoleh beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19, salah satunya datang dari Kota Bandung.

Baca Selengkapnya