Anak-anak pengungsi Gunung Agung mulai rindu kampung halaman
Merdeka.com - Lebih dari dua pekan warga areal Gunung Agung Karangasem menempati tempat pengungsian. Kondisi ini mulai dirasakan kejenuhan bagi anak-anak yang rindu akan kampung halaman.
Bahkan tidak jarang para orang tua yang tidak tega melihat anaknya terus menangis diam-diam kabur balik ke desa. Di berbagai daerah lain juga banyak laporan kalau sejumlah pengungsi banyak yang balik ke desa dengan alasan ada upacara agama pada Kamis (5/10) besok.
Sesekali nampak wajah murung dari anak-anak pengungsi yang ingin bermain di halaman rumahnya sendiri. Kendati berbagai keinginan dipenuhi di tempat pengungsian namun tetap saja selepas pulang sekolah hanya tenda terpal dan ratusan pengungsi lainnya terbaring yang selalu dilihat setiap hari.
-
Kenapa orang kangen kampung halaman? 'Di antara banyak hal yang tak bisa didaur ulang yaitu waktu yang terbuang. Maka pastikanlah bahwa waktumu telah kau gunakan sebaik-baiknya untuk keluarga.'
-
Siapa saja yang sering kangen kampung halaman? 'Merantau bakal memberimu tidak sedikit pengalaman hidup. Pergilah sejauh mungkin, tapi jangan hingga lupa pulang.'
-
Dampak apa yang dirasakan anak dari broken home? Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengatasi emosi, kehilangan rasa percaya diri, atau kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan.
-
Apa yang dirasakan anak ketika ibu sedih? Ketika masih dalam tahap bayi, anak-anak belum memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan kata-kata. Oleh sebab itu, mereka mengandalkan cara komunikasi nonverbal untuk berinteraksi dengan ibu mereka. Melalui sentuhan, pelukan, atau bahkan getaran emosional yang dirasakan dari tubuh ibu, anak-anak dapat merasakan emosi yang ada.
-
Bagaimana anak menerima keadaan keluarga yang hancur? Ajari aku bagaimana caranya menerima keadaan tanpa membenci kehidupan.
-
Bagaimana anak merasakan sedihnya ibu? Anak-anak memiliki kemampuan intuitif yang sangat tinggi. Mereka mampu memahami bahasa tubuh dan ekspresi wajah dengan cukup baik. Seiring waktu, mereka belajar untuk mengenali perubahan emosi pada orang-orang di sekitarnya, terutama yang dialami oleh ibu mereka. Anak-anak dapat merasakan ketegangan, kecemasan, atau kebahagiaan yang dirasakan oleh ibu hanya melalui ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang ditunjukkan.
Rasa ingin pulang ke desa selalu muncul ketika bermain bersama dan saling ejek hingga salah satu menangis.
Seperti yang dialami Putu Winda (10). Ia selalu merengek bisa cepat pulang ke desanya. Winda salah satu anak pengungsi yang menempati posko Sutasoma, Sukawati Gianyar, pun merasakan hal serupa.
"Saya senang ada latihan menari di sini. Tapi saya rindu sanggar tari di kampung, rindu guru tari saya yang dulu. Rindu teman sekolah yang dulu. Saya bosan di sini," aku Winda sambil menitikkan air mata dan memeluk ibunya yang juga ikut menangis.
Saat itu jelang sore, rasa bosan kembali menyelimuti tatkala akan mandi bergantian. "Kadang sampai tidak mandi kalau sudah kemalaman. Banyak orang bergiliran. Di desa airnya jernih sekali, seger," kenangnya.
Salah seorang latih tari Ni Putu Suastini, mengakui, jika anak-anak mulai dihinggapi rasa jenuh dan gelisah. Beragam kegiatan pun diberikan seperti belajar menari, menggambar dan lainnya. Namun masih saja ada tangisan satu dua orang anak yang rindu dengan rumahnya.
Menurutnya, melalui berbagai kegiatan yang diberikan kepada anak-anak petugas, diharap bisa mengalihkan kejenuhan anak-anak selama di pengungsian.
"Mungkin saja suasana lingkungan di pengungsian dirasakan berbeda dengan lingkungan rumahnya sendiri," kata dia.
Kondisi ini juga dicermati oleh anggota Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali, I Made Ariasa. Menurutnya, persoalan ini harus mendapat perhatian serius.
Walaupun beberapa anak mengaku senang dengan ragam kegiatannya, namun jika gelisah lantaran rindu rumah dan kampung halaman, baginya ada kecenderungan penurunan kesehatan mental.
"Sejumlah anak-anak yang saya dekati di setiap mengungsian juga didera permasalahan yang sama. Mereka mengaku lebiah enakan di rumah sendiri," tukasnya.
Menyikapi itu, Ariasa akan segera berkoordinasi Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Bali agar menggandeng psikiater untuk memberikan pendampingan kepada anak-anak pengungsi. Menurut dia, setidaknya para psikiater dapat memberikan pelajaran tambahan di sekolah atau di tempat pengungsian untuk pendekatan emosional.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Anak Papua menangis histeris menghadang mobil TNI yang hendak pulang kampung. Mereka tak ingin ditinggalkan.
Baca SelengkapnyaMomen haru anggota TNI yang lama bertugas jauh dari keluarga yang akhirnya pulang. Sang anak tampak tak mengenali bahkan menangis saat bertemu ayahnya.
Baca SelengkapnyaKata-kata kangen kampung halaman bisa mewakili rasa rindu akan rumah dan keluarga yang ada jauh di sana.
Baca SelengkapnyaHN mengajak kabur kedua adiknya lantaran kesal diputus sekolah oleh orang tuanya. Hal ini karena kondisi ekonomi keluarga.
Baca SelengkapnyaDisaat semua warga pindah, keluarga ini memilih bertahan di kampung mati.
Baca SelengkapnyaPutri bercerita harus meninggalkan tiga anaknya demi pengabdian kepada Garut.
Baca SelengkapnyaAda seorang warga kampung yang hilang dan keberadaannya belum diketahui hingga kini.
Baca SelengkapnyaDi tengah pertemuan, terdapat pesan menyentuh hati.
Baca SelengkapnyaKondisi broken home dapat memberikan dampak negatif pada anak.
Baca SelengkapnyaSetelah tak ada kabar, keluarga melapor ke polisi. Mereka mengirim pesan singkat agar orangtua tidak mencari karena mengaku sudah bahagia.
Baca SelengkapnyaLama tak ketemu sang ayah yang bertugas di luar negeri, seorang bayi menangis lantaran tak mengenali ayahnya yang merupakan seorang prajurit TNI.
Baca SelengkapnyaKisah seorang anak perempuan yang ditolak keluarganya setelah diusir.
Baca Selengkapnya