Angka Bunuh Diri Anak Tinggi, Pentingnya Pemahaman Realistis dan Perasaan
Merdeka.com - Angka kematian dengan cara bunuh diri masih menjadi perhatian di dunia. Bahkan menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan jumlah angka kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 per tahun hampir 1 kematian setiap 40 detik.
Tak terkecuali di Indonesia, pada 2018 tercatat 265 juta orang meninggal dunia akibat bunuh diri. Jika diasumsikan, rata-rata sekitar 9.000 kasus kematian dengan bunuh diri terjadi di Indonesia.
Bahkan data Kemenkes kembali mencatat keinginan untuk bunuh diri telah menyasar anak pada kisaran SMP sampai SMA, dari hasil survei 10.837 responden, sebanyak 4,3 persen lali-laki dan 5,9 persen perempuan memiliki keinginan untuk bunuh diri.
-
Kenapa siswa SMP itu mau bunuh diri? 'Korban juga pernah saat istirahat solat Jumat, yang muslim melaksanakan solat Jumat dan korban dikarenakan agama Hindu istirahat di kelas, pernah terlibat adu omongan dengan teman korban atas nama A yang seakan-akan membuat korban disalahkan karena melarang solat Jumat,' jelasnya. 'Akibat kejadian tersebut korban merasa dijauhi oleh teman korban, dan permasalahan ini tidak pernah di ceritakan ke guru BP atau guru lain dan akhirnya yang mendasari korban melakukan tindakan lompat dari ruang kelas,' tambahnya.
-
Bagaimana siswa SMP itu mencoba bunuh diri? 'Korban langsung melompat ke luar jendela, saat melompat korban sempat tersangkut di genteng lantai 2 Gedung SMPN 73, kkemudian jatuh ke lantai 1,' sambungnya.
-
Kenapa remaja berisiko tinggi untuk bunuh diri? 'Ini adalah disertasi saya tahun 2019 yang mana datanya diambil pada akhir 2019, sebelum pandemi di Jakarta. Yang berisiko adalah 13,8 persen dari 910 remaja (125),' kata Nova dilansir dari Antara. Nova menjelaskan remaja adalah orang yang masih senang mengambil risiko dan merasa mampu melakukan segala-galanya. Pada usia remaja, kematian sepertinya masih jauh sehingga akhirnya banyak mengambil keputusan-keputusan yang ceroboh (reckless). Pemikiran mereka juga abstrak.
-
Siapa yang berisiko tinggi untuk bunuh diri? Sebuah studi menemukan bahwa 38% penderita IED memiliki pikiran untuk bunuh diri (ideasi) dan 17% pernah mencoba bunuh diri. Risiko ini meningkat pada mereka yang dikenal memiliki serangan yang lebih keras dan memiliki lebih dari satu gangguan kesehatan mental.
-
Apa yang menyebabkan bunuh diri pada remaja? Dalam seminar tersebut, dijelaskan bahwa penyebab bunuh diri pada remaja sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Direktur Kesehatan Jiwa, Imran Pambudi, menyebutkan bahwa faktor biologis, genetik, psikologis, budaya, hingga lingkungan memainkan peran besar dalam munculnya pikiran atau keinginan bunuh diri.
-
Kenapa remaja itu bunuh diri? 'Aku jg ingin bahagia dan memiliki kehidupan normal'. 'DUNIA INI INDAH, TAPI TIDAK DENGAN DUNIAKU'. 'Im gagal'.
Hingga kabar duka datang dari Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Betapa tidak seorang siswi SMK di Kelurahan Bombongan, inisial FM (17) nekat bunuh diri. Pemicunya, karena putus cinta. Remaja malang itu mengakhiri hidupnya menggunakan dasi sekolah yang diikatkan ke pohon jambu untuk gantung diri.
Perasaan FM pun diketahui berdasarkan sepucuk surat yang ia tulis sebelum mengakhiri hidupnya. Dalam surat itupun tertulis perasaan FM untuk kekasihnya dan permohonan maaf kepada kedua orang tuanya.
"Dugaannya disebabkan karena korban sudah tidak sanggup menghadapi masalah yang menimpanya dimana korban menulis surat curahan hati sebelum melakukan gantung diri," tutur Kapolres Tana Toraja, AKBP Sarlly Sollu saat dikonfirmasi, Rabu (4/11).
Kemudian polisi juga telah memeriksa seorang remaja laki-laki berinisial AL (17), yang disebutkan FM dalam suratnya yang ia tulis sebelum nekat mengakhiri hidupnya. Sarlly menjelaskan bahwa AL ini adalah kekasih FM.
"Kita sudah periksa lelaki AL, dari pengakuan dia ia memang sebelumnya menjalin hubungan asmara dengan korban dan baru saja putus dua hari yang lalu," pungkas Sarlly.
Selain FM, baru-baru ini juga ada kabar seorang remaja putri berinisial NLS (17) tengah mencoba melakukan percobaan bunuh diri di Pantai Seseh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada Rabu (4/11) kemarin.
Baiknya, aksi nekat NLS ini tidak sampai meregang nyawanya. Lantaran upaya bunuh diri berhasil dicegah oleh petugas Balawista Badung. Selanjutnya, petugas langsung berenang untuk menolong korban dan dievakuasi ke pinggir pantai. Kemudian, setelah berhasil diselamatkan korban dibawa ke Puskesmas untuk diberikan pertolongan.
Namun demikian untuk motif remaja putri tersebut melakukan bunuh diri, pihaknya belum bisa mengetahui karena kondisi korban masih labil. "Iya (dia berenang) tengah laut. Motif, masih Lidik dan dipelajari (kondisi korban) belum stabil," ujar Kasubag Humas Polres Badung Iptu I Ketut Gede Oka Bawa, Kamis (5/11).
Minimnya Kemampuan Deteksi Perasaan Anak
Melihat peristiwa kejadian bunuh diri pada anak-anak Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati turut prihatin atas kejadian tersebut. Menurutnya rentetan peristiwa bunuh diri pada anak- anak harus menjadi perhatian serius bagi seluruh element, baik keluarga, masyarakat, sampai pemerintah.
"Pada 2016 kita juga punya data dari WHO, Indonesia itu memang termasuk angka yang tinggi dalam remaja untuk melakukan percobaan bunuh diri. Angka bunuh diri remaja itu kalau dibandingkan dari beberapa negara lain, indonesia relatif lebih tinggi. Misalkan WHO mengatakan di tahun 2000-an sekitar 3 sekian persen, lalu 2005 turun menjadi 3,8 persen, kemudian 2015 turun lagi," terang Maryati saat dihubungi merdeka.com, Kamis (5/11).
"Tetapi angka penurunan itu tidak seimbang jika dibandingkan dengan angka di Asia Tenggara yaitu 13,5 persen. Jadi kita masih tetap menyisakan PR untuk terus mengikis angka ini. Mungkin ini angka-angka diluar tahun itu yang perlu perbarui untuk kita telisik dan kaji lebih dalam. Apa penyebab dan mengapa bisa, ini jadi catatan krusial," sambungnya.
Atas hal itu KPAI mengajak agar orang- orang terdekat haruslah mampu memiliki deteksi terhadap perasaan yang dialami anak. Agar usaha untuk mendorong efektifitas melalui edukasi dapat berjalan dengan baik.
Semisal, kondisi yang sering terjadi disaat anak alami kecemasan, namun luput dan tak terdeteksi orang disekitarnya. Oleh karena itu, alangkah baiknya anak maupun orang tua agar lebih terbuka, termasuk kepada lingkungan sosial.
"Karena ketika melihat ada sesuatu yang aneh misalnya berbeda secara psikologis, ada ruang untuk penanganannya. Situasi ini yang luput kadang luput, semisal orang tua yang tidak mengenal situasi depresi anak seperti apa. Misalnya si anak sedang jatuh hati atau putus cinta, galau. Nah yang terkadang tidak dikenali baik oleh keluarga," jelasnya.
"Atau ada pemicu lainnya itu, bisa juga karena tidak suka bercerita satu dengan yang lainnya. Orang tua dan anak tertutup jadinya komunikasi tidak lancar. Hal itu kerap terjadi. Akibatnya pembicaraan hanya perintah, hanya tawaran, dan sekedar ajakan. Jadi terkadang orang tua tidak bisa mencoba untuk menjadi pendengar bagi anak," sambungnya.
Atas hal itu, Maryati mengimbau kepada orang tua sebagai lingkup terdekat anak agar lebih terbuka, komunikatif, guna mendeteksi dan mengantisipasi situasi buruk yang mungkin akan menimpa perasaan anak.
"KPAI juga mendorong untuk pemerintah melakukan kajian-kajian lebih dalam terkait faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan ini juga sebagai auto kritik bagi program pemerintah," imbuhnya.
Pentingnya Pemahaman Realistis kepada Anak
Sementara itu, Dosen Psikologi Unika Soegijapranata yang juga praktisi Psikolog Anak, Endang Widyorini menjelaskan masalah utama seorang anak berani melakukan bunuh diri, karena faktor usia yang memang mudah alami depresi.
"Memang pada usia remaja itu pada penelitian-penelitian memang anak Indonesia memiliki tingkat depresinya yang tinggi. Termasuk diseluruh dunia pun tingkat SMA itu sangat rentan alami depresi, walau untuk sampai bunuh diri itu cuman sekain persennya, tapi posisi remaja itu rentan," jelas Endang.
Menurut Endang banyak faktor yang mendorong anak menjadi depresi hingga memutuskan untuk bunuh diri. Pertama faktor si anak yang merasa kesepian dan di kala menemukan orang yang istimewa menjadi sangat ketergantungan kepadanya. Hal itu mungkin saja terjadi, akibat kurangnya kasih sayang keluarga.
"Jadi sampai memiliki harapan yang terlalu jauh dan tidak realistis. Maka dampaknya begitu putus atau ditinggalkan. Dia akan seperti terpelanting rasanya dan itu bisa terjadi karena adanya pemikiran yang tidak realistis," jelasnya.
Oleh sebab itu, Endang menyarankan agar orang tua dapat memberikan penjelasan yang realistis terhadap anak, hingga urusan perasaan anak. Agar pemahaman anak dapat terbangun dan bisa menjaga dirinya.
"Misalkan soal pacaran, Ya untuk preventif tentunya bisa memberikan dukungan ke dia. Misalnya orang tua itu memberikan gambaran pacaran di masa SMA itu masa penjajakan, dan kasih tau dampaknya," jelasnya.
"Mungkin ada sisi edukasi dalam pacaran yang sehat, dan memberikan pemahaman bahwa pacaran adalah suatu pengenalan dan harus realistis. Bahkan orang menikah pun realistis sedari awal. Karena sumber depresi remaja itu adalah sesuatu yang tidak realistis, seperti keinginan yang memakai kata seharusnya, seperti seharusnya dia sayang sama saya, itu tidaklah realistis dan itu bisa jadi faktor yang merusak dirinya sendiri," tambahnya.
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
ide mengakhiri hidup bisa terdeteksi pada remaja, menurut hasil studi
Baca SelengkapnyaINFOGRAFIS: Data Mengejutkan Kasus Bunuh Diri Anak
Baca SelengkapnyaMasalah bunuh diri merupakan salah satu problem yang dihadapi oleh remaja dan perlu dihadapi dengan tepat.
Baca SelengkapnyaSurvei pada 2023 menunjukkan kesehatan mental generasi Z lebih rentan atau rapuh dibandingkan dengan generasi milenial dan boomers.
Baca SelengkapnyaAdapun metode skrining yang digunakan, melalui kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.
Baca SelengkapnyaDalam kasus bunuh diri, gangguan kesehatan mental menjadi pemicu utama.
Baca SelengkapnyaKorban mengalami luka di bagian kepala sebelah atas kiri, luka lecet di bagian kaki.
Baca SelengkapnyaPeran keluarga sangat vital dalam menjaga kestabilan kondisi mental anak-anak.
Baca SelengkapnyaKasus perundungan terus terjadi di dunia pendidikan. Pihak sekolah harus lebih tegas menerapkan hukuman kepada pelaku.
Baca SelengkapnyaBullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk fisik, verbal, atau perilaku sosial yang merugikan korban.
Baca SelengkapnyaData menunjukkan bahwa banyak dari mereka mengalami gangguan jiwa, dan ini dapat berdampak serius pada masa depan mereka jika tidak ditangani dengan baik.
Baca SelengkapnyaWHO memperingatkan adanya efek buruk dari penggunaan media sosial.
Baca Selengkapnya