Bergizikah Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran jika Rp7.500/porsi? Ini Kata Ahli Gizi
Hal ini menjadi pertanyaan apakah dengan harga tersebut sudah cukup memenuhi kebutuhan gizi.
Program makan bergizi yang diusung Prabowo-Gibran belakangan menuai pro kontra lantaran disebut harganya Rp7.500 per porsi. Hal ini menjadi pertanyaan apakah dengan harga tersebut sudah cukup memenuhi kebutuhan gizi.
Menurut Ahli Gizi Ati Nirwanawati, semisal harga itu diterapkan, maka tetap bisa memenuhi kebutuhan gizi atau seimbang. Asalkan makanannya berasal dari daerah lokal masing-masing.
"Jadi berapapun rupiahnya kalau dengan makanan lokal itu bisa diselenggarakan artinya pola makan siang pemerintah akan merendahkan, memberikan makan siang, artinya pola makan siang itu sebagai ahli gizi menyarankan pemberian makanan yang seimbang," kata Ati saat dihubungi merdeka.com, Jumat (26/7).
"Apa itu makanan seimbang? makanan mengandung karbohidrat, protein hewani, nabati, sayur, itu untuk makanan lokal mau Rp7.500 mau Rp15.000 sebetulnya cukup," sambungnya.
Ati mencontohkan, dengan harga Rp7.500 maka bisa memakai protein dari telur tanpa daging. Jika pun di daerah setempat merupakan penghasil ikan atau ayam maka bisa dimanfaatkan untuk sajian makan bergizi.
"Yang terpenting adalah protein untuk mengganti jaringan yang rusak masa pertumbuhan," ucapnya.
Selain itu, diperlukan karbohidrat lantaran siswa memerlukan energi yang tinggi untuk beraktivitas. Tak harus dari beras, Ati menjelaskan, beberapa makanan asli lokal juga mengandung karbohidrat yang bisa dikonsumsi.
Maka, dengan program makan siang bergizi ini bisa disesuaikan dengan daerah. Semisal di Trenggalek, Jawa Timur ada Gaplek dan di Papua ada Sagu yang mengandung karbohidrat.
"Karbohidratnya tidak harus nasi, kemudian proteinnya tidak harus daging,kalau dia penghasil teri ikan asin itu bagus, kalau dia penghasil ikan itu bagus, nanti ahli gizi setempat yang akan menghitung berapa sih kebutuhan nasi untuk anak sekian kebutuhannya," tuturnya.
"Tapi saya rasa cukup bila itu diselenggarakan dengan makanan lokal setempat, kan transpornya murah, pengadannya ada di tempat kalau sayur saya percaya dimanapun kalau lokal murah," sambungnya.
Ati menerangkan, belum tentu daun kelor di Tulungagung, Jawa Timur dikonsumsi oleh anak-anak di Jakarta. Sebab, anak-anak lebih menyukai makanan asli lokal yang disajikan orang tuanya.
Dia menambahkan, dari makan bergizi ini, diperlukan edukasi bagi orang tua untuk menduplikasi makanan yang diberikan pemerintah itu. Sehingga, masyarakat tak juga tergantung dengan pemerintah untuk menyajikan makanan seimbang.
"Pasti ditanya (orang tua) 'kamu tadi makan siang gratisnya apa sama orang tua, 'tadi makannya aku ada ikan, pecel, oseng kangkung, sama tahu bacem itu udah seimbang, telornya balado misalnya atau ceplok dadar gak masalah, ada tahu tempenya bisa dibikin kering, orek, kalau satuannya mahal bisa dibikin orek, oseng oseng kemudian sayurannya setempat apa yang ada," tuturnya.
Ati menilai, yang membuat harga per porsi mahal karena anak-anak diharuskan dengan kebiasaan pola makanan nasional. Sehingga, tidak tepat jika harga Rp7.500 diterapkan untuk makanan bergizi semisal di Papua.
"Jadi intinya yang dibikin mahal itu bila diharuskan dengan pola makan nasional umpamqnya itu kurang tepat dengan harga Rp7.500 di Papua, di Trenggalek, tapi kalau dengan makanan lokal itu cukup, yang penting saya menyarankan menyajikan makanan seimbang, dan sisipkan itu edukasi, jadi masyarakat jangan tergantung dengan pemerintah," ucapnya.
Lebih lanjut, menu-menu lokal harus ditonjolkan untuk program makan bergizi gratis. Lebih bagus lagi, pemda setempat melombakan menu tersebut agar terkenal di tanah air.
"Yang paling penting akan timbul bermacam macam beratus ratus menu di masing-masing kabupaten atau Kecamatan, jadi beragam, Indonesia bisa terkenal di dunia, ini kesempatan Indonesia mencuat di kuliner," ucapnya.