Deretan Fakta Terungkap dalam Sidang Dugaan Pelanggaran Kode Etik Anwar Usman Cs oleh MKMK
Berikut fakta-fakta yang terungkap selama persidangan yang dirangkum merdeka.com.
MKMK bakal membacakan putusan atas dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi terkait putusan syarat usia capres dan cawapres.
Deretan Fakta Terungkap dalam Sidang Dugaan Pelanggaran Kode Etik Anwar Usman Cs oleh MKMK
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah selesai melaksanakan sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi terkait putusan syarat usia capres dan cawapres.
Sidang ini telah rampung usai MKMK memeriksa para Pelapor dari berbagai kalangan masyarakat, Terlapor yang merupakan hakim MK, panitera, ahli, hingga bukti-bukti yang diserahkan.
Adapun sidang dilaksanakan MKMK sejak Selasa (31/10) hingga Kamis (3/11). Putusan bakal dibacakan pada Selasa (7/11) mendatang pada pukul 16.00 WIB.
Berikut fakta-fakta yang terungkap selama persidangan yang dirangkum merdeka.com.
1. Anwar Usman Menjadi Hakim dengan Laporan Terbanyak
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, pihaknya menerima sebanyak 21 aduan terkait dugaan pelanggaran etik hakim MK.
Ternyata, dari 21 aduan itu, seluruh hakim MK dilaporkan ke MKMK. Namun, Ketua MK Anwar Usman menerima paling banyak aduan dibanding hakim konstitusi yang lain.
Selanjutnya, Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat mendapat laporan terbanyak sesudah Anwar. Sedangkan, Wahiduddin Adams menjadi hakim yang paling sedikit mendapat aduan.
Jimly juga berujar, terdapat indikasi bahwa Anwar menjadi hakim yang paling bermasalah. Sebab, ia paling banyak dilaporkan.
"Cuma yang paling banyak masalah ya itu yang paling banyak dilaporkan. Yang lain-lain itu ada sumbangan terhadap ini. Nanti tolong dilihat di putusan yang akan kami baca," ujar Jimly, Jumat (3/11).
2. Hampir Semua Pelapor Ingin Batalkan Putusan Terkait Syarat Usia Capres dan Cawapres
Jimly berujar, hampir seluruh Pelapor ingin membatalkan putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres dan cawapres.
Hampir seluruhnya berargumen, Anwar seharusnya mundur diri dalam menangani perkara ini karena adanya konflik kepentingan. Sebab, putusan ini berkaitan erat dengan Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan keponakannya.
Meski demikian, terdapat satu Pelapor yang menyebut Anwar Usman diduga melanggar etik karena tak kunjung membentuk MKMK secara permanen.
Pelapor tersebut adalah Leonard Djagardo Simanjuntak. Karena kesaksiannya, MKMK menghadirkan ahli dalam persidangan ini. Ahli tersebut adalah mantan Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna.
"Rupanya adanya rencana dari pembentuk UU untuk buat Majelis Kehormatan yang susunan keanggotaannya beda dengan yang lama sehingga itu sambil menunggu ternyata belum sampai sekarang," jelas Anwar, Jumat (3/11).
"Oh enggak ada menolak. Justru kami sangat berharap cepat diundangkan supaya tahu berapa orang sebenarnya jumlahnya yang diatur dalam Undang Undang," sambungnya.
3. MKMK Bisa Batalkan Keputusan Soal Syarat Usia Capres dan Cawapres
Seluruh putusan MK bersifat final dan binding. Berarti, putusan itu langsung memperoleh kekuatan hukum dan tidak dapat dibantah lagi.
Namun, salah satu Pelapor, yaitu Denny Indrayana, menunjukkan aturan yang dapat membatalkan putusan itu.
Di Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tercatat bahwa hakim yang terlibat konflik kepentingan dapat membuat putusan tidak sah jika ia tidak mundur.
Pada Pasal 17 ayat (5) dan (6) berbunyi:
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meski demikian, Jimly tak gamblang apakah putusan MKMK bakal membatalkan putusan MK itu. Ia meminta masyarakat sabar hingga putusan itu dibacakan pada 7 November nanti.
Di hari pertama sidang, pada Selasa (31/10), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengaku menangis saat ia diperiksa.
Jimly pun juga membeberkan hal yang sama. Pasalnya, ia membiarkan tiga hakim yang disidang, yaitu Anwar Usman, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih untuk menceritakan hal-hal yang mereka tahu.
"Banyak sekali masalah yang kami temukan, jadi dari tiga hakim ini saja muntahan masalahnya ternyata banyak sekali. Wah curhatnya banyak sekali. Yang nangis malah kami," kata Jimly, Selasa (31/11).
5. Anwar Usman Diduga Bohong Karena Tak Ikut Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
Pada hari kedua sidang, Jimly menemukan adanya dugaan kebohongan yang dilakukan oleh Anwar Usman.
Saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) nomor 29, 51, dan 55, Anwar terlihat absen. Namun, terdapat dua alasan yang berbeda mengapa Anwar tidak hadir saat itu.
Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, Anwar absen untuk menghindari konflik kepentingan. Namun, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut Anwar absen karena sedang berada dalam kondisi yang tidak sehat.
Anwar akhirnya buka suara. Ia menegaskan bahwa alasannya tidak hadir karena sakit.
"Saya bersumpah, demi Allah, saya sumpah lagi, saya memang sakit," kata Anwar, Jumat (3/11).
Meski dalam keadaan kurang fit, ia masih memutuskan untuk masuk kerja. Di saat itu, ia memutuskan minum obar agar bisa cepat sembuh. Namun, ia justru tertidur karena efek obat tersebut.
"Saya ini sudah jadi hakim dari tahun 85 ya, Alhamdulillah. Saya tidak pernah melakukan sesuatu yang menyebabkan saya berurusan seperti ini. Saya sakit tetapi tetap masuk. Saya minum obat. Saya ketiduran," ujar Anwar.
Di hari ketiga sidang, pada Kamis (2/11), Pelapor dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Indonesia (PBHI) mengungkapkan bahwa dokumen perbaikan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 ternyata tidak ditandatangani oleh pemohon Almas Tsaqibbirru dan kuasa hukumnya.
Dokumen itu didapatkan PBHI langsung dari situs MK. Mereka menilai, jika dokumen tersebut tidak ditandatangani, MK seharusnya mengganggap tidak pernah ada perbaikan permohonan.
Menanggapi itu, Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa laporan tersebut sudah ditandatangan dalam sidang klarifikasi.
"Begini, rupanya memang awal tidak ada tanda tangan tapi kan ada sidang klarifikasi, sidang pendahuluan. Nah, itu sudah diperbaiki," kata Jimly, Kamis (2/11).