Dokter Junior Korban Bullying Kini Bisa Lapor Senior ke Kemenkes, Begini Caranya
Dokter junior korban bullying kini bisa lapor senior ke Kemenkes lewat WhatsApp atau website.
Dokter Junior Korban Bullying Kini Bisa Lapor Senior ke Kemenkes, Begini Caranya
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya memutus rantai perundungan atau bullying di rumah sakit. Laporan diterima Kemenkes selama ini, bullying dialami dokter internship atau dokter yang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan, Kemenkes menyediakan tiga sanksi bagi pelaku bullying di rumah sakit. Sanksi ini sudah diatur dalam Instruksi Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 Tentang Pencegahan dan Perundungan Terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan. "Kami memutuskan untuk semua rumah sakit (RS) vertikal di Kemenkes RI yang juga merupakan RS pendidikan besar, disiplin untuk memutus praktik perundungan pada program pendidikan spesialis kedokteran. Akan kami jalankan secara tegas dan keras," kata Budi dalam Konferensi Pers di Gedung Kemenkes, Jakarta, Kamis (20/7).Kini, Kemenkes menyediakan dua layanan pelaporan praktik perundungan yang terjadi di rumah sakit. Pertama, melalui nomor aduan 0812-9979-9777. Kedua, lewat website www.perundungan.kemkes.go.id. Kedua layanan tersebut mulai beroperasi hari ini.
Pada website perundungan, korban bisa mengakses kolom isian, di antaranya status pelapor, nama korban, NIK korban (opsional), nama pelaku, frekuensi kejadian, tempat kejadian, nama tempat kejadian, deskripsi kejadian, melampirkan bukti kejadian (opsional), hingga nomor yang dapat dihubungi dan email.
Saat membuat laporan, korban perundungan bisa menyertakan identitas atau tanpa identitas. Jika pengadu memberi nama dan NIK pelaku perundungan, pelacakan akan mudah dan cepat. Kemenkes juga akan menjamin keamanan pelapor.
“Kalau (korban) berani kasih nama dan NIK akan lebih cepat ditindaklanjuti karena masuk langsung ke Inspektur Jenderal Kemenkes," ucap Budi.
Tiga Sanksi Kemenkes menyiapkan tiga sanksi bagi pelaku perundungan atau bullying di rumah sakit. Pertama, sanksi ringan. Budi mengatakan, Kemenkes akan memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada pelaku perundungan di rumah sakit Kemenkes. Sanksi ini diberikan bila pelaku baru melakukan satu kali perundungan. “Teguran tertulisnya ini bisa ke pengajarnya atau seniornya, bisa juga ke direktur utama rumah sakit itu. Minimal kita kasih teguran tertulis,” jelas Budi.
Bila perundungan berulang, Kemenkes menjatuhkan sanksi skors. Sanksi ini tidak hanya diberikan kepada dokter senior atau pengajar yang melakukan perundungan, tetapi juga direktur utama rumah sakit.
“Kita lakukan skors langsung tiga bulan. Jadi kalau untuk senior, dia langsung hilang satu masa pendidikan. Kalau untuk pengajarnya ya sudah tiga bulan kita skors. Dirutnya sama kita skors juga karena ini kan di bawah saya,” kata Budi.
Jika perundungan yang terjadi tergolong berat, Kemenkes akan memecat atau menurunkan pangkat sang pelaku. Jika pelaku perundungan merupakan pegawai Kemenkes, maka dia akan dibebastugaskan. Namun, jika pelaku perundungan bukan pegawai Kemenkes, akan dikeluarkan dari rumah sakit tersebut. “Kalau dia bukan pegawai Kemenkes, kita minta jangan ngajar di RS kami. Ngajarnya di rumah sakit lain saja karena kita ingin menciptakan lingkungan bebas perundungan. Seniornya juga, kita minta jangan ajar di rumah sakit kami,” tegas Budi.
Bentuk Perundungan Budi mengungkap ada tiga celah praktik perundungan (bullying) oleh senior terhadap dokter residen di rumah sakit yang menyebabkan kerugian mental hingga finansial. "Nomor satu, ada suruhan yang sifatnya (menjadikan korban) pembantu pribadi. Perannya bukan untuk mengajar, tapi ada suruhan lain yang kalau tidak jawab, dicaci maki, kamu mampu atau 'enggak'," jelas Budi. Praktik tersebut dilakukan melalui kolom komunikasi media sosial WhatsApp Group yang disebutnya dengan nama ‘Jarkom’.Grup komunikasi itu diisi oleh kalangan dokter spesialis senior dan para juniornya yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis. Kelompok tersebut memanfaatkan peserta didik layaknya asisten pribadi, bahkan tidak jarang korbannya disuruh mengurus pakaian kotor, antar anak, hingga mengurus parkiran.
"Kemudian lagi ada acara, oh ini kurang sendok plastik sudah jam 00.00 WIB, dia harus cari sendok plastik 200 biji karena ada makan-makan di tempat seniornya. Itu prioritas nomor satu," katanya.
Praktik perundungan lainnya, kata dia, juga dialami peserta didik melalui perlakuan layaknya pembantu pribadi yang membantu tugas-tugas dokter senior.
"Yang nomor dua yang lebih ngeri dipakai seperti pekerja pribadi, biasanya yang paling sering disuruh menulis tugas dari kakak seniornya, atau nulis jurnal penelitian, karena ada juniornya, itu sebenarnya tugas kakak kelasnya, dia 'nyuruh' juniornya kerja, seniornya hanya meneliti," katanya.
Situasi itu membuat dokter junior yang seharusnya belajar spesialisasi yang diinginkan, jadi mengerjakan tugas seniornya yang tidak berhubungan dengan kesepesialisasian korban. Praktik perundungan yang juga membuat Budi terkejut ada di kelompok tiga, yang berkaitan dengan uang. "Banyak juga junior yang disuruh 'ngumpulin' uang, ada yang jutaan sampai ratusan juta, bisa buat siapin rumah untuk kumpul-kumpul senior, kontraknya setahun Rp50 juta, bagi rata dengan juniornya," katanya. "Banyak juga junior yang disuruh 'ngumpulin' uang, ada yang jutaan sampai ratusan juta, bisa buat siapin rumah untuk kumpul-kumpul senior, kontraknya setahun Rp50 juta, bagi rata dengan juniornya," katanya.