Sederet Sanksi Bagi Dokter Bullying Junior di Rumah Sakit
Budi berharap, sanksi ini bisa memutus perundungan yang sudah terjadi puluhan tahun terakhir.
Sederet Sanksi Bagi Dokter Bullying Junior di Rumah Sakit
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menerbitkan Instruksi Nomor HK.02.01/MENKES/1512/2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan Terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Dalam Instruksi ini, Kemenkes menyiapkan tiga sanksi bagi pelaku perundungan atau bullying.
Pertama, sanksi ringan. Budi mengatakan, Kemenkes akan memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada pelaku perundungan di rumah sakit Kemenkes. Sanksi ini diberikan bila pelaku baru melakukan satu kali perundungan.
“Teguran tertulisnya ini bisa ke pengajarnya atau seniornya, bisa juga ke direktur utama rumah sakit itu. Minimal kita kasih teguran tertulis,” jelas Budi dalam konferensi pers, Kamis (20/7).
Bila perundungan berulang, Kemenkes menjatuhkan sanksi skors. Sanksi ini tidak hanya diberikan kepada dokter senior atau pengajar yang melakukan perundungan, tetapi juga direktur utama rumah sakit.
“Kita lakukan skors langsung tiga bulan. Jadi kalau untuk senior, dia langsung hilang satu masa pendidikan. Kalau untuk pengajarnya ya sudah tiga bulan kita skors. Dirutnya sama kita skors juga karena ini kan di bawah saya,” kata Budi.
Bila perundungan yang terjadi tergolong berat, Kemenkes akan mengeluarkan atau menurunkan pangkat sang pelaku. Jika pelaku perundungan merupakan pegawai Kemenkes, maka dia akan dibebastugaskan. Namun, jika pelaku perundungan bukan pegawai Kemenkes, akan dikeluarkan dari rumah sakit tersebut.
“Kalau dia bukan pegawai Kemenkes, kita minta jangan ngajar di RS kami. Ngajarnya di rumah sakit lain saja karena kita ingin menciptakan lingkungan bebas perundungan. Seniornya juga, kita minta jangan ajar di rumah sakit kami,” tegas Budi.
Dia berharap, sanksi ini bisa memutus perundungan yang sudah terjadi puluhan tahun terakhir. Biasanya, perundangan dialami dokter internship atau dokter yang sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). “Mudah-mudahan peserta didik bisa konsentrasi belajar dan bebas dari perundungan. Sehingga lulusnya nanti memiliki rasa empati dan kemanusiaan yang sama kuatnya dengan ketangguhan mental,” harap Budi.Saat ini, Kemenkes menyediakan dua akses pelaporan praktik perundungan untuk memberikan perlindungan kepada korban. Pertama, melalui nomor aduan 0812-9979-9777. Kedua, lewat website www.perundungan.kemkes.go.id. “Kalau (korban) berani kasih nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan lebih cepat ditindaklanjuti karena masuk langsung ke Inspektur Jenderal Kemenkes," katanya. Budi menyebut, setelah mendapatkan laporan perundungan dari korban, Kemenkes akan mengirimkan tim ke rumah sakit terkait. Tim ini akan melakukan audit. Hasil audit akan menjadi dasar pemberian sanksi.
Bentuk Perundungan Budi mengungkap ada tiga celah praktik perundungan (bullying) oleh senior terhadap dokter residen di rumah sakit yang menyebabkan kerugian mental hingga finansial. "Nomor satu, ada suruhan yang sifatnya (menjadikan korban) pembantu pribadi. Perannya bukan untuk mengajar, tapi ada suruhan lain yang kalau tidak jawab, dicaci maki, kamu mampu atau 'enggak'," jelas Budi. Praktik tersebut dilakukan melalui kolom komunikasi media sosial WhatsApp Group yang disebutnya dengan nama ‘Jarkom’.
Grup komunikasi itu diisi oleh kalangan dokter spesialis senior dan para juniornya yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis. Kelompok tersebut memanfaatkan peserta didik layaknya asisten pribadi, bahkan tidak jarang korbannya disuruh mengurus pakaian kotor, antar anak, hingga mengurus parkiran. "Kemudian lagi ada acara, oh ini kurang sendok plastik sudah jam 00.00 WIB, dia harus cari sendok plastik 200 biji karena ada makan-makan di tempat seniornya. Itu prioritas nomor satu," katanya.Praktik perundungan lainnya, kata dia, juga dialami peserta didik melalui perlakuan layaknya pembantu pribadi yang membantu tugas-tugas dokter senior.
"Yang nomor dua yang lebih ngeri dipakai seperti pekerja pribadi, biasanya yang paling sering disuruh menulis tugas dari kakak seniornya, atau nulis jurnal penelitian, karena ada juniornya, itu sebenarnya tugas kakak kelasnya, dia 'nyuruh' juniornya kerja, seniornya hanya meneliti," katanya.
Situasi itu membuat dokter junior yang seharusnya belajar spesialisasi yang diinginkan, jadi mengerjakan tugas seniornya yang tidak berhubungan dengan kesepesialisasian korban. Praktik perundungan yang juga membuat Budi terkejut ada di kelompok tiga, yang berkaitan dengan uang.
"Banyak juga junior yang disuruh 'ngumpulin' uang, ada yang jutaan sampai ratusan juta, bisa buat siapin rumah untuk kumpul-kumpul senior, kontraknya setahun Rp50 juta, bagi rata dengan juniornya," katanya.
Selain itu, dokter residen juga kerap diminta memenuhi hasrat senior untuk makan-makan di restoran mewah, sewa peralatan dan lapangan olahraga, hingga mengganti gawai terbaru untuk seniornya. Budi mengatakan, praktik perundungan terhadap dokter residen sudah puluhan tahun tidak pernah berani diungkapkan. Umumnya korban memilih bungkam sebab berkaitan dengan pengaruh dokter senior sebagai penentu kebijakan kelulusan lewat pemberian nilai.