Fakta-Fakta Gempa Kecil tapi Picu Kerusakan Dahsyat di Sumedang
Gempa dengan magnitudo 4,8 mengguncang Sumedang, Jawa Barat, pada Minggu (31/12).
Gempa ini membuat 1.462 rumah warga rusak.
Fakta-Fakta Gempa Kecil tapi Picu Kerusakan Dahsyat di Sumedang
Gempa dengan magnitudo 4,8 mengguncang Sumedang, Jawa Barat, pada Minggu (31/12). Gempa ini membuat 1.462 rumah warga rusak.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono mengungkapkan fakta-fakta di balik gempa magnitudo 4,8 di Sumedang.
Fakta pertama, gempa Sumedang merupakan gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake). Daryono menyebut, gempa jenis ini dipicu aktivitas sesar aktif, yang seluruh pelepasan energinya terkonsentrasi pada wilayah lokal.
"Meskipun magnitudonya relatif kecil 4,8, gempa Sumadang dapat merusak lebih dari 149 bangunan rumah," jelas Daryono melalui keterangan tertulis, Kamis (11/1).
Daryono menjelaskan, episenter gempa kerak dangkal yang terletak di zona tanah lunak dan tebal akan memicu resonansi yang berujung amplifikasi atau penguatan gelombang gempa.
Akibatnya, gempa kerak dangkal dikenal sangat merusak dan mematikan.
Daryono mengambil contoh gempa kerak dangkal di Cianjur pada 2022. Gempa itu membuat lebih dari 600 orang meninggal dunia.
Kemudian, gempa Yogyakarta 2006 membuat lebih dari 6.000 orang meninggal dunia. Ada gempa Turki 2023 menyebabkan lebih dari 17.000 orang meninggal dunia.
Selanjutnya, gempa Sichuan China pada 2008 mengakibatkan lebih dari 700.00 orang meninggal dunia.
"Gempa Sumedang memberi pelajaran akan pentingnya mitigasi konkret dengan mewujudkan bangunan dengan struktur kuat dan rencana tata ruang wilayah yang aman, berbasis risiko gempa bumi," jelas Daryono.
Fakta kedua, gempa Sumedang terjadi di zona kegempaan rendah (low seismicity). Daryono mengatakan, dalam peta seismisitas Jawa Barat, di Kota Sumedang tidak terdapat kluster seismisitas mencolok seperti lazimnya di jalur sesar aktif.
Menurut Daryono, gempa Sumedang mirip gempa Kalatoa di Laut Flores dengan 7,4 pada 2021. Mirip juga dengan gempa Talamau 2022 dan gempa Probolinggo magnitudo 4,1 pada 2022 yang terjadi di zona seismisitas rendah.
"Gempa Sumedang memberi pesan akan pentingnya mitigasi gempa bumi meski di wilayah dengan aktivitas kegempaan rendah," kata Daryono.
Ketiga, gempa Sumedang memiliki magnitudo kecil tetapi merusak. BMKG mencatat, sejumlah gempa kerak dangkal dengan magnitudo kecil yang terbukti merusak seperti gempa Madiun magnitudo 4,2 pada 2015.
Kemudian, gempa Pangalengan magnitudo 4,2 pada 2016, gempa Garut magnitudo 3,7 di 2017, gempa Banjarnegara magnitudo 4,4 pada 2018, gempa Lebak magnitudo 4,4 pada 2018, dan gempa Kuningan-Brebes magnitudo 4,2 di 2020.
"Gempa Sumedang memberi pesan kepada kita agar tidak mengabaikan setiap gempa kerak dangkal, meskipun magnitudonya kecil," ujar Daryono.
Fakta keempat, gempa Sumedang diduga merupakan perulangan gempa pada 14 Agustus 1955. Daryono mengingatkan, adanya konsep ‘return period’ atau periode ulang gempa.
Konsep ini menunjukkan, gempa yang pernah terjadi di satu tempat, suatu saat akan terjadi lagi. Daryono menyebut, gempa Sumedang memberi pesan agar semua pihak mempelajari sejarah gempa masa lalu di daerah masing-masing.
"Bisa jadi satu saat gempa akan terjadi lagi menghampiri tempat yang kita anggap aman karena ketidaktahuan akan sejarah gempa merusak masa lalu," kata Daryono.
Fakta kelima, gempa Sumedang dipicu aktivitas sesar aktif yang belum terpetakan. Gempa Sumedang mirip gempa Solok maginitudo 5,3 pada 2019, gempa Ambon magnitudo 6,5 di 2019, gempa Kalatoa Laut Flores magnitudo 7,4 pada 2021, gempa Ampana Sulawesi Tengah magnitudo 6,5 di 2021, dan gempa Cianjur magnitudo 5,6 pada 2022.
"Gempa Sumedang menjadi ‘human interest’ terkait nama sesar pembangkit gempa. Data hiposenter gempa BMKG terrelokasi menunjukkan kluster seismisitas cenderung berarah Utara-Selatan, melintasi Kota Sumedang," jelas Daryono.
Daryono menyebut, kondisi Sumedang mirip sejumlah kota yang dilalui jalur sesar aktif seperti Palu (Sesar Palu-Koro), Sorong (Sesar Sorong), Aceh (Sesar Aceh), Gorontalo (Sesar Gorontalo), Semarang (Sesar Semarang), dan Lembang (Sesar Lembang).
"Di mana nama sesar aktif merujuk nama tempat yang berisiko sehingga akan memberikan muatan pesan kesiapsiagaan dan edukasi mitigasi gempa bumi bagi masyarakat setempat," tutup Daryono.