Isak Tangis Guru Berhijab dari Pulau Buton di Depan Paus Fransiskus: Bawa Pesan Damai dan Pendidikan
Salah satu peserta schollas occurrentes, Ana Nur Awalia berkesempatan memberikan testimoni di hadapan Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus menghadiri pertemuan dengan pemuda schollas occurrentes di Graha Pemuda, Kompleks Gereja Katedral Jakarta, Rabu (4/9). Acara itu juga dihadiri Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Mendikbudristek Nadiem Makakrim.
Salah satu peserta schollas occurrentes, Ana Nur Awalia berkesempatan memberikan testimoni di hadapan Paus Fransiskus. Ana merupakan seorang guru di pulau kecil, Buton, Sulawesi Tenggara.
-
Bagaimana guru ini menyampaikan pesannya? Tri Adinata dengan penuh empati menyampaikan pesannya, bahwa anak-anak Palestina juga berhak mendapatkan pendidikan dan kebahagiaan seperti anak-anak di tempat lain.
-
Apa pesan yang disampaikan untuk guru? Semoga bapak dan ibu guru bisa tetap kreatif dalam merancang serta menyampaikan materi kepada para siswanya. Semoga sehat selalu, sukses terus, dan tetap menjadi guru yang peduli dengan siswanya.
-
Siapa yang mengajar di sekolah Suster Imakulati? Selain Ibu Imakulati, ada 9-10 suster lain yang menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut.
-
Apa makna kata-kata untuk guru? Kata-kata ini adalah bentuk ekspresi dari penghargaan yang tulus dan pengakuan akan dedikasi serta pengorbanan mereka.
-
Siapa yang memberikan kata-kata perpisahan untuk guru? Sebagai bentuk penghargaan untuk para guru, seorang siswa bisa memberikan hadiah berupa kado atau bingkisan saat perpisahan sekolah.
-
Di mana Suster Imakulati mengajar? Di Tanzania, ia mengabdi menjadi seorang guru pada sebuah sekolah.
"Sangat jauh dari Jakarta. Saya juga adalah seorang dosen, seorang fasilitator anak, dan seorang penyiar radio serta seorang ibu. Saya mengambil peran sebanyak mungkin, semampu saya, di setiap bagian lini masa kehidupan. Agar saya dapat mengisi dunia pendidikan dan menyebarluaskan tentang pentingnya edukasi untuk menuntaskan kemiskinan," ujar Ana.
Masih ada satu peran lagi, lanjut Ana, hari ini bukan hanya sekadar sebuah pengalaman baginya. Namun sebuah transformasi luar biasa dan kali pertama dalam hidupnya.
"Saya mengunjungi, masuk dan menjadi bagian dalam Katedral. Bagian dari Katedral sebuah gereja yang disucikan umat Katolik. Ajaibnya tepat di depan saya berdiri pula masjid tempat saya biasanya beribadah. Ini merupakan simbol toleransi, di mana perbedaan seharusnya kita hadapi dan kita jembatani," jelas Ana.
Menurut Ana, dirinya belajar toleransi melalui agama Islam, dan ketika bersama Scholas, Scholas juga mengajarkan toleransi yang sama seperti yang diajarkan oleh Islam.
"Scholas dalam pedagogikanya, kurikulumnya, melatih saya untuk melihat dunia dari pinggir jalan, rakyat miskin kota, anak-anak yang haus sekolah, dan harusnya disekolahkan," kata Ana.
"Menyadarkan mereka yang kaya materi bahwa hidup tidak hanya memikirkan diri sendiri. Sebagai seorang guru, saya melihat kurikulum sekolah memiliki visi misi yang sama dengan kurikulum merdeka belajar," ujar Ana menambahkan.
Dalam praktiknya, menurut Ana, butuh tim kerja seperti Scholas, seperti teman-teman tunas bhinneka, teman-teman fasilitator untuk menciptakan generasi muda, generasi guru yang bukan hanya cerdas, tapi juga bahagia.
"Saya mengenal Scholas melalui mentor, saya kemudian mengikuti proses tesnya yang cukup panjang. Saya sangat bahagia ketika dinyatakan lulus dan menjadi salah satu tim dari Scholas, student, dan juga volunteer. Saya tertarik mengetahui bahwa mereka mencintai pendidikan sebagaimana saya cinta dunia yang sama, bersama anak-anak, buku, literasi, seni, teknologi, games, dan ruang belajar," tutur Ana.