Kota Solo Punya 5 Stasiun Kereta Api, Mana yang Tertua?
Sejarah dari pembangunan stasiun di Solo sangat beragam, ada yang mulanya merupakan pacuan kuda.
Sejarah dari pembangunan stasiun di Solo sangat beragam, ada yang mulanya merupakan pacuan kuda.
Kota Solo Punya 5 Stasiun Kereta Api, Mana yang Tertua?
Tak banyak yang tahu jika kota sekecil Solo memiliki 5 stasiun kereta api yang hingga kini masih aktif. Dari jumlah tersebut, empat di antaranya merupakan bangunan bersejarah.
Yakni Solo Balapan, Purwosari, Jebres dan Stasiun Kota. Sedangkan satu lainnya adalah Stasiun Kadipiro yang resmi beroperasi pada 29 Desember 2019 untuk mendukung akses ke Bandara Internasional Adi Soemarmo.
Berikut sejarah kelima stasiun di Solo:
1. Stasiun Balapan Solo
Dikutip dari surakarta.go.id, Solo Balapan merupakan stasiun tipe A paling besar dan bersejarah di Kota Bengawan. Keberadaan stasiun di Jalan Wolter Monginsidi 112 Kestalan, Banjarsari ini tidak lepas dari Pura Mangkunegaran.
Didirikan tahun 1873 pada jaman kolonial dan merupakan stasiun tertua di Solo.
Lahan yang sekarang digunakan menjadi Stasiun Balapan, dahulunya merupakan Alun-Alun Utara milik Pura Mangkunegaran. Di mana terdapat pacuan kuda Balapan, pada masa Mangkunegoro IV. Pada masa itu, Solo sedang digalakkan terjadinya perubahan. Perubahan dari pola pedesaan menjadi pola perkotaan.
Ide perubahan itu datang dari Pemerintah Kolonial Belanda. Secara tidak langsung, ide-ide perubahan menuju pola perkotaan ini juga menyentuh soal sarana dan prasarana umum. Salah satunya menyangkut soal alat transportasi kereta api. Pemerintah Kolonial Belanda sudah menggagas jalur rel kereta api dari Semarang (sebagai Ibu Kota Provinsi) menuju Solo, maka Solo harus punya stasiun kereta api. Lokasi lapangan pacuan kuda Balapan dianggap paling pas untuk menjadi sebuah stasiun, karena jalur rel bisa langsung mengarah ke Semarang.
Akhirnya, lapangan pacuan kuda itu diubah menjadi sebuah stasiun, dan nama Balapan tetap dipertahankan. Setelah Stasiun Balapan berdiri, rel KA dihubungkan dengan stasiun-stasiun yang berada di titik-titik strategis, yakni di Purwosari, Sriwedari, dan Jebres. Stasiun-stasiun itu terhubungkan oleh rel-rel yang melewati tengah kota.
Salah satu buktinya adalah jalur rel yang ada di tepi jalan Slamet Riyadi, jalur rel ini masih digunakan hingga sekarang. Seiring berjalannya waktu, stasiun di tengah kota tersebut juga digunakan untuk sarana transportasi Kereta Rel Listrik (KRL), KA Bandara yang juga terintegrasi dengan Terminal Tirtonadi.
Dikutip dari laman heritage.kai.id Solo Balapan dibangun oleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) bersamaan pembangunan jalur kereta api Kedungjati-Solo sepanjang 74 km dengan lebar jalur 1.435 mm. Kamis, 10 Februari 1870 Stasiun Solo Balapan diresmikan.Awalnya, stasiun ini bernama Stasiun Solo. Penggunaan nama Solo Balapan diduga karena tidak jauh dari lokasi stasiun terdapat race terrein (pacuan kuda) untuk balapan.
Peresmian Stasiun Solo Balapan juga membuka hubungan Semarang – Solo dengan jalur kereta api. Tercatat pada tahun 1872, NISM mengoperasikan dua kali perjalanan kereta api dari Solo-Semarang dan juga sebaliknya. Keberadaan kereta api memudahkan pengangkutan gula, tembakau, dan kopi dari daerah pedalaman ke pelabuhan di Semarang. Seiring meningkatnya aktivitas pengangkutan di Stasiun Solo Balapan, kebutuhan ruang bangunan stasiun turut meningkat, sehingga pada tahun 1926 dilakukan renovasi stasiun.
Renovasi tersebut dirancang oleh Ir. Thomas Karsten dengan memodernisasi stasiun dan mengadaptasi gaya yang sedang popular di Eropa dengan gaya arsitektur lokal.
Dalam kunjungannya ke Stasiun Solo Balapan tahun 1928, Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Graeff menyatakan bahwa Stasiun Solo Balapan sebagai stasiun paling strategis di Solo. Stasiun Solo Balapan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan Keputusan Walikota Surakarta Nomor 646/1- R/1/2013 tahun 2013 dan terdaftar di Registrasi Nasional Cagar Budaya dengan nomor RNCB.20160908.02.001258.
2. Stasiun Purwosari
Stasiun Purwosari merupakan stasiun kereta api kelas besar tipe C yang terletak Jalan Slamet Riyadi, Purwosari, Laweyan. Stasiun yang terletak pada ketinggian +93 m ini termasuk dalam pengelolaan Daerah Operasi VI Yogyakarta dan KAI Commuter.
Dikutip dari laman pariwisatasolo.surakarta.go.id, stasiun ini merupakan stasiun percabangan jalur kereta api antara arah Surabaya dengan Wonogiri. Jalur yang menuju Surabaya termasuk jalur utama, sedangkan yang ke Wonogiri termasuk jalur lintas cabang.
Sampai Stasiun Kota, jalur sekunder tersebut termasuk unik karena menjadi salah satu jalur kereta api aktif di Indonesia yang berjejer/berdampingan dengan jalan raya. Dahulu sepanjang jalur Purwosari-Sangkrah (Stasiun Kota) terdapat 8 tempat perhentian kecil. Yakni Pesanggrahan, Ngadisuran, Bando, Ngapeman, Pasarpon, Cayudan, Kauman, dan Lojiwetan. Halte-halte tersebut sekarang sudah tidak ada lagi.
Stasiun Purwosari memiliki desain arsitektur kolonial yang mirip dengan Stasiun Willem I Ambarawa dan Stasiun Kedungjati. Hal ini karena perusahaan yang memprakarsai pembangunan stasiun ini adalah Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Stasiun ini menjadi pemberhentian kereta api kelas ekonomi yang melewati jalur selatan setelah Stasiun Solo Jebres dijadikan cagar budaya oleh Pemerintah Surakarta dan hanya melayani kereta api dari arah timur yang menuju jalur utara (Semarang) maupun sebaliknya.
Sekitar awal tahun 1900-an, Stasiun Purwosari direnovasi secara besar-besaran. Didirikan bangunan baru yang lebih besar dan modern untuk kepentingan pelayanan penumpang maupun administrasi pegawai.
Model dan gaya arsitektur Stasiun Purwosari serupa dengan Stasiun Ambarawa dan Stasiun Kedungjati yakni penggunaan konstruksi atap baja yang membentang menaungi dua bangunan utama stasiun dan emplasemen.
3. Stasiun Jebres
Stasiun Solo Jebres, seperti dikutip dari laman heritage.kai.id, stasiun di Solo bagian timur ditetapkan sebagai Bangunan Stasiun Cagar Budaya Berdasarkan SK Menbudpar No:PM. 57/PW.007/MKP/2010; SK Bupati No 646/1-R/1/2013. Solo Jebres dibangun 1884 oleh Pemerintah Kasunanan Surakarta melalui perusahaan kereta api Hindia Belanda Staats Spoorwegen (SS).
Lokasi stasiun terletak di area yang strategis di pusat kota dengan pertumbuhan kota yang semakin dinamis sehingga pemerintah setempat segera menetapkan bangunan Stasiun Solo Jebres sebagai benda cagar budaya mengingat nilai penting yang dimilikinya.
Stasiun Solo Jebres dapat dimanfaatkan sebagai objek dan daya tarik wisata karena keindahan, keunikan dan keragamannya. Pada bangunan stasiun ini telah dilakukan revitalisasi untuk mengembalikan Stasiun Jebres Surakarta seperti dulu saat masih digunakan oleh pihak Keraton Kasunanan. Arsitektur bangunan Stasiun Solo Jebres bergaya Indische Empire dengan fasad yang kaya dengan detail yang banyak dipengaruhi langgam Neoklasik. Bangunan berbentuk simetris dengan penekanan pada bagian pintu masuk utama dengan peninggian atap serta pengolahan fasad yang berbeda.
Pada bagian tengah menjadi perhatian utama, karakter bangunan dibentuk oleh fasad segitiga dari sofi-sofi atap pelana yang dihias cornice dibawahnya, dua buah lunette atau jen-dela atas serta dua pintu yang semua berbentuk lengkung.
Komposisi simetris dari elemen-elemen tersebut menciptakan kesan megah, ditambah detail jalusi pada pintu yang bernuansa Art Nouveau serta penempatan garis-garis list pada dinding. Terdapat penambahan kanopi sebagai penanda entrance berbahan baja.
Stasiun Jebres adalah salah satu stasiun bersejarah di Kota Solo. Stasiun ini terletak di sebelah timur dari Jalan Urip Sumoharjo. Stasiun ini masuk sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB), bangunannya yang klasik masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Stasiun Jebres oleh pemerintah Hindia Belanda bertujuan untuk membantu pengangkutan barang berupa komoditas hasil tanaman industri seperti gula dan tembakau yang menjadi andalan wilayah Karesidenan Surakarta.
4. Stasiun Solo Kota
Salah satu stasiun yang dibangun perusahaan kereta api swasta di zaman Pemerintah Hindia Belanda adalah Stasiun Solo Kota yang berada di Kelurahan Sangkrah, Pasar Kliwon. Stasiun ini merupakan stasiun kereta api kelas III. Bagi warga Solo, stasiun kecil ini biasa disebut Staiun Sangkrah.
Begitu menemukannya, bangunan stasiun ini memang tak semegah Stasiun Solo Jebres. Meskipun terlihat kecil, namun bangunan yang didirikan tahun 1922 oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) ini begitu elok dan terawat.
Bangunan dengan arsitektur khas klasik ini memiliki teras masuk dengan gerbang tembok yang sangat tebal. Stasiun ini memang jalur yang cukup sepi, karena hanya melayani railbus Batara Kresna relasi Purwosari-Wonogiri PP. Sebenarnya, pada awal dibangunnya Stasiun Solo Kota, tidak hanya membuka relasi Solo-Wonogiri, namun Pemerintah Hindia Belanda juga membuka jalur Solo-Boyolali. Semua kereta yang menuju ke Wonogiri dan Boyolali, baik angkutan penumpang maupun barang, diberangkatkan dari Stasiun Solo Kota di Sangkrah.
Sebelum dikelola perusahaan NISM dengan kereta uapnya, dahulu ada sebuah perusahaan Solosche Tramweg Maatschappij (STM) yang sudah memanfaatkan jalur kereta di Stasiun Solo Kota sebagai jalur untuk trem kuda. Trem (Tram) kuda adalah sarana transportasi yang dulu pernah populer di Solo era Hindia Belanda. Bentuknya seperti gerbong kereta, namun ditarik oleh kuda dan dikendalikan seorang kusir. Seiring perkembangan zaman, Belanda menggantikannya dengan kereta uap.
5. Stasiun Kadipiro
Berbeda dengan 4 stasiun lainnya yang memiliki sejarah masa lalu, Stasiun Kadipiro dibangun pada masa pemerintah Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Stasiun kereta api kelas III/kecil ini terletak di Kelurahan Kadipiro, Banjarsari, Solo. Stasiun ini termasuk dalam Daerah Operasi VI Yogyakarta.
Selain itu, di tempat semula terdapat pabrik sehingga agar aktivitas pabrik tersebut tidak terganggu, pembangunan stasiun harus digeser.
Stasiun ini resmi beroperasi penuh bersamaan dengan pengoperasian KA BIAS (Bandara Internasional Adisumarmo) per tanggal 29 Desember 2019.