Software olah musik Hollywood dari Bandung
Merdeka.com - Tahukah Anda bahwa sebagian film-film Hollywood dan bisnis game animasi Jepang ternyata memanfaatkan aplikasi pengolah audio asal Bandung? Tapi mengapa justru di dalam negeri kurang dihargai.
Adalah paramuda Bandung, yang suka bermain musik dengan memanfaatkan software audio digital, karena merasa kurang puas akhirnya mereka kumpul dan sepakat membuat software audio sendiri. "Sampai semua bilang hayuuk, maka mulailah mereka produksi software audio digital dengan merk Kuassa.
Salah satu pengguna software Kuassa adalah komposer musik game kenamaan dari perusahaan Capcom Jepang, Masahiro Aoki. Juga komposer untuk beberapa film Hollywood seperti Butterfly Effect, Watchmen, Guardians of The Galaxy dan lain-lain, Dieter Hartman adalah pengguna setia Kuassa. "Mereka pembeli ya. Jadi gak ada testimoni," kata Grahadea Kusuf, CEO Kuassa. "Jadi kami menemukannya dari list pembeli di daftar kami."
-
Bagaimana film berkembang? Seiring perkembangan teknologi film, industri film mulai berkembang dan munculnya efek khusus untuk menambahkan keindahan visual dalam film.
-
Apa yang sering terlihat di film? Ketika logo produk tersebut ditampilkan secara jelas atau tanpa sensor, besar kemungkinan perusahaan ponsel tersebut membayar kepada pihak media.
-
Dimana mereka mempromosikan filmnya? Pemain-pemain film 'Galaksi', yaitu Bryan Domani, Mawar Eva de Jongh, dan Fadli Faisal, mengunjungi kantor KLY di Jakarta Pusat pada hari Selasa (8/8/2023).
-
Kenapa film dan musik dipilih untuk promosi? Dubes RI di Seoul menyampaikan bahwa film dan musik merupakan subsektor potensial ekonomi kreatif di Indonesia.
-
Bagaimana cara mereka mempromosikan film? Tantangan ini diberi nama “Cerdas Cermat“. Maka, tim dari Kapanlagi.com mengajukan pertanyaan umum, lalu ketiga artis tersebut bersaing untuk memberikan jawaban.
-
Apa kaitan teknologi dan media pembelajaran? Kaitan Teknologi dan Media Pembelajaran Teknologi dan media pembelajaran adalah dua hal yang saling berkaitan dan berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Teknologi adalah penerapan ilmu pengetahuan untuk menciptakan, mengembangkan, dan memanfaatkan alat, metode, dan teknik yang dapat membantu dan memecahkan masalah dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi dari sumber ke penerima. Media pembelajaran adalah media yang digunakan untuk mendukung, memfasilitasi, dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Itu hanya sebagian kecil saja. Banyak lainnya yang tidak tercatat. Anda bisa mencari di Youtube, dengan kata kunci Kuassa akan mendapatkan banyak tokoh musisi dunia memberikan testimoni. Tak terkecuali Tim Carter, peneliti dan ilmuwan musik dunia asal Australia yang belajar di Inggris dan AS. Atau Amner Hunter seorang profesional terkenal penguji suara musik cadas, dll.
Kuassa adalah sebuah perusahaan pengembangan perangkat lunak yang mengkhususkan diri dalam amplifikasi gitar digital dan pengolahan audio. "Kami sangat bergairah tentang musik, dan tujuan kami adalah untuk menyediakan alat-alat besar untuk membantu proses kreatif musisi," terang mereka di situs webnya, kuassa.com. Pengolah musik dari penataan sampai post produksi. Produknya antara lain equalizer, amplifier, maximizer, dan ain-lain. Semua software wajahnya seperti perangkat kerasnya. Sangat komunikatif dan user friendly bagi pemusik.
Sebagai musisi mereka percaya bahwa kualitas tonal baku mengalahkan segalanya. Dan, tujuan utama mereka membuat fitur-fitur pengolah audio musik sangat jelas: menciptakan musik besar.
Nama "Kuassa" berasal dari kata Indonesia "Kuasa", yang dapat diartikan kekuasaan atau otoritas. "Nama mencerminkan keyakinan kami bahwa memiliki pemahaman yang menyeluruh dari kedua proses kreatif dan berpikir kritis, serta penguasaan beragam alat musik untuk menciptakan alat musik.
Adapun anak-anak muda dari Sukasenang Bandung yang bergairah di musik ini, adalah Arie Ardiansyah (CTO) yang menguasai algoritma dan jadi product development sekaligus riset. Canggih di gitar dan vocalis serta komponis.
Grahadea Kusuf bertindak sebagai CEO yang urusan dengan bisnis dan juga desain. Spesialnya di syntezer. Sedang Adhitya Wibisana bertindak sebagai sound director. Kualitas suara dia yang jabanin. Rendy Bez adalah drummer yang menguasai segala aspek visual. Termasuk UIX (user experience). Sementara itu Edwin Yudayana gitaris jazz, bertanggungjawab di back-end teknologi. Cil Satriawan yang malang melintang di band indie, jadi penyedia programing yang tidak perlu. Untuk optimalisasi hasil. Pratama Kusuma pemain band The Sigit banyak terlibat di rendering materi 3D. Bramantyo Kusuma seorang teknisi telekomunikasi jadi programmer. Rathomi Nugraha yang biasa jadi vocalis, menulis lagu, juga syntezer bertanggungjawab sebagai manajer komunitas.
Semula, kata Grahadea, pikiran mereka setelah membuat software, ditaruh di internet, maka uang akan mudah datang. Tapi, ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Dalam setahun melakukan riset, tampaknya tidak cukup. Produk harus dikembangkan, diperbanyak, dikenalkan, didemokan, agar kian dikenal dan menghasilkan pendapatan.
Produk pertama mereka hanya terjual 1-2 license per bulan. Tapi mereka tak patah arang, maka bikin produk kedua dan lumayan. Ada pelajaran yang dipetik, "Tampilan simpel, gambar foto realistik dan 3 dimensi sehingga menarik," katanya.
Meski tinggal di Bandung, mereka beberapa kali mendapat undangan ke mancanegara, baik sendiri maupun bersama-sama. "Kalau pasar, kebetulan kami-kami ini sering main di forum-forum komunitas luar, tentang musik elektronik, rekaman, dan produksi musik, sehingga kami tahu pasar musik itu bagaimana," tegasnya.
Rata-rata pertahun memang belum besar omzetnya, sekitar Rp 1 miliar lebih dari pengunduh internet. Tapi, mereka tetap yakin, pasarnya ada dan tidak akan mati. Seperti halnya bisnis musik yang selalu berkembang. Dari total penjualan, menurut Grahadea sekitar 38% datang dari Amerika termasuk Hollywood, kemudian Jepang, Eropa, Korea, Australia. Dari Indonesia sendiri meski cuma 5, tapi dia mendapat laporan banyak di lapak. Kok bisa? "Bajakannya banyak, sedih ya."
Memang ada yang sudah mengincarnya untuk diakuisisi. Tapi saking sayangnya mereka tak menjualnya. Kuassa bagi mereka adalah bisnis dari hobi yang mereka cintai. Ketika aplikasi yang mereka ciptakan banyak digunakan pembuatan film dan musik berkualitas, bahagia sekaligus bangga.
Sekali lagi, inilah bukti bahwa berangkat dari hobi bersama, menciptakan karya besar. Komitmen, dan konsistensi mereka yakini bahwa kelak Kuassa mampu berkuasa di jagaT olah musik dunia. *** (mdk/war)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Survei CVL Economics mengidentifikasi beberapa pekerjaan yang sebenarnya paling rentan terhadap dampak AI.
Baca SelengkapnyaPada 1907 jadi tahun pertama kemunculan bioskop di Kota Kembang. Letaknya ada di sekitar alun-alun Kota Bandung, dengan gedung tenda bilik sederhana.
Baca SelengkapnyaSejumlah aktor papan atas Hollywood bakal menjadi pemeran atau pengisi suara film animasi ini
Baca SelengkapnyaSebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya, Banda Aceh memiliki kisah dan sejarah panjang tentang lahirnya bioskop dan perfilman di Indonesia.
Baca SelengkapnyaAl Hambra adalah bioskop pertama di Jogja. Pada awal kemunculannya, bioskop ini dibagi menjadi dua kelas berdasarkan status sosial masyarakat pada saat itu.
Baca SelengkapnyaHari Film Sedunia bertujuan untuk mempromosikan pemahaman lintas budaya dan kreativitas yang dihasilkan oleh industri film.
Baca SelengkapnyaAdegan ranjang di film dewasa Jepang ternyata tak seperti yang dikira. Ternyata begini faktanya.
Baca SelengkapnyaPolisi mengungkap bisnis film porno yang menggunakan situs streaming berbayar.
Baca SelengkapnyaLahir dari keluarga orang kaya, pria Tionghoa ini sukses menjalankan industri perfilman saat era pemerintahan Hindia Belanda.
Baca SelengkapnyaLokasi Hollywood berada di sebuah distrik di Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Baca SelengkapnyaTahukah kamu jika anime awalnya diciptakan sebagai alat propaganda?
Baca SelengkapnyaPada tahun 1900-an, masyarakat saat itu menyebutnya sebagai "Toneel Melajoe" atau "Komedi Stamboel".
Baca Selengkapnya