Membaca Tirto lewat Sang Pemula
Merdeka.com - Hingga hari ini tak hanya di masyarakat umum, di kalangan insan pers sendiri rasanya tak banyak yang mengenal sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer boleh dibilang cukup berjasa dalam mengenalkan tokoh yang digelari Bapak Pers Nasional itu kepada khalayak melalui karya Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Jika dalam Tetralogi yang di tulisannya semasa di pengasingan Pulau Buru 1969-1979 Pramoedya menceritakan sosok Tirto dalam roman sejarah melalui kisah hidup tokoh Minke maka dalam Sang Pemula Pramoedya menggambarkan sepak terjang Tirto dalam bentuk biografi.
-
Apa tanda orang jenius yang paling sering terlupakan? Kebiasaan ini mungkin tampak sepele atau bahkan mengundang cibiran, tetapi penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa perilaku-perilaku ini bisa menjadi tanda tersembunyi dari tingkat kecerdasan tinggi.
-
Dimana Tirto diasingkan? Ia diasingkan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan lamanya.
-
Kenapa Tirto diasingkan? Setelah membongkar praktek culas, Tirto akhirnya diasingkan. Ia diasingkan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan lamanya.
-
Mengapa Citando jadi terbengkalai? Pengunjung pun sudah tidak ada lagi yang mendatangi lokasi air panas Citando.
-
Apa yang ditulis Sitor Situmorang? Ia berhasil menciptakan sajak, drama, cerita pendek, cerita film yang menjadi pencerahan dan pembaruan dalam seni budaya.
-
Kenapa Pak Tarno meninggalkan pendidikannya? Selain itu, pendidikannya pun terhenti karena neneknya tak mampu membayar biaya sekolah.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (TAS) lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1880. Djokomono adalah nama masa kecilnya. Putra bangsawan Jawa ini mengenyam pendidikan di sekolah HBS Belanda kemudian melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia. Namun TAS tak menyelesaikan sekolah dokternya lantaran dia lebih sibuk menulis di media massa.
Perjalanan nasib membawanya pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) serta Putri Hindia (1908). Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK).
Medan Prijaji dianggap sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh proses produksi dan penerbitannya ditangani pribumi Indonesia asli.
Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional. Dua tahun sebelum Budi Utomo lahir TAS telah mendirikan Sarekat Priyayi, organisasi pribumi pertama bercorak modern, berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca Melayu sebagai bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Syarikat Priayi berhasil melahirkan Medan Priyayi pada 1907 yang membuat nama TAS semakin menonjol.
Kemudian TAS mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto.
Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami Raden Adjeng Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan di Halmahera selama 6 bulan.
Sekembali dari Ambon, pada 1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918. Mula-mula dia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973.
Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Pramoedya dalam Sang Pemula seolah ingin menyeru sekaligus menunjukkan kepada bangsa ini bahwa Indonesia pernah punya seorang pejuang berpena tajam pembela kaum tertindas yang ditakuti penjajah Belanda. Sebagaimana ditulis Pramoedya dalam Jejak Langkah, tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.
Melalui sosok TAS, Pramoedya sesungguhnya mengingatkan akan pentingnya keberanian dalam menulis. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (mdk/ian)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Karyanya bisa dilihat di banyak toko buku besar se-Indonesia.
Baca Selengkapnya