Sang Pelopor Pers Nasional yang Mati dalam Kesunyian
TAS merupakan tokoh pers dan dikenal sebagai pelopor persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.
Sang Pelopor Pers Nasional yang Mati dalam Kesunyian
Tirto Adhi Soerjo
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, siapa pelopor pers nasional? Ya, jawabannya adalah Tirto Adhi Soerjo. Namanya mungkin tidak setenar Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau bahkan Haji Agus Salim dalam kronik sejarah Indonesia. Namun, sumbangsih pemikiran dan gerakan politiknya yang dituangkan dalam bentuk tulisan mampu memberikan pencerahan tokoh-tokoh pergerakan yang sudah disebutkan sebelumnya.
Siapa Dia?
Nama lengkapnya adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918). Ia merupakan tokoh pers dan dikenal sebagai pelopor persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. TAS pun menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908).
-
Siapa Raja Pers Indonesia? Berkat kontribusinya di dunia pers, nama Dja Endar Moeda selalu dikenang dan menjadi sosok penting dalam profesi jurnalistik Indonesia.
-
Siapa yang meninggal dunia? Berdasarkan keterangan dari Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol. Artanto, AKBP Muhammad Yoga tutup usia pada Minggu malam pukul 20.00 WIB.
-
Siapa yang dibunuh karena pemberitaan tentang korupsi? Herliyanto adalah seorang wartawan lepas di Tabloid Delta Pos Sidoarjo. Dia ditemukan tewas pada 29 April 2006 di hutan jati Desa Taroka, Probolinggo, Jawa Timur. Herliyanto diduga dibunuh usai meliput dan memberitakan kasus korupsi anggaran pembangunan di Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo.
-
Siapa yang meninggal? Meskipun ia berjanji akan mengunggah video Kamari mukbang alias makan lagi, Papa Dali sudah pergi selamanya tanpa memenuhi janjinya.
Surat Kabar Pertama
Medan Prijaji yang didirikan TAS dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu, dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Tajamnya Pena
Tirto juga berani dalam mengungkapkan suatu ketidakbenaran. Melalui Medan Prijaji edisi 1909, ia membongkat skandal yang melibatkan seorang pejabat daerah di Purworejo, A. Simon. TAS membongkar kolusi jahat terkait pemilihan lurah di sana. Bahkan, Tirto nggak segan-segan memberi label A. Simon sebagai "Monyet Ingusan".
Tirto Diasingkan
Setelah membongkar praktek culas, Tirto akhirnya diasingkan. Ia diasingkan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan lamanya. Namun, itu tak membuatnya jera. Tirto terus melontarkan kritik lewat tulisannya selepas keluar dari pengasingan.
Jurnalisme Advokasi
Jurnalisme advokasi terus dilakukan oleh Tirto. Ya, ia turun langsung ke lapangan untuk mendengar suara kaum tertindas melalui kerja jurnalistik. Dengan gerakan yang dilakukannya, pada 1912 ia pun diasingkan ke Maluku.
Hidup Seakan di Rumah Kaca
Selepas menjadi manusia buangan, Tirto tidak memiliki kuasa lagi. Pasalnya, hartanya ludes disita Hindia Belanda, segala tindak-tanduknya diawasi oleh mata-mata kolonial, dan yang lebih parah, teman-teman serta relasinya pun menjauh. Hidup Tirto seperti ini merupakan jelmaan dari novel Pramoedya, yakni "Rumah Kaca".
Depresi Berat
Akibat kondisinya yang seperti itu, T.A.S mengalami depresi berat selama bertahun-tahun. Kesehatan fisik dan mentalnya pun semakin menurun. Ia pun nyaris kehilangan ingatan lantaran menderita siksaan fisik dan batin yang berlangsung secara terus-menerus.
“Sebuah kuburan di Mangga Dua, Batavia, yang sedikit pun tak berbeda dari kuburan-kuburan lain di sekitarnya, adalah tempat istirahat terakhir pekerja dan jurnalis ini,"
Tulis De Locomotief pada 1918.
“Tirto Adhi Soerjo telah menjadi korban kerja kerasnya sendiri. Dalam tujuh-delapan tahun terakhir telah sepenuhnya rusak ingatan dan takut orang,”
De Locomotief.
.
Seorang anak didik Tirto Adhi Soerjo lainnya, Mas Marco Kartodikromo, menulis kesan terhadap gurunya itu melalui artikel bertajuk “Mangkat” yang dimuat di surat kabar Djawi Hisworo edisi 13 Desember 1918.
“Boleh dibilang, Tuan T.A.S. adalah induk jurnalis bumiputra di ini tanah Jawa. Tajam sekali beliau punya pena. Banyak pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar suka memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh,” katanya.
Ia lahir seorang diri, kembali pun seorang diri. Kesunyiaan pun selalu menghampiri. Namun, jejak langkahnya abadi, untuk negeri.
Penulis: Fachri