Menilik Tradisi Pernikahan di Balik Kasus Penembakan Anggota DPRD Lampung Tengah
Tradisi seperti yang dilakukan Mukadam menuai banyak kritikan.
Seorang sengaja meletuskan senjata hanya untuk memeriahkan acara pernikahan.
Menilik Tradisi Pernikahan di Balik Kasus Penembakan Anggota DPRD Lampung Tengah
Kasus penembakan yang dilakukan Saleh Mukadam (48) anggota DPRD Lampung Tengah dalam tradisi acara pernikahan keluarga iparnya di Desa Mataram Ilir, Seputih Banyak, Lampung Tengah, Lampung menjadi petaka.
Ketika peluru nyasar yang diletuskan dari senjata api (senpi) Mukadam, malah memakan korban Salam (35) keponakannya yang tertembak tepat di bagian kepalanya.
Kejadian itu pun menjadi sorotan di media sosial, dengan memperlihatkan sebuah budaya yang ada di wilayah tersebut. Ketika menampilkan seorang yang sengaja meletuskan senjata hanya untuk memeriahkan acara pernikahan.
"Masih ada suatu wilayah di Indonesia yang melakukan tradisi seperti ini, tradisi yang sangat berbahaya, lebih banyak keburukannya, ilegal, dan sudah terbukti merenggut nyawa orang. Nah yang saya heran, kenapa ini masih bisa berlanjut? Bagaimana solusi dari pihak berwajib?" tulis ketarangan dalam akun X @RandomWorldWar.
Masih dari akun tersebut, tradisi seperti yang dilakukan Mukadam menuai banyak kritikan. Dimana pada unggahan itu juga tampak video yang menggambarkan tradisi dari menembakan senjata api ketika acara pernikahan.
Atas hal itu, Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Umi Fadilah Astutik membenarkan bahwa aksi yang dilakukan Mukadam meletuskan senjata apinya, dalam rangka memeriahkan acara perniakahan.
"Ada giat Begawi atau pernikahan adat di Lampung suka ada untuk memeriahkan suasana itu kayak ada letusan, mercon atau apa seperti itu. Itu memang sebagai tradisi di Lampung Tengah, jadi mungkin kemarin untuk membuat suasana lebih meriah, tersangka M ini membunyikan senpinya," kata Umi saat dihubungi.
Namun, Umi memandang seharusnya apabila tujuannya untuk memeriahkan acara, bisa dipakai mercon atau alat musik yang bisa menciptakan suasana kemeriahan selama prosesi pernikahan.
"Iya, cuman seyogyanya untuk memeriahkan itu bisa pakai mercon atau gendang-gendang itu. Atau pakai apa itu Betawi kan suka ada juga ramai ya kalau acara tanjidor. Apapun lah ya mungkin seperti itu," jelasnya.
Atas adanya kasus ini, Umi memastikan Polda Lampung akan melakukan penertiban terhadap penggunaan senjata api oleh masyarakat. Dengan maksud mencegah terjadinya kejadian seperti kasus Mukadam terulang.
"Artinya kita akan menertibkan melalui bid intelkam untuk menetralkan mana warga masyarakat yang memiliki senpi legal ada surat sah kepemilikannya," tegasnya.
"Kemudian, ke depan kita akan evaluasi terkait ada letusan itu mungkin bisa diganti dengan nabuh nabuh apa yang penting meriah. Mau letusan mercon lah. Itu bisa diganti gendang untuk memeriahkan pesta perkawinan," tambah dia.
Sementara dalam kasus ini, Umi mengatakan dari hasil pemeriksaan, Mukadam mengakui kalau tembakan yang dilepaskannya tidaklah disengaja. Namun naas timah panas dari senjatanya mengenai Salam yang merupakan keponakannya.
"Loh memang tidak ada niat menembak orang, itu hanya memeriahkan acara tersebut nah ternyata peluru itu nyasar ke korban S dan mengakibatkan meninggal dunia. (S) Masih ada keluarga, keponakan," ujarnya.
Sekretaris Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Humaidi Elhudri mengatakan, tradisi 'tembak menembak' dalam acara begawi (adat) memang sudah berlangsung sejak zaman dahulu.
Tradisi meletuskan senjata api itu diketahui sebagai penanda adanya keramaian atau acara pernikahan adat Lampung.
"Penggunaan senjata api itu untuk memeriahkan penyambutan tamu dari pihak besan dalam pesta pernikahan dan juga menunjukkan status sosial seseorang," kata Humaidi.
Dahulu digunakannya senjata api dalam tradisi pesta pernikahan itu karena belum adanya petasan. Senjata api pun pada waktu itu terbatas dan yang baru dimiliki masyarakat, namanya 'locok'.
"Saya kurang tahu pastinya sejak kapan, yang jelas di bawah tahun 1970 an. Locok saat itu dikenal dengan bedil locok, merupakan senjata api atau senapan lontak pada masa abad ke 15 hingga pertengahan abad ke 19. Belakangan penggunaan locok sudah dilarang dan diganti dengan mercon (petasan api)," tuturnya.
Dia menjelaskan, soal peristiwa mengenaskan kemarin sudah ada imbauan larangan penggunaan senjata api dalam tradisi pesta pernikahan, karena mengacu pada peraturan pemerintah.
"Sepanjang aturan adat bersebranagan dengan peraturan pemerintah maka sudah jelas dilarang pengguanaan senjata api. Kita akan imbau lagi, jangan lagi ada peristiwa serupa, kita pergunakan mercon saja," ungkapnya.
merdeka.com