Kisah Mangkuk Merah, Dari Tradisi Adat Dayak hingga Peristiwa Perang Rakyat
Selain berfungsi sebagai alat komunikasi antar sesama serumpun Suku Dayak, benda ini juga menyebabkan terjadinya rentetan peristiwa berdarah.
Pulau Kalimantan memang cukup terkenal dengan daerah hutan tropis yang luas serta menjadi tempat tinggal dari berbagai jenis flora dan fauna langka dan endemik. Namun, pulau ini tidak lengkap rasanya jika tak membahas Suku Dayak.
Salah satu kelompok suku bangsa atau multietnik Indonesia ini merupakan orang asli Kalimantan yang sudah tinggal selama ratusan tahun. Hingga sekarang masyarakat Dayak masih terus mempertahankan budaya dan adat istiadat warisan nenek moyangnya.
-
Mengapa Umbut Rotan penting bagi Suku Dayak? Meski olahan makanan rotan ini tergolong unik, tetapi bagi masyarakat Dayak, Juhu Umbut Rotan sudah menjadi bagian dari warisan leluhur nenek moyang mereka.
-
Siapa yang menjalani ritual adat Batak? Chen Giovani menjalani ritual adat Batak menjelang pernikahannya dengan Fritz Hutapea.
-
Kenapa orang Batak membuat Pesta Tapai ? Tradisi ini masyarakat Batubara akan menjual berbagai macam jajanan di pasar. Bahkan, di beberapa gerainya terdapat pedagang lemang. Secara umum, kegiatan ini akan berlangsung selama 22 hari sebelum puasa dan tutup dua hari sebelum puasa pertama.
-
Kenapa tradisi Marosok muncul di Minangkabau? Seperti dilansir dari situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id, secara historis tradisi Marosok ini masih erat kaitannya dengan rasa malu dan sopan santun. Pada zaman dahulu, hewan-hewan ternak yang akan dijual berasal dari peninggalan harta pusaka yang diturunkan dari leluhur suatu kaum keluarga. Masyarakat Minang menganggap hal memalukan dan menjadi aib apabila suatu kaum memaksa menjual harta pusakanya tersebut.
-
Bagaimana tradisi menumbuk padi di Kampung Adat Urug? 'Biasanya nutu itu sebulan sekali, kalau ada tetangga yang ingin memakai beras,' kata salah seorang warga, Sri Wulandari, mengutip YouTube Balai Kebudayaan Wilayah IX Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (4/1).
-
Kapan tradisi Suran Mbah Demang dilaksanakan? Dikutip dari Slemankab.go.id, tradisi Suran Mbah Demang dilaksanakan setiap tanggal 7 Sura penanggalan Jawa.
Banyak tradisi lokal yang menarik untuk ditelusuri satu per satu. Namun, terdapat satu tradisi Dayak yang digunakan untuk aksi balas dendam yang dikenal dengan nama Mangkuk Merah. Ya, memang namanya terkesan biasa dan tidak ada yang istimewa. Tetapi bagi orang Dayak, barang ini bisa menjadi senjata mematikan bagi sesama manusia.
Terkadang, Mangkuk Merah bisa menjadi media komunikasi tradisional suku Dayak apabila akan terjadi sesuatu atau waspada terhadap gangguan yang datang dari suku lainnya yang dapat merusak bahkan menghancurkan persatuan dan kesatuan mereka.
Asal-usul Mangkuk Merah
Dihimpun dari berbagai sumber, pada mulanya benda adat ini dikenal dengan nama Mangkuk Jaranang karena menggunakan mangkuk yang diwarnai dengan Jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang memiliki getah berwarna merah, lalu digunakan sebagai pewarna alami.
Dasar mangkuk tersebut dioleskan dengan Jaranang tadi dan terdapat warna merah. Mulai dari sinilah masyarakat Dayak mengenal istilah Mangkuk Merah. Umumnya, adat ini akan dilangsungkan apabila ada suatu kasus, seperti pembunuhan atau pelecehan seksual dan pelaku tidak ingin diselesaikan secara adat.
Bagi keluarga korban akan bersepakat untuk melakukan aksi balas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut Mangkuk Merah. Penggunaan alat ini tidak sembarangan, hanya bisa digunakan ketika benar-benar terpaksa saja. Segala macam akibat yang dihasilkan dari alat akan menjadi pertimbangan serius, karena jika sudah terjadi akan banyak korban berjatuhan.
Pelaksanaan Upacara
Panglima adat biasanya akan membawa mangkuk merah ke Panyugu atau tempat suci pada waktu matahari terbenam. Di sanalah ia meminta petunjuk kepada Dewa. Mereka yakin roh suci akan menjawab melalui tanda-tanda alam yang kemudian diterjemahkan oleh Panglima.
Apabila Mangkuk Merah sudah siap diedarkan dan layak, tubuh panglima kemudian langsung dirasuki oleh roh dewa. Saat panglima sudah tiba di desa, akan melantunkan kata magis. Penduduk desa yang mengerti bahasa tersebut otomatis berkumpul di lapangan dengan membawa Mandau, Perisai, dan Senjata Lantak.
Kemudian, para penduduk akan “ditularkan” roh-roh Dewa tadi hingga merasuki tubuh masing-masing. Konon katanya, barang siapa yang sudah kemasukan roh tersebut akan kebal senjata, tahan tidak makan sebulan, dan bisa bergerak cepat di dalam hutan.
Peristiwa dan Tragedi Berdarah
Berangkat dari adat setempat, Mangkuk Merah pun bisa memicu terjadinya peperangan yang memakan korban jiwa. Seperti dalam Perang Dayak Desa yang terjadi pada tahun 1944-1945 silam. Pada saat itu, suku Dayak ingin melakukan balas dendam terhadap tentara Jepang yang kejam.
Kemudian, dalam peristiwa Paraku atau PGRS yang pada saat itu masyarakat Dayak membantu TNI dalam memberantas komunis di Kalimantan pada tahun 1967. Peristiwa tersebut juga disebut sebagai tragedi pembunuhan dan pengusiran besar-besaran terhadap warga Tionghoa.
Ritual Mangkuk Merah juga terjadi pada peristiwa Perang Sampit pada tahun 2000-an. Ya, konflik antara warga Dayak dan Madura ini memang salah satu kejadian berdarah dan sejarah kelam perang rakyat di Indonesia yang mengakibatkan ratusan korban jiwa.