Mengenal Tradisi Brandu, Biang Kerok di Balik Penyebaran Antraks di Gunungkidul
Saat ada hewan ternak mati mendadak, masyarakat iuran untuk membeli hewan ternak tersebut. Kemudian hewan ternak itu disembelih dan dagingnya dibagikan.
Penularan kasus Antraks ini ditengarai disebabkan oleh tradisi Brandu atau Porak. Apa itu tradisi Brandu?
Mengenal Tradisi Brandu, Biang Kerok di Balik Penyebaran Antraks di Gunungkidul
Penyakit Antraks merebak di Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Kasus penyakit Antraks ini menyebabkan tiga warga Kabupaten Gunungkidul, DIY meninggal dunia.
Penularan kasus Antraks ini ditengarai disebabkan oleh tradisi Brandu atau Porak yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Gunungkidul.
Apa itu Tradisi Brandu?
Tradisi Brandu sendiri merupakan pemotongan hewan ternak yang mati mendadak atau sakit. Daging hewan ternak ini kemudian dijual dengan harga murah dengan tujuan agar pemilik ternak tidak terlalu rugi karena hewan ternaknya mati mendadak.
Tradisi Brandu ini oleh masyarakat dianggap sebagai bentuk gotong royong untuk meringankan beban peternak yang hewan ternaknya mati mendadak. Saat ada hewan ternak mati mendadak, masyarakat iuran untuk membeli hewan ternak tersebut. Kemudian hewan ternak itu disembelih dan dagingnya dibagikan.Pakar peternakan dari UGM Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni mengatakan menyembelih hewan ternak yang mati mendadak atau bangkai hewan ternak bisa memicu penyebaran penyakit yang disebabkan oleh bakteri.
"Hewan ternak yang mati karena sakit tidak boleh dibuka (disembelih). Itu kesalahan fatal. Bakteri itu sebagian besar ada di darah. Ketika darah keluar dan berinteraksi dengan udara maka terbentuklah spora,"
Ucap Endang dalam keterangannya.
Dosen Fakultas Peternakan UGM Nanung Danar Dono meminta agar tradisi Brandu ini dihentikan. Tradisi Brandu dinilai Nanung justru bisa menjadi pemicu penularan Antraks.
"Cukup ini yang terakhir. Kebiasaan Brandu tolong jangan diulang lagi," tegas Nanung.
Terkait tujuan baik dari Brandu, Nanung menyebut asal hewan mati tidak disembelih dan dagingnya tidak dikonsumsi itu tidak masalah. "Boleh membantu. Tapi tolong dagingnya jangan dimakan," terang Nanung.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Imran Pambudi mengatakan, antraks umumnya menyerang hewan herbivora seperti sapi, kambing, hingga domba. Namun, bakteri tersebut juga bisa menular ke manusia.
“Bakteri penyebab antraks apabila kontak dengan udara akan membentuk spora yang sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia tertentu dan dapat bertahan selama puluhan tahun di dalam tanah." kata Imran.
Ciri-Ciri Hewan Antraks
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Suharini Eliawati mengatakan, hewan terjangkit antraks biasanya memiliki gejala klinis. Pada hewan yang mengalami gejala antraks akut biasanya demam hingga 41-42 derajat Celcius, gelisah, lemah, paha gemetar, nafsu makan hilang, kejang dan ambruk. Selain itu, hewan terpapar antraks bisa menunjukkan gejala keluar darah dari dubur, mulut dan lubang hidung. Darah tersebut berwarna merah tua, agak berbau amis dan busuk serta sulit membeku.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, cukup sulit bagi masyarakat membedakan daging terpapar antraks atau tidak. Sebab, daging yang beredar di pasar sangat banyak. "Enggak bisa. Tidak terlihat bedanya," kata Nadia.
Nadia meminta masyarakat tidak membeli daging murah untuk menghindari antraks. Selain itu, masyarakat sebaiknya hanya membeli daging di rumah potong hewan (RPH) resmi.