Mengintip Kecanggihan Hawk 200 Jet Tempur TNI AU Andalan Skadron Macan Kumbang
pesawat Hawk 200 yang memiliki kemampuan terbang rendah untuk peperangan ringan di udara
Pesawat ini menjadi andalan Skadron Udara 12 Black Phanter, Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru Riau.
Mengintip Kecanggihan Hawk 200 Jet Tempur TNI AU Andalan Skadron Macan Kumbang
Pesawat tempur Hawk 200 buatan British Aerospace (BAE) pertahanan internasional Inggris adalah satu dari sekian pesawat tempur andalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU).
Pesawat ini menjadi andalan Skadron Udara 12 Black Phanter, Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru Riau. Secara mendasar, Hawk 200 bertugas mengamankan pertahanan udara di seluruh pulau Sumatera.
Meski usianya telah menginjak kurang lebih 25 tahun, namun pesawat Hawk 200 saat ini masih sangat layak untuk dioperasikan. Dengan berbagai tugas untuk mengamankan wilayah udara barat Indonesia.
“Pesawat kalau sudah dirawat dinyatakan siap terbang maka siap aja buat terbang. Kalau TNI AU sudah menyatakan siap terbang, maka dia sudah siap tempur,” kata Danskadron 12 Mayor Penerbang (PNB) Made Yogi Indra P saat ditemui, Selasa (6/2).
“Sudah kita deteksi, saya kebetulan punya list kalau sudah siap terbang nanti kita cek semua listnya (kesiapan terbang),” tambahnya.
Made pun menjelaskan kelayakan bukan dihitung dari usianya. Namun dari skala jam terbang, khususnya Hawk 200 yang rutin menjalani pemeliharaan mulai dari 125 jam, 250 jam sampai skala pemeliharaan tingkat berat atau overhaul.
Di mana untuk Hawk 200, overhaul bisa dilakukan sebanyak empat kali sampai batas maksimal terbang mencapai 4.000 jam.
Hal itu lah yang menjadikan pesawat ini tetap layak jalan meskipun usianya sudah terbilang tua.
“Maka akan di roundown (setelah 4.000 jam). Kalau ada yang sekarang tentunya telah melakukan berbagai tahapan pemeliharaan, dan dinyatakan siap terbang dengan masa pakai yang sudah terverifikasi,” ujarnya.
Walaupun begitu, pesawat Hawk 200 yang memiliki kemampuan terbang rendah untuk peperangan ringan di udara, khususnya penyerangan air to ground, dan anti rudal kapal laut tetap harus disesuaikan ketika melakukan operasi.
Semisal antisipasi gangguan di Laut Cina Selatan atau Natuna, apabila dihadapkan dengan pesawat yang mampu terbang tinggi diatas 6.000 meter sangat tidak disarankan. Karena Hawk hanya mampu terbang pada ketinggian 4.000 meter.
“Tentunya kalau siap operasi, ya tergantung lawannya. Kalau buat patroli ya siap-siap saja, tapi kalau berhadapan head to head kontinjensi disaat kita berhadapan dengan (yang lebih canggih). Jadi relevansi,” kata dia.
“Jadi kalau kenapa pesawat itu terus dioperasionalkan atau tidak tergantung dari sebelah. Kalau sebelah masih pakai Hawk atau sepantaran itu masih oke aja, kalau lawan separatis yang tidak memakai pesawat, oke-oke aja,” tambahnya.
Namun terkait kedatangan pesawat tempur Dassault Rafale, sebagai alutsista yang dibeli dari pabrikan Dassault Aviation, Perancis. Dimana, akan menjado penghuni Skadron 12 turut disambut baik.
Setelah Rafale yang dipesan secara berkala sebanyak 42 unit telah tiba dari 2026-2029. Maka secara berkala pesawat Hawk 200 yang masih layak operasi akan dipindahkan ke Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.
“Yang kami tahu sebagai operator, kita akan tetap terbangkan Hawk sampai rafale komplit. Dan sebagian pesawat Hawk yang masih layak terbang, sementara akan dipindahkan ke Lanud Supadio sampai dengan Rafale datang,”
jelas Danskadron 12 Mayor Penerbang (PNB) Made Yogi Indra
merdeka.com