Pemerintah Didesak Tegas soal Etnis Rohingnya: Jangan Sampai Jadi Masalah
Jika pemerintah terlambat mengambil kebijakan bisa jadi pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari.
Warga Aceh kian resah dengan banyaknya etnis Rohingya masuk wilayah mereka berdalih sebagai pengungsi.
Pemerintah Didesak Tegas soal Etnis Rohingnya: Jangan Sampai Jadi Masalah
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana meminta agar pemerintah bersikap tegas terhadap keberadaan etnis Rohingnya di Aceh. Pasalnya warga sudah merasa tidak nyaman dan resah keberadaan ribuan etnis Rohingnya dianggap meresahkan.
"Lima hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk ketegasan. Pertama, pemerintah menyerahkan segala sesuatu kepada UNHCR. Kedua, pemerintah harus meminta agar UNHCR menyiapkan dan mengeluarkan anggaran untuk kebutuhan sehari-hari dari etnis Rohingya,” kata Hikmahanto, Kamis (7/12).
Ketiga, pemerintah sementara harus mencarikan pulau terpencil untuk menampung etnis Rohingya yang terlanjur ada di Indonesia.
Tujuannya untuk mengantisipasi mereka lari dari penampungan dan berbaur dengan warga lokal.
Keempat, pemerintah meminta ke Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta untuk melakukan pemulangan terhadap etnis Rohingya atau UNHCR sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) dan (3) Perpres 125.
Kelima, Indonesia wajib meminta kantor UNHCR di Jakarta yang bertugas untuk melakukan screening para pencari suaka dan status pengungsi untuk segera ditutup.
Hal ini karena kantor tersebut menjadi faktor pendorong banyaknya etnis Rohingya dan sejumlah bangsa keluar dari negaranya datang ke Indonesia.
"Saat ini pemerintah perlu segera turun tangan. Jangan sampai kekesalan dan kemarahan masyarakat Aceh membuat mereka harus main hakim sendiri. Bila ini terjadi maka sejatinya pemerintahlah yang patut disalahkan,” kata Hikmahanto.
Benarkah Etnis Rohingya Pengungsi
Hikmahanto berpendapat, Indonesia tidak seharusnya memperlakukan etnis Rohingya sebagai pengungsi.
Alasannya, Indonesia bukan peserta dari Convention relating to the Status of Refugees yang dikenal sebagai Refugees Convnetion 1951.
"Kehadiran etnis Rohingya bukanlah urusan Indonesia. Bila etnis Rohingya hendak diperlakukan sebagai pengungsi maka ini merupakan urusan UNHCR dan Indonesia hanya membantu sedapatnya mengingat para etnis Rohingya saat ini berada di Indonesia," ungkapnya.
Bantuan sedapatnya dari Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres 125).
Dalam Pasal 1 angka 1 Perpres 125 didefinisikan istilah pengungsi dari luar negeri yaitu pengungsi adalah orang asing yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia disebabkan karena ketakutan yang beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta tidak menginginkan perlindungan dari negara asalnya dan/atau telah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia.
Mengacu Perpres 125
Dia justru mempertanyakan apakah etnis Rohingya yang berdatangan ke Indonesia saat ini sudah melalui screening atau seleksi untuk dapat dikatagorikan sebagai pengungsi luar negeri menurut Perpres 125?
"Apakah mereka benar sedang dipersekusi atau ingin mencari penghidupan yang lebih baik di Indonesia? Apakah mereka sudah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari UNHCR?" tegas Hikmahanto.
Bila belum melalui proses screening ini, maka tidak ada keharusan bagi pemerintah untuk memperlakukan etnis Rohingya sebagai pengungsi luar negeri sehingga Perpres 125 diberlakukan.
Dia meminta pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap gelombang kedatangan etnis Rohingya.
"Jangan sampai pemerintah terlambat mengambil kebijakan sehingga menjadi pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari," ujar Hikmahanto mengakhiri.