Peneliti Ungkap Dampak Gigitan Nyamuk Wolbachia
Peneliti menegaskan, nyamuk wolbachia tidak berubah menjadi bionik atau transgenik.
Nyamuk wolbachia jadi sorotan karena dianggap berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Peneliti Ungkap Dampak Gigitan Nyamuk Wolbachia
Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad mengungkap dampak gigitan nyamuk mengandung bakteri wolbachia. Nyamuk ini jadi sorotan karena dianggap berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Riris mengatakan, dampak gigitan nyamuk wolbachia sama seperti nyamuk tanpa bakteri. Bisa menimbulkan gatal pada bekas gigitan nyamuk wolbachia atau sebaliknya.
"Tidak ada yang berubah dari nyamuknya,” kata Riris dilansir dari Antara, Selasa (21/11).
Riris menegaskan, nyamuk wolbachia tidak berubah secara bionik (struktur anatomi) atau transgenik (tranformasi genetik).
“Yang terjadi adalah semacam blocking mekanik sehingga memang pada akhirnya dampak dari gigitan nyamuk ya sama saja," jelas peneliti nyamuk wolbachia ini.
Riris menyebut, walau efek gatal akibat gigitan nyamuk berwolbachia masih sama dengan nyamuk Aedes aegypti umumnya, namun dia tak menularkan lagi virus dengue.
Kemudian, terkait bisa atau bakteri dalam tubuh nyamuk berpindah ke serangga lain, hewan atau manusia, Riris membantahnya. Menurut dia, bakteri wolbachia hanya bisa tinggal di dalam sel tubuh serangga. Sehingga begitu keluar dari sel tubuh serangga maka bakteri tersebut akan mati.
"Misalnya ludah, ludah bukan sel jadi dia (bakteri) tidak akan bisa ada di ludah nyamuk. Ada mungkin di sel kelenjar ludahnya tetapi bakteri tidak bisa keluar dari sel sehingga ketika nyamuk menggigit manusia dia tidak bisa ditularkan ke manusia atau tempat lain," jelas Riris.
Peneliti bakteri wolbachia dan demam berdarah dari UGM, Adi Utarini menambahkan, efek gigitan nyamuk wolbachia bervariatif. Ada yang menimbulkan bentol dan gatal.
"Saat menggigit manusia, maka efek sampingnya merupakan efek gigitan nyamuknya (bukan wolbachianya) dan ini bervariasi dari satu orang ke orang lainnya. Ada yang bentol-bentol dan ada yang juga tidak," tutur dia.
Mengenai karakteristik nyamuk Aedes aegypti dengan wolbachia, menurut Adi, sama. Termasuk dari sisi resistensi terhadap insektisida.
Artinya, nyamuk wolbachia memiliki tingkat resistensi terhadap insektisida yang sama seperti nyamuk di alam.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan penebaran nyamuk mengandung bakteri wolbachia tidak akan menimbulkan penyakit baru. Nyamuk wolbachia diklaim bisa menurunkan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
"Wolbachia tidak menimbulkan penyakit baru yang berbahaya bagi kesehatan, sudah ada penelitian dan kajian risiko," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadi Tarmizi.
Menurut penelitian Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM), kata Nadia, wolbachia merupakan bakteri alami yang ada pada serangga seperti kupu-kupu, lalat buah, dan lebah.
Dia menyampaikan, bakteri wolbachia pipientis ditemukan pada 44,9 persen serangga seperti kupu-kupu, ngengat, nyamuk, dan lalat dalam penelitian yang dilakukan di lima dusun yang mencakup area permukiman dan agrikultur di Kabupaten Sleman dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2012.
Menurut Nadia, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bakteri wolbachia tidak menginfeksi manusia atau vertebrata lain dan tidak menyebabkan manusia atau hewan menjadi sakit.
Nadia menjelaskan wolbachia berdasarkan hasil penelitian dapat menurunkan replikasi virus dengue di tubuh nyamuk aedes aegypti sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk sebagai vektor virus dengue.
"Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri, dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus tidak dapat berkembang biak," katanya.
Nadia menyampaikan bahwa nyamuk aedes aegypti yang mengandung bakteri wolbachia dilepaskan untuk mengendalikan penularan virus dengue.
Jika nyamuk aedes aegypti jantan dengan wolbachia kawin dengan nyamuk betina, maka virus dengue pada nyamuk betina akan terblokir.
Apabila nyamuk betina wolbachia kawin dengan nyamuk jantan yang tidak memiliki bakteri itu, maka seluruh telurnya akan mengandung wolbachia.
"Metode pertama pelepasan bertujuan untuk mengurangi populasi nyamuk aedes eegypti dengan melepas nyamuk ber-wolbachia jantan saja dalam kurun waktu tertentu, sehingga telur-telur yang dihasilkan tidak menetas dan memberikan dampak berupa penurunan populasi," kata Nadia.
Metode kedua, lanjut Nadia, dilakukan dengan melepas nyamuk jantan dan betina dengan wolbachia dalam waktu sekitar enam bulan agar mayoritas nyamuk dalam populasi memiliki wolbachia.
Kemenkes telah menebar jentik nyamuk dengan bakteri wolbachia di lima kota endemis dengue di Indonesia sejak awal 2023.
Penyebaran jentik nyamuk berbakteri wolbachia dilakukan di 47.251 titik di Kota Semarang, 20.513 titik di Kota Bandung, 18.761 titik di Kota Jakarta Barat, 9.751 titik di Kota Kupang, dan 4.917 titik di Kota Bontang.