Polemik Kasus Pembunuhan Vina Dipicu Film, Ini Kata Lembaga Sensor
Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan dampak hukum dari film yang beredar bukan masuk dalam ranah lembaganya.
Film "Vina: Sebelum 7 Hari" telah berhasil membuka kotak pandora terhadap kasus pembunuhan sejoli Vina Dewi Arsita dan M Rizky Rudiana atau Vina dan Eky di Cirebon, Jawa Barat pada 2016 silam.
Karena film itu, kasus kematian Vina dan Eky pun kembali ramai, bahkan berdampak pada konsekuensi hukum yang saat ini terjadi. Salah satunya jalan mencari keadilan bagi para terpidana yang mengaku tidak terlibat dengan kematian Vina dan Eky.
Menanggapi polemik yang terjadi akibat film "Vina: Senbelum 7 Hari", Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI Ervan Ismail mengaku jika dampak hukum dari film yang beredar bukan masuk dalam ranah lembaganya.
"Memang ada pertanyaan film itu sudah mempunya kekuatan hukum dan seterusnya, kita tidak bisa masuk terlalu jauh ke situ. Karena kami tidak dibekali kemampuan ilmu menyidik, meneliti apakah film ini berdasarkan putusan pengadilan dan seterusnya,” kata Ervan saat ditemui usai acara Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri, di Jakarta, dikutip Kamis (8/8).
Menurutnya. kewajiban LSF adalah melakukan sensor pada film untuk menyesuaikan kategori agar sesuai regulasi yang ada. Walaupun dalam film itu turut mengangkat fakta yang ada di masyarakat atau base of true story.
"Ini merupakan kreativitas dari para sineas atau pembuat film. Karena mereka ini memiliki kepekaan atau nilai-nilai lain yang bisa melihat di mana ada peluang atau potensi yang bisa dikembangkan dalam film tadi," jelas dia.
Oleh sebab itu, Ervan memandang cerita yang dikemas dalam film merupakan sebuah karya fiksi sesuai kreativitas para sineas. Mereka memasukkan unsur dramatis atau menegangkan yang sah dalam film.
"Kami melihat ini sebagai bagian dari sebuah proses yang sifatnya alamiah saja ya. Karena memang film itu pada umumnya memang dibuat berdasarkan ide yang disebut sebagai fiksi ya," kata dia.
Maka dari itu, Ervan menilai dari beberapa film memang bisa memiliki pengaruh begitu besar di masyarakat yang bisa kembali menjadi bahan perbincangan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia namun berlaku juga di luar negeri.
Film yang berpengaruh itu termasuk "Vina: Sebelum 7 Hari". Film ini telah dinyatakan lolos sensor Lembaga Sensor Film (LSF) dengan klasifikasi penonton pada D17 alias untuk 17 tahun ke atas, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film dan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019.
"Sepanjang dia memiliki kepatuhan terhadap regulasi, soal bagaimana perizinan di tingkat korban pelaku dan seterusnya itu semua sudah terpenuhi," paparnya
"Kemudian di tingkat kami sudah terpenuhi regulasi yang ada, saya kira unsur yang disebut sebagai fiksi atau mendramatisir sebuah peristiwa itu bagian dari para sineas tadi," tambah dia.
Adapun dalam kasus saat ini, enam terpidana kasus Vina yakni Rivaldi Aditya Wardana, Eko Ramadhani, Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, dan Sudirman turut mengajukan peninjauan kembali (PK).
PK diajukan sebagai upaya perlawanan untuk bebas dari jeratan hukuman seumur hidup yang menjerat mereka sebagai terpidana atas kasus pembunuhan Vina dan Eky Cirebon. Sebelumnya PK juga sudah diajukan Saka Tatal, terpidana yang sudah bebas karena telah menjalani hukuman.
Sebelumnya, tersangka Pegi Setiawan juga telah memenangkan gugatan praperadilan berdasarkan hasil putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Status tersangkanya dianulir hakim.