Vonis Ahok dinilai sebagai supremasi hakim dan bukan supremasi hukum
Merdeka.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait kasus penistaan agama. Vonis dua tahun penjara atas Ahok tersebut dinilai sejumlah kalangan sebagai putusan yang janggal. Apalagi tiga hakim yang memimpin sidang Ahok dipromosikan mendapat kenaikan jabatan pasca putusan vonis.
Salah seorang inisiator petisi 'Ahok tidak menista agama', Dini Shanti Purnomo mengatakan, kejanggalan vonis Ahok tersebut merupakan bukti sedang terjadi supremasi hakim, bukan supremasi hukum. Dini mencatat ada empat kejanggalan dalam prosedur vonis atas Ahok.
Pertama, kata advokat alumni Harvard ini, hakim mengabaikan keharusan adanya teguran terlebih dahulu terhadap Ahok melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 1 /PNPS/Tahun 1965 dan sebagaimana dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materinya tahun 2012.
-
Siapa ayah Ahok? Diketahui, pria kecil ini merupakan anak dari Indra Tjahaja Purnama dan Buniarti Ningsing keturunan Tionghoa .
-
Kenapa Kejaksaan Agung tahan tersangka? Setelah ditetapkan sebagai tersangka, RD dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.'Terhitung dari tanggal 29 Maret sampai dengan 17 April,' tutup Ketut.
-
Siapa yang menikah dengan Ahok? Puput Nastiti Devi menjadi sorotan publik sejak menikahi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
-
Siapa yang ditetapkan tersangka dalam korupsi Bansos Jokowi? Pada kasus ini, satu orang telah ditetapkan menjadi tersangka yakni Direktur Utama Mitra Energi Persada sekaligus Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada tahun 2020, Ivo Wongkaren, alias IW.
-
Apa yang membuat Ahok heran tentang koruptor? Dia menyoroti hukum dan sanksi para koruptor. Saking lemahnya hukum, Ahok heran melihat bekas tahanan koruptor yang justru semakin kaya. Beberapa di antaranya bahkan tak segan pamer kekayaan.
"Kedua, diterimanya keterangan saksi-saksi yang tidak independen dan tidak kredibel. Seharusnya tidak boleh ada saksi lain dalam persidangan kecuali saksi fakta dan saksi ahli. Saksi fakta adalah saksi yang menyaksikan sendiri peristiwa atau tindakan yang menjadi obyek pemeriksaan persidangan, tapi saksi-saksi pelapor kasus Ahok tidak ada yang hadir di pidato Kepulauan Seribu," kata Dini dalam keterangan persnya, Jakarta, Sabtu (13/5).
Dia melanjutkan, kejanggalan juga terlihat saat vonis yang diberikan Majelis Hakim melampaui tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tanpa didasari dengan bukti-bukti yang kuat. Alur analisa dan argumen pembuktian Majelis Hakim juga tidak jelas.
"Keempat, penahanan Ahok berdasarkan putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) mengingat Ahok dan Tim Kuasa Hukum Ahok telah menyatakan banding atas vonis yang dijatuhkan," lanjut alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Menurutnya, sudah saatnya dipikirkan dengan serius untuk adanya suatu sistem 'check and balance' atas pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Di mana hakim tidak bisa dengan semena-mena menjatuhkan suatu vonis tanpa didasari oleh dasar hukum yang tepat serta didukung dengan bukti-bukti yang kuat.
"Akan sangat berbahaya untuk kepastian hukum apabila hakim mempunyai kebebasan tanpa batas dan dapat melakukan penerapan hukum sesuai seleranya tanpa memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan aturan yang berlaku. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka yang terjadi di Indonesia bukanlah supremasi hukum, melainkan supremasi hakim," tutup Dini.
(mdk/msh)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pengadilan Negeri Surabaya awalnya memvonis kedua polisi tersebut dengan hukuman bebas.
Baca SelengkapnyaHal itu dikatakan Alamsyah Hanafiah saat bersaksi terkait laporan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman Cs.
Baca SelengkapnyaKomisi Yudisial menilai, putusan tiga hakim tersebut melanggar etik dan aturan
Baca SelengkapnyaVonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK terhadap Hasbi Hasan yaitu 13 tahun dan 8 bulan penjara.
Baca SelengkapnyaKetiga hakim itu ditangkap tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran diduga menerima suap atas vonis bebas Ronald Tannur.
Baca SelengkapnyaKetiganya terancam dipecat tidak hormat apabila nantinya divonis bersalah lewat putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Baca SelengkapnyaPengadilan Militer II-08 Jakarta memvonis tiga terdakwa pembunuhan Imam Masykur Praka RM, Praka HS dan Praka J seumur hidup.
Baca SelengkapnyaSebelumnya, Angin Prayitno Aji divonis pidana 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider empat bulan kurungan.
Baca SelengkapnyaHakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024
Baca SelengkapnyaPutusan tersebut dibacakan dan diputus oleh I Dewa Gede Palguna di ruang sidang MKMK
Baca SelengkapnyaSebelumnya, oleh Komisi Yudisial tiga hakim dijatuhi sanksi pemberhentian tetap.
Baca Selengkapnya