DPR Minta Tatap Muka, MK Kembali Tunda Sidang UU Pemilu Coblos Partai Bukan Caleg
Merdeka.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), terkait sistem pemilu proporsional terbuka atau coblos caleg diubah kembali menjadi proporsional tertutup atau coblos partai, pada Selasa (17/1).
Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan pihak terkait yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketua MK Anwar Usman mengatakan, sidang hari ditunda setelah DPR meminta sidang digelar langsung atau tatap muka. Permintaan DPR itu disampaikan lewat surat diterima MK pada Senin (16/1).
-
Bagaimana DPR ingin Pemilu 2024 berjalan? Terakhir, Sahroni pun berharap agar Pemilu 2024 yang akan terjadi dalam kurun waktu beberapa hari lagi ini, dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya konflik-konflik.
-
Di mana sidang pembacaan putusan MK tentang sengketa Pilpres 2024? 'Ada dua putusan. Digabung di ruang sidang yang sama dalam satu majelis yang sama,' kata Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono kepada wartawan, Jumat, 19 April.
-
Kapan sidang pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024? Sidang pembacaan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Senin (22/4).
-
Kapan pemilu 2024 akan diselenggarakan? Pemilu ini dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pada tahun 2024 ini, pemilu akan diselenggarakan pada 14 Februari mendatang.
-
Siapa saja yang dipanggil MK dalam sidang lanjutan PHPU Pilpres 2024? Hari ini, Jumat, MK memanggil empat menteri Kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
-
Siapa yang hadir dalam diskusi tentang putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024? Hadir juga Guru Besar Bidang Hukum Prof. Romli Atmasasmita, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat.
"Untuk itu pada pagi hari tadi MK di dalam rapat permusyawaratan hakim telah mengabulkan dari permohonan DPR untuk sidang secara luring," kata Anwar, dalam sidang disiarkan secara daring.
Namun permintaan DPR untuk sidang digelar tatap muka tidak dapat dilaksanakan langsung pada hari ini. Oleh karena itu, MK memutuskan untuk menggelar sidang kembali pada 24 Januari 2023 mulai pukul 11.00 WIB.
"Karena MK harus memberi tahu kepada pihak-pihak lain yaitu Presiden dan para pemohon tentunya, termasuk pihak terkait KPU, termasuk pula para pihak terkait ada sekitar 11 yang memohon untuk dijadikan pihak terkait," ucap dia.
Sebelumnya sidang juga ditunda pada 20 Desember 2022. Saat itu, DPR dan presiden minta ditunda kendati KPU telah hadir.
Sidang Dengarkan Keterangan DPR hingga KPU
Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini menggelar sidang lanjutan gugatan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 terkait mencoblos caleg secara langsung. Sidang beragendakan mendengarkan keterangan DPR, Presiden dan KPU.
"Mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan Pihak Terkait (KPU)," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono dikonfirmasi merdeka.com, Selasa (17/1).
Diketatui, sistem Pemilu proporsional terbuka atau memilih calon legislatif langsung digugat ke MK oleh enam orang. Para penggugat adalah kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu tercatat dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Penggugat menginginkan pemilihan umum memberlakukan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik.
"Adanya sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut diambil menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo. Apabila melihat sejarah pemilu di Indonesia sebelumnya, sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup di mana pemilih hanya memilih partai politik karena sejatinya berdasarkan UUD 1945 kontestan pemilu legislatif adalah partai politik,"kata kuasa hukum pemohon Sururudin saat sidang perdana di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/11).
"Kemudian partai politiklah yang menunjuk anggotanya untuk duduk di DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, dengan mengacu pada alasan-alasan yang kami terangkan di atas memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," tambahnya.
Alasan Penggugat
Sejumlah alasan disampaikan para pemohon dalam sidang perdana tersebut. Sistem pemilu yang memilih calon legislatif secara langsung dinilai hanya menjual diri calon bermodal populer tanpa ikatan ideologis dengan partai. Calon tersebut juga tidak punya pengalaman organisasi partai politik atau organisasi sosial politik.
Maka, ketika terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD, calon legislatif itu tidak mewakili organisasi partai politik, tetapi mewakili diri sendiri. Menurut pemohon, harus ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah melalui proses pendidikan, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.
Alasan lain pemohon, melalui sistem pemilihan calon legislatif secara langsung, menimbulkan individualisme para politisi yang mengakibatkan konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik. Sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik dan persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual dalam pemilu. Pemohon memandang, persaingan itu harusnya terjadi antar partai politik, karena sesuai UUD 1946 Pasal 22E ayat (3) peserta pemilu adalah partai politik.
"Sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Dalam praktiknya, calon anggota legislatif yang terpilih dalam pemilu berdasarkan sistem suara terbanyak tidak memiliki perilaku dan sikap yang terpola untuk menghormati lembaga kepartaian, lemahnya loyalitas pada partai politik dan tidak tertib pada garis komando kepengurusan partai politik.hal ini akan berakibat pada krisis kelembagaan partai politik dalam berbangsa dan bernegara," papar Sururudin.
Pemilihan coblos calon legislatif secara langsung juga membuat pemilu berbiaya mahal. Persaingan antar calon legislatif menjadi tidak sehat karena mendorong kecurangan berupa politik uang kepada penyelenggara. Selain itu, sistem proporsional terbuka juga memakan biaya mahal dari anggaran negara, karena harus mencetak lebih untuk caleg anggota DPR, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam gugatan ini, pemohon meminta MK menyatakan frasa terbuka pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
"Menyatakan frasa 'proporsional' pada Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'," tutup Sururudin.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berhubung KPU tidak hadir di rapat hari ini, Komisi II DPR memutuskan untuk menunda rapat.
Baca SelengkapnyaSidang sedianya dimulai pukul 08.00 WIB, namun ada beberapa pihak yang diketahui datang sedikit terlambat.
Baca SelengkapnyaRapat tersebut menghasilkan keputusan setuju atas RUU Pilkada sehingga layak untuk dibawa ke rapat paripurna yang dijadwalkan pada Kamis ini.
Baca SelengkapnyaMateri revisi ditargetkan sudah disepakati serta disahkan dibawa ke Rapat Paripurna DPR, pada malam harinya
Baca SelengkapnyaKomisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Pemerintah dengan Komisi II DPR menyetujui penetapan revisi PKPU Nomor 8 tahun 2024 terkait keputusan Mahkamah Konstitusi.
Baca SelengkapnyaMenteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya akan berkomunikasi dengan DPR.
Baca SelengkapnyaKPU bakal menyelesaikan sengketa yang bakal berlangsung di MK terlebih dahulu sebelum melakukan penetapan di kemudian hari.
Baca SelengkapnyaRapat tersebut sedianya digelar pada Senin, 26 Agustus 2024, namun dimajukan ke Minggu (25/8).
Baca SelengkapnyaRapat ini diyakini dilakukan karena DPR hendak membatalkan putusan MK soal aturan pencalonan Pilkada.
Baca SelengkapnyaMasinton Pasaribu menemui para demonstran dalam aksi kawal putusan Mahkamah Konstitusi
Baca SelengkapnyaRapat terbilang digelar cukup cepat. Dimulai sekira pukul 10.00 Wib, langsung dibentuk Panja RUU Pilkada.
Baca SelengkapnyaSidang sengketa Pilpres 2024 belum selesai. Agenda sidang berikutnya pembacaan putusan yang akan digelar pekan depan.
Baca Selengkapnya