NasDem Tolak Pilkada dan Pemilu Digelar Serentak 2024
Merdeka.com - Partai NasDem menolak Pilkada digelar serentak dengan Pemilu 2024. NasDem ingin Pilkada tidak digabung dengan Pemilu nasional. Sebelumnya, Perludem juga menolak rencana Pilkada dan pemilu nasional digabung.
"NasDem termasuk yang mengusulkan agar pilkada itu seperti biasa saja. Istilahnya normalisasi tidak diserentakkan di 2024, makanya ketika kita membuat revisi Undang-Undang Pemilu dimana Pilkada dimasukkan dalam Undang-Undang Pemilu, kita ingin pilkada itu siklusnya tetap seperti sekarang, jadi nanti 2022 tetap ada pilkada," katanya kepada merdeka.com, Kamis (14/1).
NasDem ingin, Pilkada tetap ada pada 2022 dan 2023. Hal ini yang rencana diajukan NasDem dalam revisi UU Pemilu.
-
Apa prioritas utama NasDem dalam Pilgub Jakarta 2024? 'Ya prioritas Mas Anies, top priority. Yang kedua ada Ahmad Sahroni, ada Wibi Andrino habis itu yang lain-lain kita lihat nanti. PKS juga punya nama, PKB juga punya nama. Nanti kita duduk bareng lah,' kata Willy kepada wartawan di Kantor DPP PKS, Jakarta, Sabtu (27/4).
-
Apa saja yang diatur UU Pilkada Serentak 2024? Undang-Undang Pilkada Serentak 2024 di Indonesia diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, yang paling relevan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
-
Bagaimana UU Pilkada Serentak 2024 memastikan pemilihan yang adil? Undang-undang ini dirancang untuk memastikan bahwa proses Pilkada berlangsung dengan adil, transparan, dan demokratis, serta untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin daerah mereka.
-
Apa saja poin penting dalam Undang-Undang Pilkada Serentak 2024? Adapun poin-poin penting dalam Undang-Undang Pilkada Serentak 2024 adalah sebagai berikut: 1. Penetapan Jadwal Serentak Pemilihan dijadwalkan pada waktu yang sama untuk semua daerah, yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam proses pemilihan serta meningkatkan partisipasi pemilih. Dengan jadwal yang serentak, diharapkan penyelenggara pemilu dapat lebih fokus dalam persiapan dan pelaksanaan, sehingga mengurangi risiko kecurangan dan ketidakteraturan. 2. Pengetatan Syarat bagi Calon Undang-undang ini juga memperketat persyaratan bagi calon kepala daerah. Calon harus memenuhi kriteria tertentu yang lebih ketat dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, termasuk persyaratan pendidikan, pengalaman, dan integritas. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa calon yang maju dalam Pilkada memiliki kualitas dan kompetensi yang memadai untuk memimpin daerahnya. 3. Penguatan Peran Pengawasan Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, undang-undang ini memperkuat peran lembaga pengawas pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pengawasan yang lebih ketat diharapkan dapat mencegah terjadinya pelanggaran selama proses pemilihan, mulai dari tahap pencalonan hingga penghitungan suara. Bawaslu diberi wewenang lebih besar untuk melakukan tindakan preventif dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.
-
Kenapa undang-undang Pilkada serentak 2024 dibuat? Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 merupakan salah satu regulasi penting dalam sistem demokrasi Indonesia, yang bertujuan untuk mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Peraturan ini dibuat untuk memastikan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang jujur, adil, dan transparan, serta untuk meningkatkan efisiensi dan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan.
-
Siapa yang diprioritaskan NasDem untuk Pilgub Jakarta 2024? NasDem akan mengusung Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024. Bahkan, Anies dianggap menjadi tokoh prioritas untuk diusung pada Pilkada yang digelar November mendatang.
"Itu sudah kita sampaikan di draf RUU pemilu yang sudah ada sekarang," sambungnya.
Alasannya, kata Saan, jika pilkada digabung pemilu nasional maka beban penyelenggara begitu berat. Tanpa digabung pilkada saja, beban menyelenggarakan pileg-pilpres sudah terlalu besar dan berat.
"2019 yang lalu saja tanpa ada pilkada itu sudah kerepotan bebannya, selain beban berat tentu juga berpengaruh kepada kualitas penyelenggaraan," ujarnya.
Saan melanjutkan, dari sisi keamanan juga tidak memadai meski hanya untuk mengamankan pilkada serentak di seluruh Indonesia. Menurutnya, keamanan akan kerepotan jika pilkada dan pemilu nasional digabung.
"Sekarang saja pilkada yang dipisah misalnya di sebuah daerah kabupaten ada pilkada, kepolisian setempat kan tetap meminta bantuan kepada kepolisian daerah tetangga yang tidak pilkada, jadi ada bantuan. Bagaimana kalau diserentakkan untuk memenuhi itu jadi sangat tidak memadai," tuturnya.
Belum lagi, kata Saan, akan ada Plt (pelaksana tugas) kepala daerah yang terlalu lama menjabat bila pilkada dilaksanakan 2024. "Seperti sekarang saja siklusnya," tutup Saan.
Diketahui, provinsi yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada tahun 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sedangkan tahun 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatannya, antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua.
3 Alasan Tolak Keserentakan
Sebelumnya, Pembina Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengkritik rencana penyelenggaraan Pilkada Serentak pada 2024. Artinya, Pilkada akan sekaligus digelar bersamaan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada November 2024 nanti.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Artinya, kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, tidak akan diselenggarakan pilkada di daerahnya pada tahun tersebut. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai tahun 2024.
Titi tidak setuju dengan pelaksanaan Pilkada yang bakal digelar bersamaan dengan Pilpres 2024. Ada berbagai aspek yang menjadi pertimbangan Titi.
"Konsep Pilkada Serentak nasional tahun 2024 ini, sesungguhnya bergeser dari pengaturan awal yang terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 2015. Di mana pemungutan suara Pilkada Serentak nasional terjadwal dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027. Dalam rancangan ini, bagi daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada tahun 2022 dan 2023, tetap diselenggarakan pemungutan suara pada tahun-tahun tersebut," jelas Titi dalam keterangannya, Selasa (12/1).
Salah satu dampak negatif yang cukup besar apabila Pilkada digelar pada November 2024, kata Titi, ada ancaman elektoral.
Kata Titi, pertama beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Dia menyinggung maraknya kasus meninggal petugas KPPS saat Pemilu 2019 karena bebas kerja yang sangat tinggi karena harus mengawal lima surat suara.
"Selain itu, ada pula kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan akibat kompleksitas pemilihan yang dilaksanakan," jelas Titi yang mengutip data Fisipol UGM.
Meskipun, lanjut Titi, pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya di bulan April, sementara pilkada pada November. Namun, dia menggarisbawahi, tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, mulai dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan.
"Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Sehingga bukan tidak mungkin fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang," jelas dia lagi.
Persoalan kedua yakni menyangkut tentang politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih. Disebabkan terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan.
"Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya, politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks," jelas Titi lagi.
Pengalaman Pemilu 2019, kata dia, bahkan kampanye legislatif tenggelam oleh hiruk pikuk pemilu presiden. Ini pula yang ditengarai berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes) Pemilu Anggota DPD yang mencapai 29.710.175 atau 19,02 persen dari jumlah pengguna hak pilih.
Kajian Perludem atas evaluasi Pemilu Pemilu 2019 menemukan bahwa pendidikan pemilih yang tidak maksimal serta tenggelamnya sosialisasi Pemilu Anggota DPD membuat pemilih kurang punya pengetahuan soal calon dan prosedur pemilihan DPD.
"Bayangkan kalau kerumitan itu lantas ditambah lagi dengan pelaksanaan pilkada di waktu sama," tutur dia.
Alasan terakhir yakni adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019.
Semestinya tidak ditambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam Putusan tersebut, MK mengingatkan agar dalam memilih desain pemilu serentak pembuat undang-undang mengaitkan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
"Maka, dengan mempertimbangkan hal di atas, demi pelaksanaan pemilihan yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar secara nasional pada 2024. Guna menghindari kekacauan dan tragedi dalam demokrasi elektoral kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih realistis dan sejalan dengan rancang bangun ketatanegaraan kita," jelas Titi.
Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada tahun 2022 dan 2023. Sedangkan untuk daerah yang berpilkada tahun 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya.
Dengan demikian, penjabat pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
"Terpenting, kita harus menghindari jatuhnya korban jiwa petugas pemilihan seperti Pemilu 2019 lalu. Pemilih pun lebih bisa berorientasi pada politik gagasan dan program, karena desain pemilihan yang tidak membuat mereka kelebihan beban," tutup Titi.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Partai NasDem menolak Pilkada 2024 dimajukan pada bulan September.
Baca SelengkapnyaBanyaknya tahapan Pilkada 2024 yang akan bersinggungan dengan tahapan Pemilu nasional 2024.
Baca SelengkapnyaBerdasarkan hasil quick count dan real count sementara, Prabowo-Gibran unggul jauh dari dua pesaingnya. Prabowo-Gibran bahkan menang satu putaran.
Baca SelengkapnyaUsulan penundaan Pemilu 2024 kali ini diutarakan Bawaslu.
Baca SelengkapnyaKSP meminta penyelenggara Pemilu tetap fokus menjalankan tugas.
Baca SelengkapnyaNasDem juga menolak pemilihan Gubernur DKI dilakukan oleh Presiden.
Baca SelengkapnyaTito menyebut salah satu alasan percepatan pilkada lantaran menghindari kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025.
Baca SelengkapnyaKPU masih menunggu sikap MK dalam menangani sengketa Pemilu terbaru yang bakal bergulir di MK.
Baca SelengkapnyaDua nama itulah yang akan mewarnai Pilgub DKI Jakarta dari fraksi PKB
Baca SelengkapnyaKetua KPU Hasyim Asy'ari menginginkan agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 lebih cepat dari jadwal.
Baca Selengkapnya"Sampai saat ini tidak ada yang namanya untuk percepatan atau pemajuan Pilkada," kata Jokowi.
Baca SelengkapnyaHal ini sekaligus menegaskan dukungan NasDem pada pemerintah ke depan tak setengah hati.
Baca Selengkapnya