Soal Putusan Usia Capres/Cawapres, Saldi Isra Bingung Hakim MK Sekelebat Berubah Pendirian dan Sikap
Saldi Isra merupakan satu dari empat hakim konstitusi yang disetting opinion terkait putusan kepala daerah di bawah 40 tahun bisa jadi capres atau cawapres
Saldi Isra merupakan satu dari empat hakim konstitusi yang menyatakan disentting opinion terkait putusan kepala daerah di bawah 40 tahun bisa jadi capres atau cawapres.
Soal Putusan Usia Capres/Cawapres, Saldi Isra Bingung Hakim MK Sekelebat Berubah Pendirian dan Sikap
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materil Undang-Undang Pemilu, terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden yang dilayangkan pemohon Almas Tsaqibbirru dalam gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan MK tersebut membuat bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah menjadi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.
Putusan MK itu diwarnai disentting opinion atau perbedaan pendapat empat hakim. Empat hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Saldi Isra mengaku tidak habis pikir dengan situasi putusan MK terkait batasan usia capres dan cawapres tersebut. Sebab menurut Saldi Isra, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah Konstitusi pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar.
"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," kata Saldi Isra di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10).
Putusan MK yang Bikin Saldi Isra Bingung
Saldi Isra menguraikan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
"Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," ujar Saldi Isra.
Pembahasan dan pengambilan putusan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XX/2023 sendiri dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi.
Beberapa Hakim Konstitusi dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kata Saldi, tiba-tiba berbeda sikap.
"Tiba-tiba menujukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebiajkan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Tanda-tanda mulai bergeser dan berubahnya pandangan serta pencapat beberapa Hakim dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 tersebut telah memicu pembahasan yang jauh lebih detail dan ulet. Karena itu, pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali," tutur Saldi Isra.
Bahkan setelah penundaan putusan itu dikatakan Saldi Isra, sempat terjadi hal yang sangat janggal yakni Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya. Namun kemudian sehari setelahnya malah membatalkan kembali penarikan tersebut.
“Bahwa terlepas dari misteri yang menyelimuti penarikan dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU- XXI/2023,” ungkap Saldi Isra.
Lebih lanjut Saldi Isra menjelaskan, pembentuk undang-undang telah secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review, dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon.
“Bukan justru melempar bola panas ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini justru diambil alih dan dijadikan beban politik Mahkamah untuk memutusnya,” kata Saldi Isra.
“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhimya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi pubik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?" kata Saldi Isra.