Pernyataan Lengkap Hakim MK Soal Keanehan Terkait Gugatan Usia Capres Cawapres
Menurut Saldi, baru pertama kali MK berubah pendirian dengan sekejap.
Menurut Saldi, baru pertama kali MK berubah pendirian dengan sekejap.
Pernyataan Lengkap Hakim MK Soal Keanehan Terkait Gugatan Usia Capres Cawapres
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugutan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa) Almas Tsaqibbirru, terkait usia calon presiden dan calon wakil presiden (Capres-Cawapres). Putusan tersebut dibacakan MK pada sidang, Senin (16/10).
Dalam putusan MK tersebut terdapat perbedaan pendapat (disentting opinion) dari empat hakim sidang yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. Saldi Isra mengaku tidak habis pikir mengapa MK mengabulkan gugatan tersebut.
"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," kata Saldi Isra di gedung MK, Jakarta Pusat.
Menurutnya, baru pertama kali sejak dia menjadi hakim MK selama 6 tahun, MK berubah pendirian dengan sekejap.
"Sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa, dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ucapnya.
Saldi Isra menjelaskan, dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
"Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," ujar Saldi Isra.
Sebelumnya, MK juga pernah mengubah pendirian namun tidak pernah dalam waktu yang sesingkat seperti pada sidang gugatan capres-cawapres kemarin.
"Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengesampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat," beber Saldi Isra.
Beberapa hakim Konstitusi dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kata Saldi, tiba-tiba berbeda sikap.
"Tiba-tiba menujukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023," tutur Saldi Isra.
"Tanda-tanda mulai bergeser dan berubahnya pandangan serta pendapat beberapa hakim dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 tersebut telah memicu pembahasan yang jauh lebih detail dan ulet. Karena itu, pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali," sambungnya.
Bahkan setelah penundaan putusan itu sempat terjadi hal yang sangat janggal yakni pemohon perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya. Namun kemudian sehari setelahnya malah membatalkan kembali penarikan tersebut.
"Bahwa terlepas dari misteri yang menyelimuti penarikan dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU- XXI/2023," ungkap Saldi Isra.
Saldi Isra menjelaskan, pembentuk undang-undang telah secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review, dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon.
"Bukan justru melempar bola panas ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini justru diambil alih dan dijadikan beban politik Mahkamah untuk memutusnya," kata Saldi Isra.
"Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi pubik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?" pungkasnya.
Reporter magang: Ardhya Fausta