Mengingat Kembali 'Pedasnya' Dissenting Opinion Hakim MK Saldi Isra & Arief Hidayat di Putusan Batas Usia Cawapres
Hakim MK Saldi Isra dan Arief Hidayat juga dissenting opinion putusan tolak gugatan PHPU 2024
Hakim MK Saldi Isra dan Arief Hidayat juga dissenting opinion putusan tolak gugatan PHPU 2024
Mengingat Kembali 'Pedasnya' Dissenting Opinion Hakim MK Saldi Isra & Arief Hidayat di Putusan Batas Usia Cawapres
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang dilayangkan Pasangan Calon (Paslon) Presiden-Wakil Presiden 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Sidang dipimpin oleh 12 hakim MK.
Dari 12 hakim, tiga di antaranya menyatakan dissenting opinion atau beda pendapat terhadap putusan menolak permohonan gugatan PHPU 2024.
Ketiga hakim ialah Saldi Isra, Enny Nurbainingsih, dan Arief Hidayat.
Usut punya usut, dua hakim MK, Saldi Isra dan Arief Hidayat pernah mengajukan dissenting opinion dalam putusan gugatan batas usia capres-cawapres. Yakni, sidang Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 perkara batas usia capres-cawapres.
Berikut isi dissenting opinion yang disampaikan keduanya dalam sidang penetapan batas usia capres-cawapres:
Hakim MK Arief Hidayat
Pada sidang yang dilakukan pada 16 Oktober 2023 lalu, Arief Hidayat menggarisbawahi tiga poin.
Yang pertama adalah penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda, MK membutuhkan 2 bulan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.
Meskipun tidak menyalahi aturan MK maupun Undang-Undang, Arief berpendapat hal tersebut sama saja dengan menunda keadilan.
"Dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied). Terlebih hal in merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK,"
kata Arief saat sidang putusan MK batas usia capres-cawapres di MK, beberapa waktu lalu.
Kemudian, Arief menyoroti adanya kejanggalan mengenai pencatatan putusan sekaligus kejanggalan absennya Anwar Usman sebagai Ketua MK kala itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Arief menilai hal itu dilakukan untuk menghindari potensi konflik kepentingan berkaitan dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar 'dikabulkan sebagian.' Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar,"
kata Hakim MK Arief Hidayat.
Hakim MK Saldi Isra
"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," kata Saldi Isra mengawali dissenting opinion putusan batas usia capres-cawapres
Senada dengan Hakim Arief Hidayat, Saldi menilai ada kejanggalan terkait ketidakhadiran Anwar Usman pada RPH dan pergeseran petitum pemohon dengan putusan perkara yang dilakukan dengan cepat.
"Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," kata Saldi.
Saldi juga mempertanyakan urgensi dari hasil putusan MK yang dinilainya tidak memuat fakta-fakta yang kuat.
"Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?" ucap Saldi.
Atas penyampaian dissenting opinion-nya yang menohok, Saldi Isra dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) oleh pendukung Prabowo Subianto atas dasar sikapnya yang dinilai menjatuhkan marwah MK.
Laporan tersebut termuat dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 segera ditolak oleh MKMK karena Saldi Isra dianggap tidak melanggar etika apapun selama proses penyampaian dissenting opinion.