Pada Dasarnya, Apakah Manusia Sesungguhnya Baik atau Jahat? Ini Kata Penelitian
Secara umum, manusia menjadi baik atau jahat sangat tergantung dari kondisi lingkungan sekitarnya.
Pertanyaan mengenai sifat dasar manusia—apakah manusia secara alami baik atau jahat—telah lama menjadi bahan perdebatan. Pemikiran tentang sifat jahat manusia sudah banyak digemari oleh filsafat modern, termasuk pemikiran Thomas Hobbes yang berpendapat bahwa manusia pada dasarnya egois. Namun, seiring berkembangnya ilmu psikologi dan evolusi, sudut pandang baru mengenai sifat dasar manusia pun muncul. Benarkah manusia cenderung jahat, atau sebaliknya, sebenarnya memiliki kecenderungan alami untuk menjadi baik?
Perspektif Evolusi: Altruistik atau Egoistik?
Dilansir dari Psychology Today, dalam pandangan evolusi, banyak ilmuwan yang mendukung teori bahwa makhluk hidup cenderung egois demi mempertahankan hidupnya. Akan tetapi, studi ekologis terbaru menunjukkan bahwa alam tidak sesederhana itu. Misalnya, penelitian tentang jaringan mycorrhizal pada tumbuhan menunjukkan bahwa tanaman ternyata saling berkolaborasi dengan “menukar” glukosa dan nutrisi lainnya untuk keuntungan bersama. Temuan ini mengindikasikan bahwa dalam ekosistem alamiah, kolaborasi justru menguntungkan pertumbuhan dibandingkan hidup secara independen.
-
Kapan kita harus memahami mana yang baik dan buruk? Mou kodomo janai kara, docchi ka ii ka docchi ka warui ka rikaisbeki danaa. Kita seharusnya bisa memahami mana yang baik dan mana yang buruk, karena kita bukanlah anak kecil lagi.
-
Apa itu karakteristik menurut para ahli? Karakteristik adalah sifat khas yang sesuai dengan perwatakan tertentu. Hal itu seperti apa yang sudah dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 'Perwujudan dari istilah apa itu karakteristik adalah akhlak, karakter, kepribadian, perangai, perilaku, personalitas watak, sifat, dan tabiat,' tulis keterangan dalam KBBI.
-
Apa yang dipelajari psikologi manusia? Psikologi manusia merupakan cabang ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental individu. Dengan fokus pada aspek-aspek seperti persepsi, pemikiran, emosi, dan interaksi sosial, psikologi manusia berusaha memahami kompleksitas pikiran dan perilaku manusia.
-
Kenapa manusia diciptakan beragam? Karena diciptakan beragam, maka Allah SWT menginkan hamba-Nya untuk saling mengenal satu sama lain meski tercipta dengan banyak latar belakang suku, agama, dan ras.
-
Apa yang terjadi pada manusia? Hampir 1 Juta tahun yang lalu, populasi dunia hanya berjumlah 1.300 orang dalam kurun waktu lebih dari 100.000 tahun.
-
Kenapa penelitian ini penting untuk manusia? Penelitian ini Sengaja Dipersiapkan Demi Kehidupan Manusia di Luar Angkasa, Ada yang Harus Ikuti Perilaku Binatang
Hal serupa tampaknya berlaku untuk manusia. Dibandingkan dengan primata lain, manusia menunjukkan kecenderungan sosial yang lebih kuat sejak usia dini. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak kecil sangat mahir meniru dan mengikuti petunjuk sosial untuk menemukan hadiah tersembunyi—sesuatu yang gagal dilakukan oleh simpanse dan primata lainnya. "Karakteristik sosial ini menjelaskan bahwa manusia memiliki adaptasi yang lebih kuat untuk kerja sama sosial dibandingkan spesies lain," ungkap peneliti. Kecenderungan sosial pada manusia ini juga mirip dengan perilaku bonobo, primata yang cenderung kurang agresif.
Namun, meskipun memiliki kecenderungan kerja sama yang kuat, sejarah manusia penuh dengan konflik. Perang, genosida, dan tindakan destruktif lainnya tampaknya menunjukkan sisi gelap dari sifat manusia. Apakah hal ini mengindikasikan bahwa manusia memiliki sisi jahat yang inheren?
Kritik terhadap “Depravity” Manusia
Psikologi sosial telah melakukan berbagai eksperimen untuk menguji sejauh mana manusia bisa terjerumus dalam tindakan kejahatan. Eksperimen ikonik yang dilakukan oleh Stanley Milgram dan Philip Zimbardo memperlihatkan bahwa banyak orang akan melakukan kekerasan atas perintah otoritas, bahkan sampai pada tindakan pembunuhan. Eksperimen ini terinspirasi dari kejahatan yang dilakukan oleh Nazi dalam Perang Dunia II, yang kerap dianggap sebagai contoh "banalitas kejahatan," di mana manusia yang "biasa" dapat berubah menjadi pelaku kejahatan karena tekanan sosial dan konformitas.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa situasi, bukan sifat dasar manusia, yang sering kali menjadi pemicu perilaku jahat. Namun, beberapa eksperimen tersebut telah dikritik karena banyaknya masalah metodologis, termasuk bias dari peneliti dan prosedur yang terlalu manipulatif. Eksperimen-eksperimen ini dinilai tidak sepenuhnya mewakili perilaku alami manusia dalam kondisi nyata.
Meskipun eksperimen ini kontroversial, tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan kejahatan memang nyata dan terus berlanjut di berbagai belahan dunia. Misalnya, peristiwa genosida di Kamboja, Rwanda, dan kekejaman lainnya menunjukkan adanya elemen “kejahatan” dalam sejarah manusia.
Mengapa Tiran dan Kejahatan Massal Masih Ada?
Bukti adanya kekejaman di dunia tidak secara langsung membuktikan bahwa manusia jahat secara inheren. Sebaliknya, psikologi sosial sering kali mengabaikan konteks sosial yang lebih luas. Menurut para peneliti, sifat otoritarian yang menghasilkan kekejaman massal biasanya muncul dalam masyarakat yang kompleks. Contohnya, kekejaman rezim Pol Pot di Kamboja atau dinasti Kim di Korea Utara hanya mungkin terjadi dalam struktur kekuasaan yang sangat hirarkis, yang berbeda dengan masyarakat pemburu-peramu yang lebih egaliter.
Dalam masyarakat sederhana, tidak ada hirarki kekuasaan yang ketat. Konflik memang ada, namun kekerasan massal atau perang antar kelompok jarang terjadi karena individu memiliki kebebasan untuk bergabung atau meninggalkan kelompok. Konflik yang terjadi biasanya disebabkan oleh ketegangan dalam hubungan antarpribadi, dan bukan atas dasar kebencian massal.
Sementara itu, struktur kekuasaan otoritarian baru muncul sekitar lima ribu tahun lalu, ketika masyarakat agrikultur pertama mulai berkembang di Mesopotamia. Pada titik inilah stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks, dan akumulasi kekayaan menyebabkan kesenjangan yang semakin besar. Sebagai hasilnya, praktik perbudakan, penindasan, dan peperangan yang terus-menerus muncul sebagai bagian dari peradaban manusia.
Uang dan Kesenjangan sebagai Akar Kejahatan Modern
Kekayaan dan kesenjangan telah menjadi faktor pendorong konflik dalam masyarakat modern. Ungkapan populer, “Uang adalah akar dari segala kejahatan,” tampaknya masih relevan hingga kini. Di dunia yang semakin dipengaruhi oleh korporasi raksasa dan miliarder, kesenjangan sosial semakin terlihat, mengubah “keserakahan” menjadi fenomena global yang melampaui batas negara. Ironisnya, manusia modern yang memiliki kemampuan untuk bekerja sama dan memiliki kecenderungan sosial justru menciptakan “rap sheet” yang penuh dengan konflik dan kejahatan sejak lima ribu tahun lalu.
Maka, apakah manusia sesungguhnya baik atau jahat? Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa manusia mungkin memiliki kecenderungan dasar yang baik, namun sejarah yang panjang dan kompleks serta struktur sosial yang menindas mengarahkan sebagian orang pada tindakan jahat. Manusia mungkin secara alami baik, namun di bawah pengaruh lingkungan yang buruk atau kekuasaan yang otoriter, sisi gelapnya bisa muncul dengan sangat kuat.
Pada akhirnya, apa yang membuat manusia baik atau jahat sering kali dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kebijakan, dan cara kekuasaan diatur.