Evolusi Manusia Masih Kalah Cepat dengan Perubahan Budaya Modern, Dampaknya Ini yang Terjadi
Evolusi Manusia Masih Kalah Cepat dengan Perubahan Budaya Modern, Dampaknya Ini yang Terjadi
Media sosial, kehidupan kota, dan kesukaan kita terhadap makanan manis dapat mempengaruhi tingkat stres, kesehatan, dan jumlah anak yang kita miliki.
-
Kapan manusia modern muncul? Bentuk bola unik otak manusia modern berevolusi setelah Homo sapiens pertama muncul sekitar 300.000 tahun yang lalu.
-
Kapan evolusi manusia terjadi? Para ilmuwan sedang menjajaki kemungkinan-kemungkinan evolusi manusia di tahun 3000-an.
-
Kenapa perubahan sosial terjadi secara cepat? Perubahan sosial secara cepat merujuk pada perubahan yang terjadi dalam waktu yang singkat atau tiba-tiba. Ini seringkali merupakan perubahan yang signifikan dan mendalam dalam masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.
-
Bagaimana urbanisasi mempengaruhi perubahan budaya? Urbanisasi menjadi salah satu contoh perubahan tersebut, di mana banyak penduduk desa yang pindah ke kota untuk mencari pekerjaan dan meningkatkan taraf hidup. Fenomena ini menyebabkan terjadinya pergeseran budaya, seperti perubahan pola makan, gaya berpakaian, dan tata cara berinteraksi.
-
Apa dampak negatif globalisasi terhadap budaya? Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
-
Apa perbedaan utama Neanderthal dengan manusia modern? Meskipun banyak kemiripan, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara Neanderthal dan Homo sapiens.Jika Anda bepergian dengan kereta bawah tanah di New York dan bertemu dengan Neanderthal, Anda mungkin akan langsung mengenalinya, kata Shara Bailey, seorang profesor antropologi biologi di Universitas New York, kepada Live Science. Neanderthal mudah dikenali karena ciri wajah mereka yang khas.
Evolusi Manusia Masih Kalah Cepat dengan Perubahan Budaya Modern, Dampaknya Ini yang Terjadi
Penelitian menunjukkan banyak masalah kontemporer, seperti meningkatnya prevalensi masalah kesehatan mental, yang muncul akibat pesatnya kemajuan teknologi dan modernisasi.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan mengapa kita sering merespons buruk terhadap kondisi modern, meskipun memberikan banyak pilihan, keamanan, dan manfaat lainnya, adalah ketidakcocokan evolusi.
Ketidakcocokan evolusi terjadi ketika adaptasi fisik maupun psikologis tidak lagi sesuai dengan lingkungan.
Misalnya, ngengat dan beberapa spesies lalat nokturnal yang berevolusi menggunakan bulan sebagai penunjuk arah. Namun, dengan penemuan
pencahayaan buatan, banyak ngengat dan lalat kini tertarik pada lampu jalan dan lampu ruangan.
Dilansir Live Sciene, hal serupa juga terjadi pada manusia. Contoh klasiknya adalah kesukaan kita terhadap makanan manis, yang pada masa lalu membantu nenek moyang kita mencari makanan kaya kalori di lingkungan yang kekurangan nutrisi.
Namun, di dunia modern, di mana perusahaan makanan memproduksi makanan tinggi gula dan lemak secara massal, sifat ini justru merugikan. Dampaknya adalah kerusakan gigi, obesitas, dan diabetes.
Dunia modern dipenuhi hal-hal yang membuat naluri adaptif kita kacau. Misalnya, manusia berevolusi untuk hidup dalam kelompok kecil berjumlah 50 hingga 150 orang yang erat. Kebutuhan adaptif kita untuk merasa diterima berfungsi baik dalam situasi seperti itu.
Namun, di kota-kota besar yang dihuni ratusan ribu orang asing, banyak orang merasa kesepian dan tidak memiliki banyak teman dekat.
Penelitian juga menunjukkan hewan sosial yang hidup di tempat ramai mengalami stres kompetitif yang berdampak
pada kesehatan fisik seperti fungsi kekebalan tubuh yang menurun dan penurunan kesuburan.
Begitu juga manusia di kota-kota padat yang mengalami tingkat stres tinggi dan cenderung memiliki lebih sedikit anak.Ketimpangan sosial dalam masyarakat modern berbeda dengan lingkungan pemburu-pengumpul yang egaliter.
Manusia berevolusi untuk peduli terhadap status sosial, yang memotivasi kita mengatasi kesenjangan status antara diri kita dan orang lain.
Namun, ketika kesenjangan sosial terlalu besar, seperti terlihat pada tokoh seperti Elon Musk, yang kekayaannya jauh melampaui kemampuan rata-rata orang untuk mengejarnya, kekhawatiran kita terhadap status sosial dapat menyebabkan kecemasan.
Media sosial memperburuk masalah perbandingan sosial. Orang cenderung berbagi sisi terbaik mereka secara daring, sehingga media sosial memberikan gambaran miring terhadap kenyataan yang dapat membuat pemirsanya merasa buruk tentang diri mereka sendiri.
Pengukuran nilai melalui suka dan pengikut juga memungkinkan orang untuk lebih terobsesi dengan posisi mereka dibandingkan orang lain.
Beberapa tren bermasalah dapat dipahami dari ketidakcocokan evolusioner ini. Misalnya, persaingan dan kecemasan terhadap status telah dikaitkan dengan obsesi pencapaian pendidikan, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi, dan materialisme.
Ada tren yang berkembang di mana orang berutang untuk membeli barang-barang demi tampak berstatus tinggi.
Masyarakat juga lebih cenderung mengambil risiko ketika merasa perlu mendapatkan keunggulan kompetitif. Ditambah dengan meningkatnya biaya hidup, banyak orang mendapati pekerjaan mereka tidak memadai untuk memenuhi harapan masyarakat maupun membangun kekayaan.
Laporan tahun 2023 oleh CFA Institute menunjukkan banyak generasi Z beralih ke investasi berisiko seperti mata uang kripto dalam upaya untuk mengatasi situasi ini.
Dunia modern yang sangat kompetitif juga mendorong orang menjalani operasi kosmetik berbahaya dan program penurunan berat badan.
Ketika orang-orang berjuang memenuhi harapan masyarakat terhadap kesuksesan, mereka mendefinisikan ulang tujuan hidup mereka.
Survei terhadap responden Gen Z dan Milenial menunjukkan meningkatnya biaya hidup memaksa kelompok ini menurunkan ambisi karir dan meninggalkan gagasan untuk memiliki rumah, memulai keluarga, atau menemukan pasangan romantis.
Survei tahun 2023 terhadap 55.000 orang yang lahir antara tahun 1981 dan 2012 menemukan bahwa responden lebih fokus pada kesehatan mental dan fisik mereka.
Persaingan yang terlalu ketat dapat membuat orang menginternalisasikan tekanan dan mengalami kecemasan atau depresi. Peneliti telah menghubungkan menyakiti diri sendiri dan depresi pada orang yang merasa tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat modern.
Tren ini terutama terjadi di negara-negara dengan budaya malu yang kuat, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Penelitian menunjukkan beberapa tanggapan eksternalisasi termasuk
kemarahan atas ketidakadilan yang dirasakan dalam persaingan yang tampaknya mustahil dimenangkan, yang mengakibatkan sinisme, agresi, dan permusuhan.
Perspektif ketidakcocokan evolusioner tidak berarti kita harus kembali sepenuhnya ke cara hidup nenek moyang kita, tetapi kita perlu mencari cara untuk menyesuaikan lingkungan agar lebih selaras dengan sifat evolusi kita.
Misalnya, kita dapat memikirkan cara untuk merekayasa lingkungan binaan untuk mengurangi kepadatan atau meningkatkan akses terhadap alam. Kegiatan seperti mandi di hutan dan berkebun bersama dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan.
Perubahan gaya hidup untuk mengurangi konsumerisme dan paparan terhadap media massa dan sosial, serta berfokus pada pekerjaan yang bermakna dibandingkan gengsi pekerjaan, juga bisa membantu.