Mengenal Apa itu Cancel Culture dan Kaitannya dengan Baik atau Buruk, Perhatikan Ini
Merdeka.com - Sebuah acara televisi akan “dicancel” jika mendapat rating yang sangat buruk. Untuk waktu yang lama, arti istilah “cancel” belum terlalu rumit, namun dalam dekade terakhir, istilah ini memperoleh definisi baru, terutama dalam konteks istilah di internet.
Saat ini, segala sesuatu dan setiap orang dapat “dicancel” jika internet secara kolektif memutuskan bahwa itu perlu. Pengertian kolektif di sini penting karena pembatalan sesuatu sebenarnya adalah hasil dari gerakan massa, kolektif dalam bentuk dan kekuatan.
JK Rowling “dicancel” karena pandangan transphobiknya. Cardi B dan Nicki Minaj “dicancel” karena membuat komentar homofobia. Trump “dicancel” karena perilaku dan kata-katanya yang rasis dan tidak pantas terhadap wanita, orang kulit berwarna dan imigran. Kanye West “dicancel” karena mengatakan perbudakan adalah “pilihan” dan karena mendukung Trump.
-
Apa itu cancel culture? Laman The New York Post menjelaskan fenomena cancel culture diartikan sebagai ajakan untuk menolak seseorang, brand, acara, hingga film.
-
Bagaimana cancel culture berkembang? Tren cancel culture juga disinyalir berakar dari blog Tumblr pada awal 2010, terutama sebuah akun bernama Your Fave Is Problematic. Saat itu, berbagai fandom mendiskusikan mengapa bintang favorit mereka, khususnya selebriti asal Amerika tidak sempurna.
-
Apa dampak negatif cancel culture? Meski cancel culture dapat mendorong introspeksi diri, tindakan ini juga memiliki dampak negatif seperti peningkatan risiko depresi, kembalinya trauma, dan hilangnya kebebasan berpendapat.
-
Kenapa cancel culture muncul? Dikutip laman Insider, gagasan penolakan tersebut diketahui muncul sejak 2017 yang diawali dengan kesadaran untuk meng-cancel selebriti karena tindakan atau pernyataan bermasalah.
-
Bagaimana cara menghentikan cancel culture? Melihat potensi dampak negatif yang dapat ditimbulkan, cancel culture bukanlah tindakan yang sepenuhnya baik. Sebagai alternatif, kita dapat menghindari budaya ini dengan melihat segala sesuatu secara lebih obyektif, menghargai perbedaan pendapat, menghindari asumsi, dan berusaha memahami perspektif orang lain.
-
Siapa yang menggunakan cancel culture? Di Indonesia, penggunaan istilah ini sepertinya lebih ramai di media sosial, khususnya di kalangan generasi milenial muda dan Gen-Z.
Jadi apa itu sebenarnya yang dimaksud cancel culture yang kini banyak terjadi di media sosial? Berikut apa itu cancel culture dan apakah itu baik atau buruk:
Apa itu Cancel Culture?
Menurut Wikipedia ada dua istilah varian untuk tren tersebut. Istilah call-out culture adalah salah satu bentuk penghinaan publik yang terjadi di media sosial (biasanya Twitter) yang bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban masyarakat dengan cara menarik perhatian pada perilaku yang dianggap bermasalah.
Sedangkan cancel culture adalah bentuk boikot di mana seseorang, biasanya seorang seleb, telah berbagi pendapat yang meragukan, atau sekali lagi, memiliki perilaku bermasalah yang disebut di media sosial. Orang itu kemudian "dicancel", yang pada dasarnya berarti mereka diboikot oleh banyak orang, terkadang menyebabkan penurunan besar-besaran dalam basis penggemar dan karier orang tersebut menurut laman Inside Hook.
Ini biasanya dimulai ketika seseorang mengatakan atau mengungkapkan pendapat yang rasis/seksis/homofobik/transfobik/xenofobik atau yang dianggap bermasalah lainnya oleh warga internet.
Itu juga bisa sesuatu di masa lalu mereka yang jauh yang telah ditemukan di postingan lama, namun membawa perhatian baru padanya. Ini bisa berupa tangkapan layar tweet lama atau video lama yang memunculkan kembali perilaku bermasalah yang dimaksud.
Jadi apakah Cancel Culture itu baik atau buruk?
Nah, ini rumit. Mengkritisi seseorang, terutama seseorang yang memiliki pengaruh besar, atas perilaku atau idenya yang berbahaya adalah sesuatu yang harus terus kita lakukan.
Call-out culture telah sangat membantu orang-orang kulit berwarna dan komunitas LGBTQIA+ dalam menjaga ruang mereka bebas dari orang-orang yang menyebalkan.
Tetapi kemudian banyak juga yang mengemukakan bahwa mentalitas massa dari cancel culture dapat menjadi racun, dan seperti yang telah terjadi, kampanye media sosial massa terhadap seseorang ini sebenarnya dapat menghalangi mereka untuk tumbuh dan belajar dari kesalahan mereka. Alih-alih "membully dan memboikot" mereka, kita harus mendidik mereka dan membuka ruang percakapan yang sehat. (mdk/amd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Di Indonesia, penggunaan istilah ini sepertinya lebih ramai di media sosial, khususnya di kalangan generasi milenial muda dan Gen-Z.
Baca SelengkapnyaCancel culture dapat dilakukan secara pribadi atau melibatkan partisipasi massal untuk memberikan efek jera yang lebih dahsyat.
Baca SelengkapnyaPerilaku yang beradab, tidak hanya wajib dilakukan di dunia nyata, tapi diperlukan untuk membangun generasi penerus yang bijak berdigital.
Baca SelengkapnyaGalih Loss ditangkap polisi karena konten bermuatan penistaan agama
Baca SelengkapnyaHal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif.
Baca SelengkapnyaHoaks dapat memecah belah persatuan bangsa, mengganggu stabilitas politik.
Baca SelengkapnyaMenurut Jokowi, kebebasan dan demokrasi di negeri ini malah digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah.
Baca SelengkapnyaDi balik keseruannya, ternyata ada bumerang yang mempengaruhi kesehatan mental.
Baca SelengkapnyaGenerasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya.
Baca SelengkapnyaMasyarakat jangan mudah terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Baca SelengkapnyaMenkominfo Wanti-Wanti Buzzer, Bakal Tindak Tegas Konten Rendahkan Martabat Orang
Baca SelengkapnyaPentingnya menghormati kebebasan beragama dan tanggung jawab sosial dalam menjaga kehidupan plural di Indonesia
Baca Selengkapnya