Eks Agen Intelijen Indonesia Blak-blakan Diperintah Presiden Soeharto Selundupkan Senjata ke Bosnia, Bantu Pejuang Muslim Lawan Serbia
Pada era Presiden Soeharto, dia secara khusus mengungkap jika mendapat tugas intelijen yang penting.

Mantan agen intelijen Indonesia secara terbuka mengungkap sejumlah rahasia dunia spionase yang pernah dilaluinya pada tahun 1990-an. Pada era Presiden Soeharto, dia secara khusus mengungkap jika mendapat tugas intelijen yang penting.
Dia diperintahkan untuk terjun secara langsung ke Bosnia yang kala itu sedang diserang Serbia. Dia diperintah langsung oleh Presiden Soeharto untuk mengirimkan senjata buat membantu pejuang muslim Bosnia melawan Serbia yang melakukan genosida.
Dalam kesempatan itu, dia mengungkap jika tugasnya bukan suatu hal yang mudah. Ada banyak tantangan yang mengancam nyawanya sendiri. Berikut ulasan selengkapnya dilansir kanal YouTube Forum Keadilan TV, Rabu (19/2/2025).
Ungkap ‘Rahasia Intelijen’
Mantan agen intelijen Indonesia, Soeripto dalam sebuah wawancara dengan kanal YouTube Forum Keadilan TV mengungkap cerita masa lalunya saat masih bertugas di dunia spionase. Soeripto pernah secara langsung menjadi agen intelijen selama 'tiga zaman'.
Bahkan dalam satu waktu, dia mengaku pernah mendapat kepercayaan dari Presiden Soeharto untuk menyelundupkan senjata ke daerah perang di Bosnia Herzegovina pada era 1990-an silam.
“Saya dulunya pernah jadi sukarelawan militer dan dekat dengan tentara-tentara. Betul (saya menyerahkan bantuan senjata ke Bosnia,” katanya.
Sebelum akhirnya bertugas, Suripto menceritakan tentang asal mula perintah dari sang Presiden. Ternyata, hal itu bermula dari kedatangan utusan Bosnia ke Indonesia. Kala itu mereka berterimakasih atas bantuan makanan hingga obat-obatan yang diberikan Indonesia.
Namun, mereka meminta supaya bisa dibantu persenjataan agar bisa melawan tentara Serbia yang membantai warga muslim Bosnia. Sebab, mereka kesulitan senjata.
“Jadi utusan mereka bertemu dengan kami di Jakarta, mereka ceritakan kalau berterima kasih dan merasa senang telah dibantu obat-obatan, makanan. Tapi tidak cukup, karena jika tiba-tiba diserang Serbia, mereka tidak bisa berbuat banyak. Lalu kami pikirkan dan sampai ke telinga Presiden Soeharto melalui Probosutejo bahwa mereka perlu bantuan senjata,” ceritanya.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Presiden Soeharto kala itu langsung menyetujui permintaan tersebut. Lewat Probosutejo, Soeharto pun langsung meminta Soeripto untuk menjalankan misi mengirimkan senjata ke Bosnia. Soeripto sendiri mengakui hal itu bukan perkara mudah.
“Pak Harto oke lalu saya yang menjadi pelaksana untuk menyalurkan senjatanya ke dalam Bosnia dan ke daerah-daerah yang di sekitar pegunungan yang berjarak 12 km dari Sarajevo. Dan itu saya lakukan sendiri dengan membawa barang-barang itu menggunakan truk,” imbuhnya.

Ceritakan Kronologi
Banyak kesulitan dan tantangan yang dihadapi Soeripto sejak awal misi. Hal itu dimulai dari pencarian senjata yang diperlukan. Setelah beberapa kali berpikir, Soeripto kemudian memilih untuk membeli persenjataan dari tentara Kroasia yang desersi.
“Ketika saya dapat misi, saya langsung menentukan jalur-jalur kepercayaan untuk mendapatkan senjata karena ini penting. Apalagi tidak mudah melaksanakan kepercayaan ini. Dulu kebanyakan peluru, roket, rudal. Itu kita dapat dari deserter Kroasia yang kemudian mereka menjual barang-barang itu di pasar gelap. Itulah yang saya beli dan bawa ke sana,” katanya.
Selain menghindari sorotan banyak pihak dengan membeli senjata di pasar gelap, Soeripto kemudian menghadapi tantangan selanjutnya. Dia dihadapkan dengan persoalan setumpuk uang tunai untuk bertransaksi senjata. Saat itu, nyawanya menjadi taruhan lantaran hotel tempat dirinya menginap ternyata berada di kawasan mafia Rusia.
“Tidak mudah juga mengangkut uang 2,5 juta dalam mata uang Jerman yang diambil dari Hungaria. Saya waktu itu juga enggak bisa tidur karena ternyata hotel yang saya tempati dalam kekuasaan mafia Rusia,” ceritanya.
Lagi-lagi, hal menegangkan turut dialaminya sendiri di depan mata. Soeripto bersama dengan jaringannya yang akan membawa senjata itu ke Bosnia harus memutar otak buat menyelundupkan senjata-senjata itu.
Dia dengan jaringannyam menyembunyikan senjata-senjata di balik truk bantuan sosial. Saat itu, dia mengaku jika sejumlah trik terpaksa harus dilakukan agar persenjataan dapat memasuki Bosnia.
“(Senjata) itu ada yang siap untuk mengatur itu. Itu tentara Kroasia sendiri yang dimasukkan ke truk-truk bantuan sosial, di luarnya di bungkus pakaian-pakaian tapi dalamnya senjata,” tegasnya.
Meski tak mudah, Soeripto akhirnya berhasil menyelesaikan misi. Para pejuang muslim Bosnia dapat kembali melakukan perlawanan menghadapi serangan Serbia.
Sosok Soeripto, Eks Agen Intelijen Indonesia

Soeripto diketahui merupakan seorang aktivis mahasiswa berdarah sosialis di era Presiden Soekarno. Dia mulai mendapat sorotan dunia spionase lantaran aktivitasnya yang cukup besar dan malang melintang memperjuangkan ideologi sosialis.
Tak berselang lama usai wara-wiri menjadi aktivis, dia kemudian direkrut menjadi agen intelijen Indonesia di era Presiden Soeharto.
Dalam sejarah tercatat, Soeripto sendiri pada momen reformasi sempat memiliki peran yang cukup penting. Dia bersama sejumlah aktivis lainnya diketahui mendirikan Partai Keadilan (kini Partai Keadilan Sejahtera). Selain terjun di dunia intelijen, Soeripto juga tercatat pernah duduk di kursi legislatif sebagai anggota Komisi III DPR RI.
Soeharto Tembus Medan Perang di Bosnia
Sementara itu, Presiden Soeharto diketahui sempat terjun langsung ke Zagreb hingga Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina.
Di tengah baku tembak antara Bosnia dan Serbia, Presiden Soeharto berkunjung ke Balkan. Setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995, Presiden Soeharto pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina.
Anggota rombongan kaget. Baru saja mereka mendengar kabar pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembaki saat terbang ke Bosnia. Namun insiden penambakan itu tidak menyurutkan langkah pemimpin negara Non Blok itu berangkat ke Bosnia.
Setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke Bosnia. Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Presiden ke-2 RI itu.
Presiden Soeharto langsung meminta formulir kepada Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin yang kala itu menjabat Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden. Dia langsung menandatangani surat itu tanpa ragu.
Sjafrie yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan saat itu ketar-ketir juga. Apalagi saat Soeharto menolak mengenakan helm baja. Dia juga tak mau menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.
Setibanya di Istana Presiden Bosnia, Soeharto mendapati keadaan yang sangat memprihatinkan. Tidak ada air mengalir, sehingga air bersih harus diambil dengan ember. Pengepungan yang dilakukan Serbia benar-benar meluluh-lantakan kondisi Bosnia.
Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic pun menyambut hangat kedatangan Presiden Soeharto. Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya.