Hukum Mendoakan Nonmuslim yang Meninggal, Ada Perbedaan dari Para Ulama
Bolehkah seorang muslim mendoakan orang nonmuslim yang telah meninggal?
Islam mengajarkan pentingnya menjalin hubungan sosial yang baik dengan semua orang tanpa memandang latar belakang, termasuk status sosial, suku, agama, dan ras. Seorang muslim diwajibkan untuk membina hubungan yang harmonis dengan nonmuslim. Oleh karena itu, perbedaan agama tidak seharusnya menjadi penghalang untuk berbuat baik kepada siapa pun. Teladan ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Hubungan baik tentunya akan menciptakan ikatan emosional kuat, sehingga kita merasa sedih ketika harus berpisah meskipun orang tersebut memiliki agama yang berbeda. Misalnya, jika sahabat nonmuslim meninggal dunia, pertanyaannya adalah, apakah kita diperbolehkan untuk mendoakannya?
Tidak Diperbolehkan Mendoakan Nonmuslim yang Meninggal
Menurut NU Online, pembahasan mengenai hukum mendoakan orang nonmuslim yang telah meninggal dunia banyak terdapat dalam kitab-kitab fikih, khususnya pada bab yang membahas tentang Pemulasaraan Jenazah. Dalam konteks ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa mendoakan orang nonmuslim yang sudah meninggal adalah haram. Hal ini telah disampaikan oleh Imam An-Nawawi (w. 676 H) dan Imam Ar-Ramli (w. 1004 H).
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Adapun menshalati orang kafir dan mendoakannya agar mendapat ampunan, hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur'an dan Ijma' (konsensus ulama)” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu' [Beirut: Darul Fikr, tt] juz V, halaman 258). Selain itu, Imam Ar-Ramli juga menegaskan bahwa “Haram hukumnya menshalati non-muslim meskipun berstatus dzimmi karena firman Allah: Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka (At-taubah: 84). Dan dikarenakan tidak boleh mendoakan non-muslim untuk mendapatkan ampunan karena firman Allah: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (An-Nisa': 48)” (Imam Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz II, halaman 493).
Dalam sebuah kisah yang diceritakan oleh Imam Al-Bukhari, menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah saw mendampinginya dan meminta agar ia mengucapkan syahadat. Namun, di tempat itu juga hadir Abu Jahl yang berusaha meyakinkan Abu Thalib untuk tidak mengucapkan syahadat. Akibatnya, Abu Thalib wafat tanpa mengucapkan syahadat. Rasulullah saw menyatakan, “Demi Allah sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu selagi aku tidak dilarang. Lalu Allah menurunkan ayat 113 surah At-Taubah” (Shahihul Bukhari [Beirut: Dar Thuqin Najah, 2001], juz II, halaman 95).
Ayat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah: “Tidak ada hak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun mereka ini kerabat(-nya), setelah jelas baginya bahwa sesungguhnya mereka adalah penghuni (neraka) Jahim.”
Pendapat Berbeda dari Ulama
Beberapa ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Mereka berpendapat bahwa larangan untuk memintakan ampunan bagi non-muslim hanya berlaku untuk dosa kekufuran. Dengan kata lain, kita diperbolehkan untuk memintakan ampunan bagi non-muslim terkait dosa-dosa yang tidak berkaitan dengan kekufuran. Syekh Ahmad Al-Qalyubi (w. 1068 H) menyatakan: "Boleh mendoakan non-muslim meskipun dengan doa memintakan ampunan dan rahmat. Pendapat ini berbeda dengan yang disampaikan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar. Kecuali memintakan ampunan atas dosa kekufuran bagi orang yang meninggal dalam keadaan kufur, maka tidak boleh." (Syekh Ahmad Al-Qalyubi, Hasyiyah Qulyubi 'alal Mahalli [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz I, halaman 367).
Sejalan dengan pandangan Al-Qalyubi, Syekh 'Ali Syabromallisi (w. 1087 H) juga memberikan penjelasan mengenai hal ini. Beliau menambahkan: "Surat An-Nisa ayat 48 hanya menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan bisa saja berarti bahwa dosa selain syirik bisa diampuni karena di akhir tersebut ayat Allah berfirman: Dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapapun yang Ia kehendaki (An-Nisa: 48). Hal tersebut menunjukkan bolehnya mendoakan non-muslim untuk mendapatkan ampunan dosa selain dosa syirik." (Syekh 'Ali Syabromallisi, Hasyiyah Syabromallisi [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz II, halaman 493).
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal (w. 1204 H) dalam kitab Hasyiyatul Jamal 'alal Manhaj (Beirut: Darul Fikr, t.t/III:382), Syekh Sulaiman Al-Bujairimi (w. 1221 H) dalam kitab Hasyiyatul Bujairimi 'alal Khathib [Beirut: Darul Fikr, 1995/III:117), dan Syekh Abdul Hamid Asy-Syarwani (w. 1301 H) dalam kitab Hasyiyah Syarwani [Beirut: Dar Ihya'it Turatsil 'Araby, 1983/V:255). Ketiga ulama ini mengutip informasi yang sama, yaitu: "Jika seorang muslim menggunjing (ghibah) non-muslim dzimmi (yang tidak memusuhi umat Islam), apakah ia boleh memintakan ampunan untuk non-muslim tersebut agar ia terbebas dari dosa menggunjing? atau taubatnya cukup dengan merasa menyesal, karena terdapat larangan memintakan ampunan bagi non-muslim?. Keduanya memiliki kemungkinan benar. Yang paling mendekati benar adalah yang pertama, ia memintakan ampunan untuk dosa selain syirik atau mendoakannya berlimpah harta, disertai penyesalan atas tindakannya (ghibah) tersebut."
Dari berbagai keterangan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah diperbolehkan atau tidak untuk mendoakan non-muslim dengan memintakan ampunan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, sementara beberapa ulama lainnya mengizinkan memintakan ampunan bagi non-muslim untuk dosa-dosa selain kekufuran.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul