Israel Genosida Gaza, ini Daftar Negara yang Tangannya Ikut Berlumuran Darah karena Pasok Senjata
Sekalipun memiliki industri pertahanan canggih, namun Israel masih membutuhkan pasokan untuk sejumlah kebutuhan militernya.
Pemerintah Barat menghadapi tekanan untuk menghentikan penjualan senjata kepada Israel setelah pembantaian yang terjadi di Jalur Gaza. Meskipun Israel merupakan salah satu pengekspor senjata terbesar, militer mereka sangat bergantung pada pesawat terbang, bom berpemandu, dan rudal impor untuk melaksanakan operasi udara yang dianggap oleh para ahli sebagai salah satu yang paling intens dan merusak dalam sejarah terbaru.
Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 42.000 orang telah kehilangan nyawa di Jalur Gaza akibat serangan Israel. Israel mengklaim bahwa pasukannya berusaha menghindari korban sipil dan menuduh Hamas sengaja menempatkan warga sipil di jalur tembak, serta menyatakan bahwa tidak ada batasan dalam pengiriman bantuan.
-
Siapa yang berpartisipasi di perang Gaza? Sementara itu, 4.000 dari pasukan ini berpartisipasi dalam perang di Gaza, dan 65 dari mereka terbunuh.
-
Siapa yang menyerang Gaza? Israel masih terus melakukan serangan-serangan ke wilayah Gaza, Palestina sejak 7 Oktober 2023 lalu.
-
Mengapa Israel serang Gaza? Peristiwa Nakba tidak hanya meninggalkan trauma dan kehilangan bagi warga Palestina, tetapi juga menjadi akar dari konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
-
Mengapa Israel menyerang Gaza? Serangan ini adalah balasan menyusul roket militan Hamas Palestina.
-
Kenapa tentara Israel tembak warga Palestina di Gaza? Pasukan penjajah Israel yang dikerahkan ke Jalur Gaza diberi wewenang untuk 'menembaki warga Palestina sesuka hati, termasuk warga sipil,' dan telah mengubah Gaza menjadi 'lanskap yang dipenuhi mayat'. Demikian diungkapkan +972 Mag dalam laporannya pada Senin (8/7).
-
Kenapa Israel menyerang Gaza? Israel sendiri masih terus melakukan serangan ke Gaza, Palestina.
Namun hal itu hanya bohong belaka. Sebab, Israel memang menjadikan wilayah 'aman' yang menjadi lokasi warga Gaza sebagai target bom-bom mereka. Israel juga membatasi hingga melarang bantuan kemanusian masuk ke Gaza.
Hamas sendiri telah menyatakan tak pernah menjadikan lokasi pengungsian sebagai markas mereka. Setahun berlalu, kehancuran yang dilakukan Israel di Gaza sungguh luar biasa. Bahkan bom-bom yang dijatuhkan Israel di Gaza jumlahnya jauh lebih banyak dari bom-bom yang dijatuhkan saat Perang Dunia II.
Lalu, siapa saja pemasok utama senjata kepada Israel? Berikut penjelasan lengkapnya seperti yang dikutip dari BBC pada Minggu (13/10).
Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) merupakan penyedia senjata terbesar bagi Israel, membantu negara tersebut membangun militer yang sangat canggih secara teknologi. Menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), antara tahun 2019 hingga 2023, AS menyuplai 69 persen dari total impor senjata konvensional utama Israel.
Setiap tahun, AS memberikan bantuan militer sebesar USD 3,8 miliar kepada Israel berdasarkan perjanjian selama 10 tahun, yang bertujuan untuk menjaga "keunggulan militer kualitatif" Israel dibandingkan negara-negara tetangga.
Dari total bantuan tersebut, USD 500 juta per tahun dialokasikan untuk mendanai program pertahanan rudal, termasuk sistem Iron Dome, Arrow, dan David's Sling yang dikembangkan secara bersama. Israel mengandalkan sistem ini untuk melindungi diri dari serangan roket, rudal, dan drone yang dilancarkan oleh kelompok bersenjata Palestina di Jalur Gaza, serta kelompok bersenjata lain yang didukung Iran yang beroperasi di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, Presiden Joe Biden menyatakan bahwa AS akan memberikan "bantuan militer tambahan" kepada Israel. SIPRI melaporkan bahwa AS dengan cepat mengirimkan ribuan bom berpemandu dan misil ke Israel pada akhir tahun 2023, meskipun total volume impor senjata Israel dari AS pada tahun itu hampir sama dengan tahun sebelumnya.
Pada bulan Desember, pemerintahan Biden mengumumkan dua penjualan mendesak kepada Israel dengan menggunakan kewenangan darurat untuk menghindari proses tinjauan kongres. Salah satu penjualan mencakup 14.000 butir amunisi tank senilai USD 106 juta, sementara yang lain adalah komponen senilai USD 147 juta untuk memproduksi peluru artileri 155mm.
Media AS melaporkan pada bulan Maret bahwa pemerintah juga telah melakukan lebih dari 100 penjualan militer lainnya ke Israel sejak perang dimulai, sebagian besar di bawah nilai yang tidak memerlukan pemberitahuan resmi kepada Kongres. Penjualan tersebut mencakup ribuan amunisi berpemandu presisi, bom berdiameter kecil, penghancur bunker, dan senjata ringan.
Pada bulan Mei, AS untuk pertama kalinya menghentikan pengiriman senjata ke Israel karena meningkatnya kekhawatiran dari perwakilan Partai Demokrat di Kongres mengenai rencana Israel untuk menyerang Kota Rafah di Jalur Gaza Selatan. Pejabat AS menyatakan bahwa 1.800 bom seberat 907 kg dan 1.700 bom seberat 226 kg akan ditahan karena khawatir akan jatuhnya korban sipil jika digunakan di daerah padat penduduk.
Pada bulan Juli, pejabat AS mengizinkan pengiriman bom seberat 226 kg, tetapi bom seberat 907 kg tetap ditahan karena kekhawatiran berkelanjutan mengenai korban sipil. Di bulan Agustus, pemerintahan Biden memberi tahu Kongres bahwa mereka telah menyetujui penjualan senjata senilai USD 20 miliar kepada Israel.
Paket tersebut terdiri dari USD 18,8 miliar untuk hingga 50 jet F-15IA dan peralatan peningkatan untuk 25 pesawat F-15I yang sudah dimiliki Israel; sejumlah truk kargo 8 ton yang tidak disebutkan jumlahnya senilai USD 583 juta; 30 rudal udara-ke-udara jarak menengah senilai USD 102 juta; dan 50.000 peluru mortir 120 mm senilai USD 61 juta. Namun, senjata-senjata ini diperkirakan baru akan dikirim ke Israel paling cepat pada tahun 2026.
Jerman
Jerman menempati posisi sebagai eksportir senjata terbesar kedua ke Israel, dengan kontribusi sebesar 30 persen terhadap impor antara tahun 2019 hingga 2023, menurut laporan SIPRI. Pada tahun 2022, Israel menandatangani kontrak senilai 3 miliar euro dengan Jerman untuk pengadaan tiga kapal selam diesel kelas Dakar yang canggih, yang dijadwalkan mulai dikirim pada tahun 2031.
Kapal selam tersebut akan menggantikan kapal selam kelas Dolphin buatan Jerman yang saat ini digunakan oleh Angkatan Laut Israel. Tahun lalu, penjualan senjata Jerman ke Israel mencapai 326,5 juta euro, meningkat sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2022, dengan sebagian besar lisensi ekspor diberikan setelah serangan pada 7 Oktober.
Pemerintah Jerman mengungkapkan bahwa pada bulan Januari, penjualan tersebut mencakup peralatan militer senilai 306,4 juta euro dan "senjata perang" sebesar 20,1 juta euro. Menurut laporan dari kantor berita DPA, penjualan tersebut juga termasuk 3.000 senjata antitank portabel dan 500.000 butir amunisi untuk senjata api otomatis atau semi-otomatis.
Selain itu, sebagian besar lisensi ekspor difokuskan pada kendaraan darat serta teknologi untuk pengembangan, perakitan, pemeliharaan, dan perbaikan senjata. Kanselir Olaf Scholz telah menunjukkan dukungan yang kuat terhadap hak Israel untuk membela diri selama konflik, dan alih-alih menangguhkan penjualan senjata, ia justru menegaskan komitmennya untuk mengirimkan lebih banyak senjata ke Israel.
Italia
Italia menempati posisi sebagai eksportir senjata terbesar ketiga ke Israel. Berdasarkan data dari SIPRI, negara ini menyuplai 0,9 persen dari total impor Israel antara tahun 2019 hingga 2023, termasuk helikopter dan artileri angkatan laut.
Sebuah organisasi penekan di Inggris, Campaign Against Arms Trade (CAAT), melaporkan bahwa nilai ekspor dan lisensi barang militer Italia ke Israel mencapai 17 juta euro pada tahun 2022. Menurut majalah Altreconomia yang mengutip data dari biro statistik nasional ISTAT, penjualan "senjata dan amunisi" pada tahun 2023 tercatat sebesar 13,7 juta euro.
Di antara jumlah tersebut, sekitar 2,1 juta euro ekspor disetujui antara Oktober dan Desember 2023, di mana pemerintah berjanji untuk memblokirnya sesuai dengan undang-undang yang melarang penjualan senjata ke negara-negara yang terlibat dalam perang atau yang dianggap melanggar hak asasi manusia.
Namun, Menteri Pertahanan Guido Crosetto menyatakan kepada parlemen pada bulan Maret bahwa Italia akan tetap menghormati kontrak yang ada dengan melakukan pemeriksaan secara individual untuk memastikan bahwa kontrak tersebut tidak terkait dengan bahan yang dapat digunakan melawan warga sipil.
Inggris
Pada bulan Desember 2023, pemerintah Inggris mengungkapkan bahwa ekspor barang militer mereka ke Israel tergolong "relatif kecil", dengan nilai mencapai 42 juta poundsterling pada tahun 2022.
Berdasarkan data dari Departemen Bisnis dan Perdagangan, angka ini menurun menjadi 18,2 juta poundsterling pada tahun 2023. Antara 7 Oktober 2023 dan 31 Mei 2024, terdapat 42 lisensi ekspor yang dikeluarkan untuk barang-barang militer, sementara 345 lisensi lainnya masih aktif.
Departemen Bisnis dan Perdagangan menjelaskan bahwa peralatan militer yang termasuk dalam lisensi tersebut mencakup komponen untuk pesawat militer, kendaraan tempur, dan kapal perang. Campaign Against Arms Trade (CAAT) menyatakan bahwa Inggris telah mengeluarkan lisensi ekspor senjata ke Israel dengan total nilai mencapai 576 juta poundsterling sejak tahun 2008.
Sebagian besar lisensi tersebut adalah untuk komponen yang digunakan dalam pesawat tempur yang diproduksi di AS dan berakhir di Israel. Pada bulan September 2024, Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, mengumumkan penangguhan segera terhadap sekitar 30 lisensi ekspor untuk barang-barang yang digunakan dalam operasi militer Israel di Jalur Gaza.
Ia menyebutkan bahwa penilaian yang diterimanya menunjukkan adanya "risiko yang jelas" bahwa ekspor militer tertentu "dapat digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional." David Lammy menegaskan bahwa Inggris tetap mendukung hak Israel untuk membela diri sesuai dengan hukum internasional.
Lisensi-lisensi yang ditangguhkan mencakup komponen untuk pesawat militer, seperti jet tempur, helikopter, dan drone, serta barang-barang yang mendukung penargetan darat. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengkritik keputusan Inggris tersebut, menyebutnya "memalukan" dan "sesat".
Ia memperingatkan bahwa larangan senjata ini akan memberikan keberanian lebih kepada Hamas dan menegaskan bahwa Israel menjalankan perang yang adil dengan cara yang sesuai.
Industri Pertahanan Israel
Di sisi lain, Israel telah mengembangkan industri pertahanannya sendiri dengan dukungan dari Amerika Serikat dan kini menduduki peringkat sebagai eksportir senjata terbesar kesembilan di dunia. Fokus utama negara ini adalah pada produk teknologi canggih, bukan perangkat keras berskala besar.
Menurut data dari SIPRI, Israel menguasai 2,3 persen dari pangsa pasar penjualan global antara 2019 dan 2023, dengan India (37 persen), Filipina (12 persen), dan AS (8,7 persen) sebagai tiga negara penerima utama.
Kementerian Pertahanan Israel melaporkan bahwa nilai ekspor pertahanan negara tersebut melebihi USD 13 miliar pada tahun 2023. Dari jumlah tersebut, 36 persen berasal dari sistem pertahanan udara, diikuti oleh sistem radar dan peperangan elektronik (11 persen), peralatan peluncur dan penembakan (11 persen), serta drone dan avionik (9 persen).
Pada bulan September 2023, sebelum perang di Jalur Gaza dimulai, Jerman menyetujui kesepakatan senilai USD 3,5 miliar dengan Israel untuk pengadaan sistem pertahanan rudal Arrow 3 yang canggih, yang mampu mencegat rudal balistik jarak jauh. Kesepakatan ini merupakan yang terbesar bagi Israel dan perlu mendapatkan persetujuan dari AS karena sistem tersebut dikembangkan secara kolaboratif.
Selain urusan ekspor-impor senjata, Israel juga menjadi lokasi depot senjata AS yang didirikan pada tahun 1984 untuk menyimpan persediaan bagi pasukan AS jika terjadi konflik regional, serta untuk memberikan akses cepat kepada Israel terhadap senjata dalam situasi darurat.
Dilaporkan bahwa Pentagon mengirim sekitar 300.000 peluru artileri 155mm dari War Reserve Stockpile Ammunition (Amunisi Cadangan Perang) yang berada di Israel ke Ukraina setelah invasi Rusia pada Februari 2022. Amunisi yang disimpan di depot tersebut juga dilaporkan telah dipasok ke Israel sejak perang di Jalur Gaza dimulai.