Operasi Rahasia Anggota TNI Masuk ke Israel, Begitu Senyap & Penuh Intrik Intelijen
Berikut operasi rahasia anggota TNI masuk ke Israel yang begitu senyap dan penuk intrik intelijen.
Berikut operasi rahasia anggota TNI masuk ke Israel yang begitu senyap dan penuk intrik intelijen.
Operasi Rahasia Anggota TNI Masuk ke Israel, Begitu Senyap & Penuh Intrik Intelijen
Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus melakukan pembaharuan Alutsista.
Pembaharuan Alutsista ini dilakukan guna meningkatkan kekuatan tempur TNI dalam menghadapi intervensi dari bangsa asing yang bisa saja mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bukan hanya di era ini saja, hal tersebut juga telah dilakukan sejak lama. Bahkan, pada era Presiden Soeharto Indonesia ternyata pernah memiliki misi rahasia untuk membeli pesawat tempur terbaru yaitu A-4 Skyhawk.
Pada awalnya, Mabes ABRI saat itu tengah mencari pesawat baru untuk memperkuat armadanya di seluruh Indonesia.
Pesawat-pesawat baru ini nantinya dibeli untuk menggantikan F-86 Sabre dan T-33 Thunderbird yang sudah mulai senja usianya.
Dari Amerika Serikat, TNI hanya mendapat 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Jumlah tersebut dianggap tidak cukup untuk melengkapi seluruh skadron tempur.
merdeka.com
Dari informasi yang diterima intelijen, diketahui Israel akan menjual 32 pesawat tempur A-4 Skyhawk milik mereka. A-4 Skyhawk sendiri merupakan sebuah jet tempur milik Israel.
Melalui biografinya berjudul 'Menari di Angkasa', Djoko F Poerwoko, salah satu penerbang andalan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), ditugaskan untuk ikut dalam sebuah pelatihan. Dari sejumlah pilot TNI AU, Djoko Poerwoko dipilih untuk menjadi salah satu penerbangnya.
Namun, Ia tak pernah menyangka lokasi tempatnya berlatih bukan lah di Amerika Serikat, melainkan Israel. Seluruh proses pembeliannya diatur oleh petinggi ABRI yang saat itu dipimpin oleh Benny Moerdani.
Karena sifatnya yang serba rahasia, Ia dan beberapa rekannya hanya tahu mereka akan dibawa ke Amerika Serikat untuk berlatih mengoperasikan F-5 E/F Tiger II.
Djoko dan 9 rekannya merupakan gelombang terakhir untuk mempelajari alutsista baru. Sebagai tim terakhir, Djoko mendapat pembekalan khusus di Mabes TNI AU.
Awalnya mereka mengira akan berangkat ke AS untuk belajar terbang di sana, namun tidak ada informasi lain soal rencana tersebut.
Mereka pun diberangkatkan ke Singapura dari Bandara Halim Perdanakusuma dengan menggunakan maskapai Garuda Indonesia. Setelah mendarat, Djoko dibawa ke sebuah hotel.
Di tempat ini, beberapa anggota intel dari Mabes ABRI sudah menunggunya. Termasuk Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI, sekarang BAIS), Mayjen Benny Moerdani yang lantas memberikan sedikit maklumat.
"Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu silakan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan dianggap berhasil, apabila 'sang merpati' (A-4 Skyhawk Israel) telah hinggap," tegas Benny saat mengajak Djoko dan rekannya makan malam bersama.
Mengingat Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, misi rahasia ini lantas diberi nama 'Operasi Alpha'.
Seluruh pembelian pesawat hingga pelatihan para penerbangnya pun dibuat secara rahasia.
Saat itu pula, seluruh paspor yang dibawa diambil dan diganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Nama pun ikut diganti dan harus dihafal saat itu juga.
Setelah makan malam, mereka bergegas menuju Bandara Paya Lebar Singapura dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa.
"Perjalanan semakin aneh, baru saja berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan berikutnya tersebut, yaitu ke Tel Aviv. Sampai di Bandara Ben Gurion Tel Aviv sesudah terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus ke mana jalan, cuma mengikuti arus penumpang lain yang menuju pintu keluar," tulis Djoko.
Tanpa disangka, di tengah perjalanan mereka langsung ditangkap petugas keamanan bandara Ben Gurion. Mereka pun hanya pasrah, karena mengira telah ditangkap agen rahasia Mossad dan menduga dirinya sebagai penyusup ke negeri tersebut.
Terlebih, mereka tiba tanpa menggunakan paspor. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dibenaknya. Termasuk sanksi yang bakal mereka terima nanti.
Perasaannya mulai tenang ketika tiba di ruang bawah tanah. Hal ini lantaran terdapat sejumlah perwira BIA yang terlibat dalam operasi Alpha dan menunggu mereka di sana.
Dari keterangan para perwira itu, Djoko baru menyadari bahwa penangkapan itu adalah kamuflase. Tujuannya adalah untuk memudahkan mereka keluar dengan cepat tanpa diketahui banyak orang.
Setelah diberikan briefing singkat, seluruh barang bawaan mereka kembali digeledah. Seluruh barang yang berbau Indonesia disita. Bahkan mereka juga diajari untuk berbicara bahasa Ibrani sebelum dibawa ke sebuah hotel.
Keesokan harinya, Djoko diangkut dengan mobil van menuju Kota Eliat yang berada di selatan Israel. Untuk mencapainya, mereka harus menyusuri Laut Mati, padang pasir dan melalui beberapa pos jaga selama dua hari sebelum akhirnya tiba di sebuah pangkalan tempur besar.
Pangkalan ini tidak memiliki nama pasti, dan bisa berubah kapan saja.
Sesuai kesepakatan bersama, Djoko dan rekannya menyebut tempat ini dengan 'Arizona'. Sebab, dalam skenario awal mereka disebutkan akan berlatih terbang di Amerika Serikat.
Latihan pun berlangsung selama enam bulan. Mulai dari ground school hingga bina terbang agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam dan ditemani instruktur Israel.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris.
Sedangkan Djoko dan rekannya tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail. Bahkan pengawasan dilakukan secara ketat, sehingga setiap penerbangan selalu dikawal sebuah pesawat tempur.
merdeka.com
Latihan tersebut berakhir pada 20 Mei 1980. Sebagaimana biasa keberhasilan seorang penerbang setelah menjalani pendidikannya, mereka menerima ijazah dan brevet dari Israel Air Force (IAF). Akan tetapi, kebanggaan tak berlangsung lama.
Brevet dan ijazah mereka langsung dibakar di depan mata oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung.
Mereka lantas dikumpulkan di depan mess. Barang-barang mereka kembali disita dan dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama di pangkalan ini.
Mereka hanya berpesan, "tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah ke sini. Maka hapalkan saja dikepala semua pelajaran yang pernah diperoleh!"
Selesai pendidikan, mereka ternyata tidak langsung pulang ke Indonesia. Melainkan diterbangkan lebih dulu ke New York, Amerika Serikat.
Tindakan tersebut dilakukan agar Djoko dan rekannya bisa melupakan kenangan tentang Israel. Bukan hanya itu, mereka juga diberikan uang saku dan dikatakan jumlahnya cukup banyak bagi seorang berpangkat Letnan Satu.
Mereka juga dibelikan kamera Olympus F-1 lengkap dengan filmnya, dan wajib mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia.
Hal itu dilakukan untuk menguatkan alibi bahwa mereka sedang menjalani pendidikan terbang di Amerika Serikat.
Alhasil, setiap objek yang berbau tanda medan atau Amerika Serikat langsung dipakai sebagai latar foto mereka. Mulai dari pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah yang ada tulisan 'United State of America'.
Selain ke New York, para penerbang juga diberikan program tur keliling Amerika Serikat selama dua minggu. Selama itu pula, mereka mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal.
Di Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Selama tiga hari, mereka dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya.
Seperti sebelumnya, mereka juga wajib berfoto. Di mana seakan-akan mereka baru diwisuda sebagai penerbang A-4, sekaligus menerima ijazah versi USMC.
Ini juga sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa mereka memang dididik di Amerika Serikat. Tentu saja mereka wajib berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi Madiun yang mengangkut F-5 E/F Tiger II dan paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok.
Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel dan dibalut memakai plastik pembungkus berlabel F-5.
Gelombang demi gelombang pesawat A-4 datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.
Ketika kembali ke pangkalannya di Madiun, Djoko menghadap atasannya dan memberikan bukti bahwa mereka berlatih di Akademi AU di Colorado, Amerika Serikat.
Melihat foto-foto itu, atasannya lantas berkata, "Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?"
Operasi ini tak pernah tercatat secara resmi. Dalam buku pengabdian TNI AU dituliskan jika pesawat tersebut dibeli di Amerika Serikat.