BKF: Tak Ada Diskon Rokok dalam Aturan Dibuat Pemerintah
Merdeka.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mengkritisi ketentuan diskon rokok tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Menurutnya, negara bisa kehilangan pendapatan dari cukai mencapai Rp2,6 triliun akibat praktik diskon rokok. Selain itu, harga rokok yang relatif murah menyebabkan masyarakat lebih mudah untuk menjangkaunya, mengingat dikenakannya cukai adalah sebagai upaya mengendalikan ketergantungan konsumsi rokok.
Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Oka Kusumawardani mengatakan tak ada aturan mengenai diskon rokok dalam peraturan pemerintah.
-
Mengapa penerimaan cukai rokok turun? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
-
Apa penyebab turunnya cukai rokok? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
-
Dimana cukai rokok menjadi pengendali industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Bagaimana Kemendag mendukung industri rokok? Mendag menambahkan, Kemendag akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait agar pasokan tembakau dan cengkih dapat memenuhi kebutuhan industri rokok dengan mengutamakan hasil petani dalam negeri.
-
Bagaimana cukai rokok mempengaruhi industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Bagaimana dampak kemasan rokok polos tanpa merek pada perekonomian nasional? Parahnya lagi, lanjut Nadlifah, usulan Kemenkes untuk mendorong kemasan rokok polos tanpa merek tersebut berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat serta menekan perekonomian nasional.
"Kalau dalam peraturannya sendiri itu tidak ada keterangan apapun yang menyatakan bahwa peraturan itu dimaksudkan untuk memberi diskon, juga tidak dimaksudkan agar rokok itu harganya jadi lebih murah, itu tidak ada sama sekali dalam peraturan tersebut," kata Oka dalam diskusi daring, Kamis (18/6).
Menurut dia, otoritas fiskal memberikan aturan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) demi memberi ruang gerak pada produsen.
"Jadi setelah diproduksi itu tentunya ada jalur distribusi untuk menyampaikan produk tersebut, ke wholesaler-nya, ke ritel, sampai akhirnya baru ke konsumen akhir, dan aktivitas mata rantai ini untuk distribusi tentunya kan juga memerlukan biaya di masing-masing tahapannya," kata Oka.
"Untuk memungkinkan rantai distribusi ini menjalankan fungsinya dengan baik maka perlu ada ruang gerak di dalamnya, oleh karena itu maka pemerintah melalui PMK 146 tersebut juga mengatur bahwa harga transaksi pasar diperkenankan untuk berada di bawah HJE, 85 persen dari KEnya," sambung dia.
Aturan Diskon Rokok
Sebelumnya, aturan diskon rokok tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah.
Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai.
Pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Muhammad Joni, konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15 persen dari tarif yang tertera dalam banderol. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
Menurut dia, kebijakan diskon rokok juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau.
Reporter: Pipit Ika Ramadhani
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.
Baca SelengkapnyaDampak ini terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri ini.
Baca SelengkapnyaTarget dari Kemenkes di tahun 2030 penurunan jumlah perokok mencapai 5,4 persen di Indonesia.
Baca SelengkapnyaAturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada RPMK terus menuai kritik.
Baca SelengkapnyaDari empat pilar dalam penyusunan kebijakan produksi hasil tembakau, ekosistem pertembakauan di Indonesia harus diperhatikan secara keseluruhan.
Baca SelengkapnyaDia juga menilai bahwa dampak atau beban dari kebijakan aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini akan menjadi tugas berat bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Baca SelengkapnyaKemendag juga menekankan pentingnya penelitian yang solid dalam mengimplementasikan aturan tersebut di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPemerintah akan mempertimbangkan kebijakan lain terkait cukai hasil tembakau.
Baca SelengkapnyaKemenkeu telah memberikan sejumlah masukan kepada Kemenkes terkait dampak kebijakan ini.
Baca SelengkapnyaHari ini kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, bahkan omzet pedagang turun dampak daya beli rakyat.
Baca SelengkapnyaKebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan telah memicu perdebatan publik yang cukup hangat.
Baca SelengkapnyaProduk tembakau yang ada saat ini saja yaitu dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 sudah cukup proporsional dan tetap bisa dijalankan.
Baca Selengkapnya